image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Monday, April 24, 2023

Teman yang berubah


Lebaran tak hanya membawa manusia datang kembali ke tanah asal mereka, namun juga membawa keping-keping baru atas nasib tiap manusia dari tanah rantaunya. Hari-hari kemudian menjadi penuh dengan banyak obrolan. Kebanyakan memang basa basi belaka. Tidak semua orang mampu membuka obrolan dengan baik, alih-alih berhati-hati dalam membincang beberapa orang kemudian terjerumus pada sifat sok 'minteri'. 

Sebagai orang yang puluhan tahun di rumah, dan sekaligus tidak jadi penunggu rumah, takaran-takaran itu makin kentara. Selalu ada momentum manusia untuk menunjukkan eksistensinya. Perihal capaian, pekerjaan, lalu masalah yang ia bawa dari masa lalu serta masa depannya yang mengubah hari ini. Semuanya berkelindan. 

Khusus lebaran tahun ini mungkin sedikit berbeda. Ketika pandemi kemarin dua tahun tidak ada perayaan, orang dilarang mudik memungkinkan segalanya diselenggarakan secara sederhana. Namun kini, ketika hampir separuh penduduk negara ini melakukan perjalanan mudik, euforia itu terasa. Meskipun harus diakui kepincangannya. 

Pasar-pasar tetap ramai, meski katanya tahun ini lebih sepi. Bakul-bakul pakaian telak kalah dengan thrifting atau bahasa desanya awul-awul. Pakaian baru memang tetap menjadi incaran namun tak seramai biasanya. Dulu, hampir setiap keluarga punya 'seragam'-nya tersendiri, kain-kain lenan halus yang sudah dipesankan pada penjahit ketika bulan puasa dipakai pada hari raya. Kini tidak banyak, pakaian-pakaian yang dipakai cenderung rapi dan bersih gitu saja.

Sebagai anak yang harus mewakili orang tuanya atas nama keluarga besar, setelah ritual bersalaman sekampung kunjungan ke banyak rumah kulakukan. Kudapannya masih lain dari hari biasa orang desa, namun tidak se-wah lebaran sebelumnya. Tidak banyak yang memasak opor, banyak dari mereka yang menggantikan menu di meja dengan menu yang lebih hemat. Pecel, lele, sop, dan es teh. Get poor slowly kalau kata para pakar ekonomi itu beneran adanya. Inflasi tahun ini sangat tinggi sampai 5%, uang makin tidak punya nilai, kepemilikan kapitalpun makin tergerus. Sementara itu kebutuhan harian makin meninggi harganya. Bahan pokok, paketan internet sampai bea perawatan kendaraan. Efek-efek ini terbawa sampai lebaran. 

Hal-hal ini yang kemudian membawa banyak sekali kemungkinan arah basa-basi pertemanan. Kawan-kawan yang dulu dekat tampak lebih jujur. Bahkan dengan terang-terangan memamerkan kemiskinan dan kesulitan ekonomi yang ia dera. Efek thrifting sangat signifikan pada nasib buruh pabrik tekstil. Kawanku mungkin salah satunya, jelang lebaran ia salah satu yang kena PHK, entah bagaimana lagi akan mengurusi keluarganya. Ada pula yang jualannya tidak seramai tahun sebelumnya, makanan dan minuman berbuka biasanya sangat laris, tahun ini tak demikian. 

Teman-teman yang dari rantaupun beragam, kebanyakan memang hanya pamer ini itu, di usiaku yang mereka bicarakan tentu saja parenting, beli rumah atau mobil dan cerita capaian jabatan. Di sisi lainnya, tentulah basa-basi belaka. Dan sesuai prediksi, akan makin banyak kawan tidak mau diajak bertemu karena memang kondisi finansialnya sedang jatuh, dan ora metu omah yen ora duwiti, salah satu jawaban dari kawanku demikian. Bahkan, aku yang berniat sekedar sowan ke rumahnya pun di tolak dengan alasan macam-macam. 

Aku sangat paham perasaan orang miskin, namun apakah sampai sebegitunya hingga untuk bertamu saja harus dibatasi. Tapi itu pilihan personal, dan memang tidak boleh dikekang. Mungkin ia terbiasa unjuk memberi jamuan layak bagi tamu, jika tidak mending tidak sekalian. Hal-hal ini kemudian melambari diri sendiri agar tidak terlalu gegabah dalam berkunjung. Tahun ini berat, dan imbal balik dari semua tindakan baik belum tentu terbalas.

Kondisi hidup yang susah membawa banyak perubahan psikologis. Kawan-kawan yang berusia tigadasawarsa seumuranku tak jarang mulai jadi hakim moral bagi teman sebayanya. Beberapa dengan serius mendorong untuk segera menikah, namun pertanyaanya kubalik memang seberapa bahagia kamu dengan pernikahanmu sekarang? hidupmu jamuh lebih enak? kawan-kawan baik ini biasanya menjawab jujur hidupnya tak jauh lebih berbahagia. 

Beberapa yang jauh-pun begitu. Satu dua orang dengan gagah meminjam uang (justru karena berjarak ini mereka2 ini berani pinjam duit, tanpa sekalipun pernah tahu/membantu kondisi finansialku). Dan yang paling klasik nan ironis gini, kamu kan belum berkeluarga, belum punya butuh. Saya sebenarnya masih ingat betul beberapa tahun yang lalu kawan-kawan saya ini adalah orang yang paling getol memintaku berkeluarga, jadi polisi hidup orang lain. Mereka ini sama sekali gak pernah membantu ketika aku susah, tetapi dengan datar bisa senekat itu meminjam uang dan berhutang. 

Lain dengan para perempuannya, kebanyakan mereka malah jauh lebih ingin didengar. Lebaran ini jadi momen untuk menceritakan kisah-kisah sedih mereka, tentang hidup berkeluarga. Kesibukan berumah tangga, hingga 'jarak' seolah privasi itu harus disimpan rapat membuat mereka menjadi manusia super cerewet. Aku sendiri sebenarnya juga mengakui cukup banyak cakap tentang banyak hal, tapi perempuan-perempuan ini seperti butuh kanalisasi dari timbunan masalah yang ia simpan. 

Suami-suami mereka kerapkali menjadi biang masalah, tidak memungkinkan lagi untuk berbincang dengan siapapun meski hanya via gawai. Lalu kata-kata membuncah, sesuatu yang ditahan meledak, dan aku kembali mendengar hal-hal yang sangat intim nan tidak perlu sampai diceritakan. 

Kemiskinan memang mampu mengubah siapa saja. 

Selain berita buruk, tentulah banyak berita menggembirakan.  Banyak yang kemudian naik level sangat cepat, bertemu dengan banyak jaringan yang tidak mungkin dicapai semua orang. Ada perasaan mongkok dengan kawan-kawan ini, justru karena saya tahu persis hidupnya ketika remaja tidak mengenakkan. Tidak pernah ada yang menyangka pergulatan hidup dan pilihan-pilihan sulit justru menjadikan mereka mampu bertahap menjadi sesuatu yang tidak pernah mereka duga. Malam-malam jelang dan pasca lebaran tentulah lebih lama dengan kawan-kawan ini, sebelum akhirnya kita kembali lagi pada kesunyian masing-masing.

Kalimat-kalimat segera berlalu, adapula yang tidak sempat bertemu karena polanya berubah. Beberapa juga  menyibukkan diri karena tahun ini akan menikah, sisanya memang tidak sempat bertemu. Perubahan-perubahan selalu terjadi, namun lebaran ini, perlambatan ekonomi, resesi dan inflasi mendorong lebih jauh orang ke jurang kemiskinan. 

Dan kemudian kebanyakan dari kita merayakannya dengan sederhana, seperti teh hangat dan sayur lodeh tanpa opor di meja. Atau uang pitrah yang dulu sampai jutaan kini hanya bermodal seratus tujuh ribu untuk membeli uang pecahan 2000 baru untuk para ponakan. Semuanya senang dan sedih dengan caranya. 

Selamat bakdan!.


Wednesday, April 19, 2023

Lebaran dari "Pinggir"

Setiap tahun kita memulai perjalanan dari bilik kesunyian kita masing-masing menuju kampung halaman.  Apa yang kemudian benar-benar kita cari dalam kepulangan? ataukah hanya ritual berulang semata yang terus berdengung di telinga dan mata sebagai sebuah peristiwa. Aku merasa semakin dewasa semakin jelas rasa itu, sebuah nukilan gegap gempita yang makin tawar. Makin hambar.

Untuk apa, untuk siapa? 

Saya pernah berbincang-bincang dengan seorang teman, kala hidupnya miskin, rumit, dan terbengkalai. Ia mengumpamakan hidup orang susah itu seperti tikus. Kalau mati tidak ada yang menangisi, kalau berhutang sudah tidak dipercaya, kalau butuh sesuatu dikira ngemis. Sadis dan jahat hidup ini, apalagi di hari raya. Seberapa yang benar-benar jujur menikmatinya, meskipun akhirnya tetap merayakannya. 

Setiap lebaran memang saya pulang ke rumah. Mengunjungi makam ibu saya - dan kini bertambah makam eyang putri. Suasana di rumah tidak ada bedanya, gang-gang kampung berisi mobil-mobil berplat luar kota, sepanjang malam kelakar itu tak habis-habis persis seperti kudapan, lezat namun tak semuanya begitu. Bagiku, setidaknya setelah eyang putri meninggal kesunyian itu makin mencekat. 

Tidak ada orang-orang dan handai taulan lagi yang berkunjung ke rumah, sebaliknya selama belasan tahun aku mewakili mendiang ibu untuk berkunjung ke saudara-saudaranya yang masih hidup, menikmati kepalsuan demi kepalsuan. Pembicaraan hanya berisi basa-basi yang berujung mengira nasib saya sudah melampaui mereka. Tentu saja, nasib intelektual, jaringan, koneksi dan pemikiran saya memang berubah. Tetapi kondisi finansial saya bahkan jauh lebih buruk dari orang-orang tua ini, mereka yang terus berhutang dan meraih apapun atas nama dalih "kamu 'kan belum nikah, belum mikir butuh'. 

Anjing memang,

Sejak SMP saya mulai mencarikan duit tambahan untuk eyang putri agar ketika lebaran tiba ada sajian di meja, ada uang pitrah untuk cucu-cucu lain yang seumuran saya. Semuanya harus disulap menjadi ada, keluarga harus terlihat normal demi menjunjung nama baik. Aku akhirnya melakukan itu semua bukan karena nama baik, tapi cinta. Tresnaku pada eyang putri, pada rendra dan bapak. Demi mereka selama belasan tahun aku membual bahwa semuanya lagi sibuk, semuanya lagi sedang berproses, dan menuju sukses. 'Mikul dhuwur mendem jero' itu pelik. 

Saya terus dirumah hingga tigapuluh satu tahun. Menjadi penunggu rumah itu lebih berat rasanya, karena harus menjalani rutinitas sehari-hari yang jauh lebih berat bersama orang tua. Sempat dulu marah karena ingin mencecap rasanya merantau, meraih karir dst. Tapi lumat juga karena cinta kepada eyang ketika kesempatan itu datang. Rasa tidak tega meninggalkan orangtua sendirian di rumah jauh lebih membebani, dibanding rasa tidak punya masa depan. 

Dan, kini tiap lebaran ketika beliau pergi, rasa-rasanya hidup makin tidak jelas jluntrungannya. Kepulangan berarti ke makam, dan rumah selalu nomor dua. Pulang berarti harus siap untuk tidak membebani siapapun dirumah, dan tentu saja itu berat. 

Makin tua, makin paham bahwa ada dari hidup yang tidak pernah bisa kita kuasai dan kendalikan. Hitungan-hitungan yang tepat tak semuanya terealisasi, meskipun iya beberapa berhasil dilakukan. Manusia akhirnya tetap sendirian. Bagaimanapun ramainya lebaran selalu saja ada orang-orang kesepian. Orang-orang tua kemudian pergi, meninggal dan anak-anak terpisah oleh kesunyian. 

Lebaran memang tidak mudah bagi manusia lainnya. Aku selalu melihat mereka, dendang dan tarian orang-orang kalah ketika lebaran. 

Di tengah riuhnya malam lebaran, sesekali aku melihat beberapa orang merokok dengan lesu di teras rumahnya. Boro-boro beli baju baru, masak opor, atau memberi pitrah pada handai taulan, untuk menutup kebutuhan diri sendiri saja masih harus ditambal dengan hutang di sana sini, Aku juga melihat bapak-bapak muda di hari kedua lebaran justru pergi dari rumah, mengambil kail pancingnya untuk menyepi. Mereka tidak siap bertemu dengan keluarga besar yang penuh dengan bualan kesuksesan, capaian, pekerjaan, hal-hal yang selama ini tidak pernah ia capai.

Seorang janda yang ditinggal pergi suami untuk menikah lagi, wajahnya menyimpan marah juga kalah ketika halal-bihalal tiba dan semua pasangan memamerkan keharmonisan mereka. Anak-anak yang merengek minta mainan, dan main di kolam renang, karena tak terjangkau uangnya, sang bapak mengecoh untuk mengajak membeli bakso termurah di kampung. Anak-anak akhirnya memang tertawa riang, dan sekali lagi para lelaki menyulut rokoknya dalam-dalam. Adapula yang menunggu orangtua mereka renta dan sakit tak bisa bangun dari ranjang, di meja tamunya tidak ada apapun. Kemiskinan telah mengetuk sejak penyakit itu datang, dan tiada lagi yang tersisa. 

Mereka-mereka ini mungkin yang akan "kaya tikus" itu tadi, tergilas jaman dan dilupakan. Anak cucunya tidak punya waktu untuk mengenang, apalagi mendokumentasikan, karena ternyata hidup habis untuk membanting tulang dengan hasil yang tidak seberapa. Lebaran datang dan pergi, tapi kemiskinan tetap. Di kota ini, kota dengan salah satu umr terendah di negara masih banyak yang bekerja jauh di bawah UMR. Tentunya kebutuhannya tidak terpenuhi, dan kemiskinan lalu menggejala menjadi apa saja.

Orang-orang beragama selalu melantangkan memberi, tapi mereka ini sudah tidak ada lagi yang bisa dibagikan. Apalagi dengan puasa, nyaris setiap hidupnya berpuasa, menahan banyak sekali godaan hidup, maupun bertahan agar tidak mengakhiri hidup.

Selalu ada yang luput dari setiap pesta. Selalu ada paradoks yang berjalan. Dalam setiap peristiwa besar, selalu saja ada yang minor. Dan kita, merawat ingat kalau sempat kita mencatatnya. 

Beberapa  tidak pulang, beberapa memilih bertahan untuk tidak pulang karena pulang berarti mencederai hati mereka (lagi) karena banyak duka dan luka. Sebagian perantau lain tidak pulang, entah karena malu, atau memang sudah kehilangan alasan kepulangan ke kampung halaman. Dari pinggir cathetan ini kucatat, karena bagian besarnya sudah didengungkan oleh banyak orang. Romantisasinya, kenikmatan dan kehangatannya dan apalah itu yang indah-indah. Tapi siapa yang mau mengamati lebaran dari sisi yang lain.

Para penunggu rumah kian sibuk, pelayan cafe tetap sibuk bekerja, para pengemis datang, tukang penunggu rumah-rumah di kota sepekan ini menikmati kekayaan tuannya, dan roda-roda hidup terus berputar.

Selamat. Gerhana-nya datang,



Surakarta, 20 April 2023