Lebaran tak hanya membawa manusia datang kembali ke tanah asal mereka, namun juga membawa keping-keping baru atas nasib tiap manusia dari tanah rantaunya. Hari-hari kemudian menjadi penuh dengan banyak obrolan. Kebanyakan memang basa basi belaka. Tidak semua orang mampu membuka obrolan dengan baik, alih-alih berhati-hati dalam membincang beberapa orang kemudian terjerumus pada sifat sok 'minteri'.
Sebagai orang yang puluhan tahun di rumah, dan sekaligus tidak jadi penunggu rumah, takaran-takaran itu makin kentara. Selalu ada momentum manusia untuk menunjukkan eksistensinya. Perihal capaian, pekerjaan, lalu masalah yang ia bawa dari masa lalu serta masa depannya yang mengubah hari ini. Semuanya berkelindan.
Khusus lebaran tahun ini mungkin sedikit berbeda. Ketika pandemi kemarin dua tahun tidak ada perayaan, orang dilarang mudik memungkinkan segalanya diselenggarakan secara sederhana. Namun kini, ketika hampir separuh penduduk negara ini melakukan perjalanan mudik, euforia itu terasa. Meskipun harus diakui kepincangannya.
Pasar-pasar tetap ramai, meski katanya tahun ini lebih sepi. Bakul-bakul pakaian telak kalah dengan thrifting atau bahasa desanya awul-awul. Pakaian baru memang tetap menjadi incaran namun tak seramai biasanya. Dulu, hampir setiap keluarga punya 'seragam'-nya tersendiri, kain-kain lenan halus yang sudah dipesankan pada penjahit ketika bulan puasa dipakai pada hari raya. Kini tidak banyak, pakaian-pakaian yang dipakai cenderung rapi dan bersih gitu saja.
Sebagai anak yang harus mewakili orang tuanya atas nama keluarga besar, setelah ritual bersalaman sekampung kunjungan ke banyak rumah kulakukan. Kudapannya masih lain dari hari biasa orang desa, namun tidak se-wah lebaran sebelumnya. Tidak banyak yang memasak opor, banyak dari mereka yang menggantikan menu di meja dengan menu yang lebih hemat. Pecel, lele, sop, dan es teh. Get poor slowly kalau kata para pakar ekonomi itu beneran adanya. Inflasi tahun ini sangat tinggi sampai 5%, uang makin tidak punya nilai, kepemilikan kapitalpun makin tergerus. Sementara itu kebutuhan harian makin meninggi harganya. Bahan pokok, paketan internet sampai bea perawatan kendaraan. Efek-efek ini terbawa sampai lebaran.
Hal-hal ini yang kemudian membawa banyak sekali kemungkinan arah basa-basi pertemanan. Kawan-kawan yang dulu dekat tampak lebih jujur. Bahkan dengan terang-terangan memamerkan kemiskinan dan kesulitan ekonomi yang ia dera. Efek thrifting sangat signifikan pada nasib buruh pabrik tekstil. Kawanku mungkin salah satunya, jelang lebaran ia salah satu yang kena PHK, entah bagaimana lagi akan mengurusi keluarganya. Ada pula yang jualannya tidak seramai tahun sebelumnya, makanan dan minuman berbuka biasanya sangat laris, tahun ini tak demikian.
Teman-teman yang dari rantaupun beragam, kebanyakan memang hanya pamer ini itu, di usiaku yang mereka bicarakan tentu saja parenting, beli rumah atau mobil dan cerita capaian jabatan. Di sisi lainnya, tentulah basa-basi belaka. Dan sesuai prediksi, akan makin banyak kawan tidak mau diajak bertemu karena memang kondisi finansialnya sedang jatuh, dan ora metu omah yen ora duwiti, salah satu jawaban dari kawanku demikian. Bahkan, aku yang berniat sekedar sowan ke rumahnya pun di tolak dengan alasan macam-macam.
Aku sangat paham perasaan orang miskin, namun apakah sampai sebegitunya hingga untuk bertamu saja harus dibatasi. Tapi itu pilihan personal, dan memang tidak boleh dikekang. Mungkin ia terbiasa unjuk memberi jamuan layak bagi tamu, jika tidak mending tidak sekalian. Hal-hal ini kemudian melambari diri sendiri agar tidak terlalu gegabah dalam berkunjung. Tahun ini berat, dan imbal balik dari semua tindakan baik belum tentu terbalas.
Kondisi hidup yang susah membawa banyak perubahan psikologis. Kawan-kawan yang berusia tigadasawarsa seumuranku tak jarang mulai jadi hakim moral bagi teman sebayanya. Beberapa dengan serius mendorong untuk segera menikah, namun pertanyaanya kubalik memang seberapa bahagia kamu dengan pernikahanmu sekarang? hidupmu jamuh lebih enak? kawan-kawan baik ini biasanya menjawab jujur hidupnya tak jauh lebih berbahagia.
Beberapa yang jauh-pun begitu. Satu dua orang dengan gagah meminjam uang (justru karena berjarak ini mereka2 ini berani pinjam duit, tanpa sekalipun pernah tahu/membantu kondisi finansialku). Dan yang paling klasik nan ironis gini, kamu kan belum berkeluarga, belum punya butuh. Saya sebenarnya masih ingat betul beberapa tahun yang lalu kawan-kawan saya ini adalah orang yang paling getol memintaku berkeluarga, jadi polisi hidup orang lain. Mereka ini sama sekali gak pernah membantu ketika aku susah, tetapi dengan datar bisa senekat itu meminjam uang dan berhutang.
Lain dengan para perempuannya, kebanyakan mereka malah jauh lebih ingin didengar. Lebaran ini jadi momen untuk menceritakan kisah-kisah sedih mereka, tentang hidup berkeluarga. Kesibukan berumah tangga, hingga 'jarak' seolah privasi itu harus disimpan rapat membuat mereka menjadi manusia super cerewet. Aku sendiri sebenarnya juga mengakui cukup banyak cakap tentang banyak hal, tapi perempuan-perempuan ini seperti butuh kanalisasi dari timbunan masalah yang ia simpan.
Suami-suami mereka kerapkali menjadi biang masalah, tidak memungkinkan lagi untuk berbincang dengan siapapun meski hanya via gawai. Lalu kata-kata membuncah, sesuatu yang ditahan meledak, dan aku kembali mendengar hal-hal yang sangat intim nan tidak perlu sampai diceritakan.
Kemiskinan memang mampu mengubah siapa saja.
Selain berita buruk, tentulah banyak berita menggembirakan. Banyak yang kemudian naik level sangat cepat, bertemu dengan banyak jaringan yang tidak mungkin dicapai semua orang. Ada perasaan mongkok dengan kawan-kawan ini, justru karena saya tahu persis hidupnya ketika remaja tidak mengenakkan. Tidak pernah ada yang menyangka pergulatan hidup dan pilihan-pilihan sulit justru menjadikan mereka mampu bertahap menjadi sesuatu yang tidak pernah mereka duga. Malam-malam jelang dan pasca lebaran tentulah lebih lama dengan kawan-kawan ini, sebelum akhirnya kita kembali lagi pada kesunyian masing-masing.
Kalimat-kalimat segera berlalu, adapula yang tidak sempat bertemu karena polanya berubah. Beberapa juga menyibukkan diri karena tahun ini akan menikah, sisanya memang tidak sempat bertemu. Perubahan-perubahan selalu terjadi, namun lebaran ini, perlambatan ekonomi, resesi dan inflasi mendorong lebih jauh orang ke jurang kemiskinan.
Dan kemudian kebanyakan dari kita merayakannya dengan sederhana, seperti teh hangat dan sayur lodeh tanpa opor di meja. Atau uang pitrah yang dulu sampai jutaan kini hanya bermodal seratus tujuh ribu untuk membeli uang pecahan 2000 baru untuk para ponakan. Semuanya senang dan sedih dengan caranya.
Selamat bakdan!.