image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Thursday, May 25, 2023

Mewarisi Maiyah*

Kalau anda mengajak saya bertanding untuk untuk mengkritik dan menemukan kekurangan dan keburukan calon pemimpin kita, saya abstain. Sebab, bagi saya sekarang yang penting bagi saya adalah membesarkan hati seseorang dan setiap calon pemimpin.
(Obama-obama kita, Koran Tempo 30 Januari 2009)

Dok. Pribadi Herri Bayu

Opini diatas ditulis Mbah Nun sebelum pemilu berlangsung pada bulan Juli 2009. Membesarkan hati serta menemani setiap orang, mungkin itu esensi utama saya terima dari Emha Ainun Nadjib sampai hari ini. 

Dari beliau kita belajar menampung segala hal, semua manusia tanpa terkecuali. Tentu saja tidak tanpa cela, tidak mungkin satu orang bisa menyenangkan semua orang. Ada ruang-ruang yang selalu menimbulkan kontroversi dan polemik. Dalam pembacaan saya hal itu tentu saja wajar, sebagai seorang tokoh besar yang kuat dalam pemikiran serta tindakannya tak bisa menyenangkan semua pihak. Pemikiran kritisnya akan memicu pemikiran kritis lain, selain itu  kegelisahan akan muncul bagi yang membaca dan mendengar beliau. Ketidakcocokan itu biasa, Dan sejak lama Cak Nun terbiasa melontarkan dan menerima kritik.

Namun yang harus dicermati landasan keberpihakan Emha sebenarnya sangat jelas, cinta kasih. Pondasi utama ini penting karena ia mengkritik itu justru saking tresna-nya kepada negara dan rakyat kecil. Tresna itu kemudian meledak, menyebar ke banyak orang.

Pada tujuh puluh tahun usia beliau, saya rasa itu sudah terjadi. Dimanapun saya berkeliling, Maiyah atau nama Emha selalu menjadi sarana sambung rasa dengan sangat cepat. Minimal pernah dengar nama Cak Nun, lalu kemudian lebih mudah mempercayai satu sama lain. Perjumpaan-perjumpaan asing lebih mudah terurai karena pernah sama-sama mencicipi beragam ilmu yang beliau tuliskan atau sederhananya, hanya karena pernah sama-sama tahu sosok Emha.

Cinta kasih itu kini meluas ke banyak lini, Maiyah mungkin secara faktual tidak begitu terlihat, tidak diperhatikan banyak orang, tetapi damage-nya itu luar biasa. Sampai ke pelosok desa di seluruh Nusantara.

Ribuan kali panggung digelar di semua tempat sudah tentu menimbulkan kegembiraan, perluasan nilai-nilai kebaikan dan manfaat, serta membuat kita terus bersyukur dan yakin bahwa Allah memang senantiasa menyertai langkah kita. 

Kenyataan bahwa kita sedang diperjalankan itu tergambar jelas dari para pelaku Maiyah, saya sering mendengar banyak perubahan hidup mereka setelah mendengar ceramah-ceramah Cak Nun online maupun offline. Mereka yang berkecil hati dalam menghadapi hidup diberikan keluasan, bahkan yang ingin bunuh diri tidak jadi karena mendengar kalam beliau via Youtube. 

Fenomena ini tentu saja membahagiakan, sebuah gerakan sosial (jika boleh disebut gerakan) Maiyah mampu merangkul hal-hal mendasar dari permasalahan hidup manusia sekaligus membicarakan hal-hal dalam skala nasional. Diskusi cair dalam format yang egaliter, hingga kemampuannya menampung banyak sekali masalah kebangsaan ini menurut saya luar biasa. 

Tantangan berikutnya adalah keberlanjutan warisan Maiyah.

Bagi saya, semua yang pernah mengambil mata air dari lingkar ini tidak boleh  berhenti sebagai penyuka, penikmat atau fans dari mbah Nun. Tetapi, harus meneruskan semua kebaikan, kebahagiaan, dan kegembiraan yang kita dapat selama ini. Metode-metode Maiyah dalam berbagai sinau bareng bisa kita ambil, supaya kitapun ambil bagian jadi saluran pemecah masalah di sekitar kita.

Beberapa waktu lalu ketika Mbah Nun hadir di Maiyah Suluk Surakartan beliau menekankan untuk memahami skala diri kita sendiri dulu. Seberapa pengaruh dan kemampuan kita sebelum melakukan sesuatu. Dari situ beliau mengingatkan kita untuk selalu bersungguh-sungguh dalam semua hal. Disiplin dan rajin, dari situ akan bermuara banyak manfaat. Untuk diri sendiri maupun liyan.

Hal-hal lain yang harus kita warisi tentu saja keberanian. Saya pernah mencari-cari kliping koran lama tentang apa yang beliau lakukan di masa lalu. Hampir di setiap waktu dari Kedungombo, Lapindo, kasus santet Banyuwangi, Sampit bahkan Reformasi 1998. Ada benang merah yang menurutku tidak pernah terputus, mbah Nun selalu mengupayakan sebuah kondisi yang dalam bahasa Jawa menang datan ngasorake, mencari win-win solution. Dalam hidup berbangsa tentulah perbedaan itu pasti, disitu pula konflik akan terus bermunculan tapi partisipasi dalam penyelesaian konflik, tetapi cara beliau menengahi, mengambil sikap dan berbagai metode yang beliau gunakan sangat menarik. 

Indonesia butuh 'manusia pawang' misalnya, khazanah menyelesaikan konflik dengan cara ini, kan, khas di Indonesia. Ada konflik-konflik yang selesai di meja makan, meja perundingan, sampai asal ada seseorang yang dipercaya kedua pihak yang berseteru lalu dengan mudah mau berdamai. Selain menjadi kanalisasi gelisahnya masyarakat, mbah Nun membuktikan dirinya sebagai pawang. Tentu sedikit banyak kita juga bisa demikian dalam skala yang tertentu sesuai kemampuan kita. 

Metode yang lain tentu saja adalah pengamanan pikiran. Akhir-akhir ini saya mulai sadar dan bertanya-tanya, berapa jam yang sudah digunakan mbah Nun di berbagai diskusi sejak ia muda, berapa orang yang berdiam mendengar beliau berbicara, tidak bergeming dari tempat duduknya lalu dalam pandangan yang lebih luas saya melihatnya ini sebagai upaya pendiaman massa. Dari beragam diskusi Emha lalu Maiyahan, berapa ratus ribu orang selama ini yang gagal melakukan hal-hal kriminal, kejahatan, keburukan karena diperjalankan duduk diam di setiap maiyah berlangsung. 

Tentu ini bukan Mbah Nun saja, saya yakin Allah sangat berperan atas semua ini. Siapa yang bisa membuat ribuan orang untuk lênggah-anteng jika bukan perkenanan Tuhan sendiri?. 

Tujuh puluh tahun usia beliau, ribuan tulisan, ratusan karya baik puisi, cerpen, esai, naskah lakon hingga lagu-lagu. Nampaknya lebih dari cukup, saya sendiri merasa tidak habis-habis mereguk ilmu yang sudah dengan tekun beliau berikan – nyaris setiap hari. Dan rasanya ada yang tidak jangkep jika saya diam saja. Maka, saya ajak kalian semua yang pernah maiyahan, mari kita sama-sama mewarisi Maiyah, melakukan sesuatu yang baik serta terus berpikir dan umbul donga. 

Semoga esok hari kita sampai.



Surakarta, 24 Mei 2023

*Tulisan ini dikirimkan sebagai esai 70 tahun Emha Ainun Nadjib di Gambang Syafaat, Semarang.

Tuesday, May 23, 2023

Mata Air dan Lapangan

Melihat dinamika pergerakan hari ini menjadi mengernyitkan dahi. Betapa tidak, semakin banyak orang-orang prematur memiliki kuasa lalu bisa ditebak langkah berikutnya, program yang berlangsung tidak menarik, dan makin menurunkan kualitas pergerakan itu sendiri.

Saya tidak begitu tahu kenapa hal seperti ini masif, apakah karena tingginya traffic pengguna media sosial? atau karena internet kemudian mempercepat laju informasi sehingga membuat penggunanya semakin mudah memperbandingan dirinya dengan liyan. Ketidakpercayaan diri jadi gejala masif, alter-ego yang muncul semakin banyak anak-anak mengejar jumlah tayang, suka maupun dibagikan oleh orang lain. Praktisnya, popularitas bisa menjadikan mereka terkenal - bahkan kaya.

Alam berpikir seperti ini hidup, perlombaan manusia kemudian sedikit bergeser arah derajatnya. Tidak perlu adu berpikir karena mesin pencari bisa menyiapkan jawaban dalam hitungan detik - sekaligus sebenarnya menjadi senjata ampuh untuk mengkritisi pendapat seseorang, kecerdasan buatan kini merambah dunia teks, manusia diberikan berbagai macam kemudahan untuk memproduksi sebuah konten. 

Tugas-tugas sekolah dan kuliah sudah disandarkan pada komputer sejak internet kencang, kini makin menjadi dengan Chat-GPT atau Bard milik Google. Informasi di mesin pencari tak lagi bersandar pada hasil pencarian teratas yang berdasarkan mesin SEO, namun akan diganti alogaritma yang lebih akurat menyesuaikan hasil pencarian menggunakan rekam preferensi pengguna yang dikoleksi pada sebuah akun email.

Ootput luarnya, pembicaraan mereka pada berbagai diskusi kemudian dangkal, cacat logika, sampai benar-benar tidak memiliki kadar ilmu yang cukup selain hanya selevel rerasan di warung kopi atau angkringan. Sedangkan sistem terus memicu manusia untuk menjadi patron, tokoh, terlihat dan lupa ada sistem-sistem lainnya yang berjalan di belakang layar.

Sebaliknya, kepraktisan ini juga memicu kesempitan berpikir, mungkin juga pembodohan sedang terjadi, kemungkinan berikutnya konservatisme muncul. Beberapa pihak dengan secara sadar menggunakan ideologi, tafsir atas sebuah keyakinan hingga menukil nama-nama orang besar untuk brainwashing anak-anak baru. Dalam waktu singkat beberapa orang menjadi gampang marah, tidak mau berkompromi, terbuka pada dialektika dan dengan acuh mendeklarasi dirinya sebagai bagian dari yang asli, yang murni, yang paling benar untuk dianut semua orang. 

Forum-forum yang terjadi kemudian alot. Diskusi tidak menciptakan kecenderungan olah pikir manusia tetapi malah berhenti menjadi kotbah-kotbah nan dogmatis. Pertanyaan tidak muncul, manusia pulang hanya membawa perintah lalu dalam waktu cepat narsisme tercipta. Mereka tak ubahnya seperti gurunya yang sama-sama hanya butuh jumlah like dan view tadi - dalam bentuk yang lain. 

Dari pinggiran lapangan, kadang kita bisa melihat berbagai arus yang bergeliat, sebelum akhirnya kita berpihak. Melawan mungkin juga bakal dimatikan oleh mereka yang merasa hegemoninya diusik oleh suatu pemikiran kritis.