image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Monday, December 30, 2024

Tikungan tajam

Pada umur yang makin bertambah, berlangsung pula semakin banyak tekanan dalam hidup. Permasalahan dalam berbagai hal entah itu di rumah, di kampus, di pekerjaan bahkan dalam masa pengangguran itu terus membuat manusia khawatir. Halaman hidup yang rasanya makin suram ketika ketidakpastian datang dengan sangat jelas. 

Manusia pada langkahnya selalu butuh pegangan-pegangan supaya lebih tatag dalam menjalani gerak nasib. Tanpa itu ia hanya akan gemetar dan menghasilkan tindakan-tindakan yang tidak perlu. Hal ini kadarnya akan makin rapat ketika hentakan masalah dan harapan itu dikejar oleh hal-hal yang bisa jadi ada di luar diri kita. Keluarga, kolega, atau orang-orang yang punya tempat di hati kita sedikit banyak akan mempengaruhi pertimbangan atas putusan ini.

Gelap jalan berliku, anak manusia kerap gegabah dalam memutuskan sesuatu namun ketika berakhir tak seperti yang ia ingini, ia pun juga tidak pernah mengoreksi diri. Jangan-jangan masalah itu pada dirinya. 

Tikungan tajam itu kemudian membawa dampak tajam, setidaknya pada banyak hal lain, pertemanan bisa berubah, persaudaraan menjadi renggang hingga depresi melanda. 

Hal-hal tentang hidup tidak ada di buku, ia lahir dari pengalaman, dari orang yang berhasil melewati dan mengambil hikmah atas banyak kejadian. Kemampuan manusia dalam memandang segala persoalan yang lewat dalam hidup ini bisa jadi penting untuk keberlangsungan manusia di generasi berikutnya. 

Anak-anak tidak bisa bersandar pada internet saja, tetapi, anak-anak juga harus punya pengalaman untuk mengalami agar hidupnya mengalami hentakan nyata, dan tidak berlindung di balik semua kepengecutan. 

Tahun baru datang, dan kita mengulang lagi masalah-masalah yang tidak perlu terjadi.

Wednesday, December 11, 2024

kamu akan dikenali

"Kemampuanmu akan segera dikenali oleh rival-rivalmu; bahkan sebelum kamu bertemu dengannya"

— Imad, Kingdom of Heaven

Menonton kembali film lama ada yang bisa dipelajari. Semakin naik level sebenarnya kita juga diperhatikan oleh orang lain. Ada yang diam² mengamati, ada yang terang-terangan membuat koneksi. Kerap, manusia lupa bahwa pengenalan manusia lain akan dirinya dibuat berdasarkan apa yang telah mereka perbuat sebelumnya, karya², pernah kerja di mana, pernah tinggal di mana, kuliah atau tidak, hidup di jaring sosial yang mana. 

Hal² ini membuat paradigma tertentu, bisa membuat orang turut senang, bisa juga membuat orang kecewa justru ketika perjumpaan itu terjadi. Orang selalu membawa ekspektasi, harapan dalam perjumpaan. Citra dan realitas itu suatu hari akan bertemu. 

Sebuah kelumrahan seperti ketika beberapa saudara jauh menaruh ekspektasi atas kesuksesan kita, padahal kitanya juga sama² 'struggle'. Hingga meme² jadi relate, kita dianggap lwbih sukses daripada mereka yang ada di desa. 

Sebaliknya, kadang² manusia yang beneran ampuh tidak begitu mau terlihat, kadang hanya diam, kadang ragu-ragu dan mulai berbisik kepada yang mereka kenal. Mengukur kemampuan dan menakar jarak. 

Tak sulit jika itu ukurannya material, dari gaya hidup dan style bisa cukup terukur. Yang sulit jika citra itu soal ketokohan, patron, beberapa sistem kadang mencipta manusia untuk tampil di depan, meski mereka ini belum tentu layak ditaruh. Kejadian akhir² ini seperti cermin, mereka yang tampil publik harus bertanggung jawab atas gelagatnya, atas reaksi publik itu sendiri. 

Akhirnya kutipan diatas relevan, kemampuanmu itu akan selalu diukur orang lain. Tes-tes secara tidak langsung akan dikerjakan, penting untuk mwmahami situasi, wawas terhadap nuansa, serta terus mengkoreksi diri agar tak selalu naif jadi orang. Dunia ini sedang berisik, dan manusia makin mudah mengukur satu dengan yang lain. 

#agustaisme #kingdomofheaven

Friday, August 30, 2024

Bosan

Apakah hidup akan berlalu begini-begini saja? kebosanan, kesedihan, kemiskinan, kemelaratan dan berbagai hal menyedihkan seperti silih berganti. Ini jaman membawa banyak kerumitan untuk di hadapi. Sesungguhnya sudah diperkirakan bahwa kehidupan akan keras ketika kita mengambil keputusan yang berat. Keputusan untuk tidak menjadi apapun.

Atau memang ini lakon hidup? kita hanya harus meneruskannya sebagai sebuah lanjutan dari berbagai etape lain yang telah ada di belakang kita. Seringkali perasaan kita menjadi hambar karena isi dompet makin menipis, kawan bicara makin sedikit serta kita yang makin hari keras dalam menghardik segala sesuatu yang sama sekali tidak seperti apa yang kita ingini.

Bahkan guru saya berpendapat bahwa: hidup ini bahkan bisa berjalan sebagaimana yang kita benci. 

Jikalau begitu tugas kita hanyalah terus melanjutkan, mungkin masalahnya cuma satu. Malas. Ketika terpuruk dorongan, atau driving force itu kerap sulit kita temukan. Beberapa kali kita mencoba hal baru, mencoba pengalaman-pengalaman lain namun selalu saja muncul simpangan tajam. Pilihan-pilihan yang memaksa kita untuk lebih mengutamakan akal daripada kehendak diri kita sendiri. 

Manusia kemudian harus bertahan atas nasibnya sendiri, atas nafas hidup yang telah diolah dan terus melawan rasa bosan yang hinggap serta menggunakan segala dayanya untuk menjaga banyak keseimbangan yang telah terjadi. 

Kerap datang rasa takut meski tak lama, dan atas nama keyakinan atas hidup itu sendiri kita melawan rasa lapar, angkuhnya ketidakadilan dalam hidup dan pengalaman untuk terus beradaptasi.

Semoga kita semua sampai,

Monday, July 8, 2024

Juru Taman

Jika dilihat beberapa tahun ke belakang saya punya passion yang makin terang. Menemani dan mengajar.

Saya bisa menyebutnya passion karena sudah beberapa kali dianggap gak jelas, sinting dalam nada bercanda karena sampai tak mengenali apa yang sebenarnya saya inginkan, kerjakan dan pandangan jauh seperti apa yang ingin dititipkan lewat sebuah pengajaran,

Kedua hal tadi beresiko besar. Perlu rakus memakan banyak buku, ilmu, dan mencuri dengar dari banyak guru. 

Juga membutuhkan pengorbanan yang gak main-main, menyiksa diri, sakit tapi nikmat. Saya benar-benar menikmati detik2 mengajari kawan, adik-adik yang bebal sampai sedikit demi sedikit waktu akan membukakan cakrawala kesadaran sehingga pengetahuan yang sampai akan lebih banyak.

Soal menemani orang sejak SMP, Pualam, warnet hingga kini hidup saya selalu berkutat jadi lalu-lalang banyak orang.

Kadang mengecewakan, kerap dilupakan oleh mereka yang dulu merengek minta ditemani, dinasehati. Kadang bikin sebal, sakit hati tapi ternyata saya tidak kapok mengulanginya bertahun-tahun.

Beberapa orang dekat sempat memperingatkan saya untuk tidak selalu baik sama orang, karena kerap memanfaatkan titik lemah saya itu. Dan, kadang, meski tahu saya dimanfaatkan kerapkali saya mendiamkan sampai benar-benar malas dan pergi.

Tahun berganti, hari ini di 34 tahun, saya makin sadar perlombaan hidup ini paling oke memang perlombaan untuk saling bermanfaat. Persis seperti dogma-dogma agama itu. 

Kepandaian, kompetensi dan kepintaran tak selalu menjadikan seseorang bermanfaat. Bermanfaat itu mental!. 

Kalau gak dilatih mau sepintar apapun, sekaya apapun juga tak bakal mau memberi.

Kini hari-hari makin terang saya melihat keculasan, kejahatan, kekejian dan macam kejijikan dilakukan justru oleh orang-orang berilmu (meski yang gak berilmu juga demikian, tetapi selalu muncul permakluman karena mereka memang bodoh).

Tapi jika mental bermanfaatnya sudah terbangun, saya makin yakin manusia sangat butuh ilmu, pintar, kompeten, ekspert dalam bidang tertentu. Karena kompetensi yang dimiliki akan memberi pengaruh signifikan pada kemanfaatannya sebagai manusia.

Dalam ekonomi misalnya, semakin miskin makin terbatas pula pengaruh manfaat seseorang. Sebaliknya, jika kaya belum tentu juga manfaat, bisa juga jadi culas. Tapi jika si kaya ini memilih untuk bermanfaaf maka ia akan memberi dampak besar bagi sekelilingnya.

Sayangnya yang makin banyak tumbuh adalah yang culas tadi. Yang kalau butuh mendekat, kalau sudah tak butuh ditinggal. Habis manis sepah dibuang. 

Orang-orang atas nama progresi kesuksesan menambah-nambahi ekspertasi dan ilmu tapi tak menambah angka kebermanfaatannya, bahkan egois, kalau bisa dirinya sendiri yang harus menang, harus kaya, harus moncer. 

Sudah menginjak tahun ke-34 dan tiap hari terus orang datang. Makin banyak. Makin heterogen.

Saya sih hanya berharap punya waktu lebih banyak, tubuh yang terus sehat, isi dompet yang lebih besar, serta pikiran dan kemampuan menyederhanakan barang rumit makin cepat supaya bisa memberi lebih banyak lagi.

Saya juga bukan orang alim, jauh rasanya jika mau ikut kompetisi lomba jadi si paling manfaat. Setidaknya terus mencoba dengan berbagai cara, metode, hingga teknis kecil-kecil sambil menunggu tunas-tunas mekar.

Selintas saya ingat Catejanus Hardjosubroto dalam lagu gubahannya; Langen Sekar

Saya seperti mendapatkan personifikasi yang pas atas hidup, mungkin saya cocok dengan karakter di lirik itu. Sebagai seorang "Juru Taman". Ia yang menata irama, orkestrasi, tumbuh-kembang, menyiram, menyiangi, memangkas ranting, memotong dan merubuhkan, menumbuhkan, membesarkan. Ruangan-ruangan menyiksa diri yang saya terus ketagihan setiap hari.

Memastikan tumbuh orang-orang di sekitar terus naik, dan kalaupun jatuh terbentur bisa terbentuk dan kuat. Lalu kalau yang harus dipotong ya harus segera dipotong agar maksimal tumbuhnya. 

Mengerem anak-anak yang terlalu bernafsu menjangkah panjang, yang ingin segera cepat naik, moncer sekaligus menunggui yang langkahnya kecil mungil, kicik dan butuh kesabaran. Menjaga tetap di tengah selalu menarik. 

Ah, semoga kita bisa menambah-nambahi bab tentang  mangpangat tadi.

Dengan segala paradoksnya, dengan segala aksi  yang kerap disalahi sebagai sebuah hipokrisi. Tapi kupastikan aku mencintai kalian semua, dengan caraku, dan tak secuilpun muncul rasa untuk benci. Meskipun pertumbuhan kerap menyakiti kalian.

Mari-mari, menjadi dewasa di hidup yang memang cukup membuat gemetar. Mari menjalaninya dengan wani

Maturnuwun,

Surakarta, 8 Juli 2024

1 Suro 1958 JE, Watugunung


Kancamu

I. Agusta


#agustaisme