image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Sunday, February 23, 2020

CAPEK, PULANG SAJA KALI YA?


Sulit menuliskannya dalam sebuah tulisan semua rasa yang berkecamuk, bertumpuk-tumpuk seperti gurita, seperti sarang laba-laba. Masalah datang silih berganti menerpa jalan getir jalma ketika semuanya berposisi mencari aman karena memang keadaan mereka tidak memungkinkan untuk menyelesaikan masalah ini, lalu semua seperti menabrak dinding-dingin pertimbangan. Jalma sudah mengusahakan sebaik-baiknya, tapi ya demikian akhirnya jalma juga terbatas, sangat terbatas. Untuk menjawab semua masalah yang terjadi jalma sadar tidak mampu.

Harus bagaimana sementara kepenatan demi kepenatan kian mencekat, semua masalah semakin banyak, beban pikiran semakin terasa. Sementara semua yang dirumah kian seperti anak kecil, berbicara seenaknya, menuduh seenaknya, kekeringan semakin melanda di keluarga jalma.

Hutang-hutang yang belum terbayar lunas, ditambahi hutang-hutang baru yang jalma sama sekali tidak tahu, lalu tertagih begitu saja, belum beban harian belum cekcok hanya karena masalah sepele yang sangat mengeringkan,

Semua memang berproses sejak jalma masih kecil, menumpuk dan menumpuk banyak hal yang jalma jalani demi menengahi itu semua. Ketika masih kecil dulu hanya menahan geram atau menangis, dan berharap bisa lebih nyatanya tidak. Semua berjalan semakin kacau dan rumit, meninggalkan banyak keluhan pada hidup.

Capek sekali rasanya hidup akhir-akhir ini, jangankan untuk menulis, sekedar tidur saja susah karena terus memikirkan banyak hal, membaca sudah kehilangan gairahnya, buku menumpuk disepanjang kasur dibiarkan jalma tertimpa butiran debu, sementara jalma hanya tertidur sembari mendengarkan nenek dan bapak yang terus berkeluh kesah akan masalahnya masing-masing. Orangtua jalma yang lupa bahwa jalma juga punya masalah, jalma melakoni banyak hal yang sebenarnya juga membunuh jalma sendiri pelan-pelan.

Apalagi jalma sudah merelakan semuanya, uang, karir, akademik, bahkan tabungan untuk hidup jalma yang aslinya tak bekerja karena nenek tidak mau ditinggal, lantas harus bagaimana.? Sementara ancamannya adalah terus menerus untuk menjual sejengkap tanah yang dimiliki jalma, tanah yang dalam perhitungan jalma untuk hidup jalma dan anak-anak jalma dihari-hari depan jalma.  Sudah diberikan dan diungkit-ungkit lagi, mau diminta lagi tapi ketika ditinggal mencari lagi.

Jalma capek, mengurusi ini itu sendirian,

Belum soal “sosial judgement” yang suruh nikahlah, yang PNS lah, yang dibanding-bandingin sama tetangga lah, yang selalu saudara yang disebut-sebut memberi ini itu sementara jalma yang menjadi penunggu rumah tak pernah sekalipun terimakasih, dikasih uang diam, ketika tidak dikasih dihujat habis-habisan, kere!, lupa kalo uang yang dia terima dari siapa, lalu pindah kemasalah yang lainnya, belum lagi soal keinginan – keinginan yang tersier seperti pakaian baru, jarik, dan memberi persembahan yang besar ke gereja.

Tidak tahu diri bahwa kondisinya sedang sangat tidak mungkin untuk berada di titik itu, lagi-lagi post  power syndrom dia masih terus merasa pada titik dimana lukanya harus dipenuhi oleh orang sekelilingnya, semua kejayaan dan pencapaian.

Terus menerus berulang setiap hari dengan masalah sepele yang berbeda lalu berlanjut ke masalah yang sama, masalah dimasalalu yang sebenarnya belum ada jawabannya, lalu kita mengulang-ulang luka, mennyayat kembali daging yang belum habis bekas goresannya, bagi simbah dan bapak yang mulai lupa itu sebuah proses melegakan hati tapi tidak bagi jalma, bagi jalma adalah hantaman keras dikepala, terus menjadi penat, menumpuknya yang akhirnya bisa meledak sewaktu-waktu, hanya duduk diam dirumah dengan mendengar, mengalami dan bertanggung jawab atas setiap masalah yang terus semakin berat.

Akhirnya hanya sekedar tidur pulas 2-3 bulan ini sangat mahal, pikiran kemana-mana, terbangun oleh konflik dan tuntutan serta bandingan ini itu, apalagi untuk merekam  banyak peristiwa seperti harus menunggu banyak momentum baru bisa nulis, dan membaca pun terus pudar sampai hari-hari ini tak membaca buku apapun hanya karena penatnya pikiran.

Terkadang jalma berpikir jalma ini adalah benih yang ditanam di tanah berbatu itu, yang hanya menunggu pertumbuhannya yang penuh dengan masalah, kemudian mati. Apapun yang diusahakannya sebaik-baiknya tak pernah dianggap sebagai sebuah usaha untuk menemani mereka, tak diingat-ingat dan bahkan terus dituntut.

Atau jalma lari saja? tapi nanti seperti pas di Jakarta itu begitu pulang hanya jadi cibiran seluruh tentangga karena meninggalkan rumah dan simbah terlunta-lunta, hanya karena bapak dan adik tak pernah dirumah, lalu semakin hancur nama jalma dikampung. Jalma pulang untuk simbah, dan simbah menjelekkan nama jalma ke setiap rumah yang didatangi dimintai dan dipinjami ini itu.

Sejak saat itu dirumah, dan tak kemana-mana lagi, dan justru masalah semakin besar ketikia jalma tidak bekerja dan punya penghasilan tetap yang diandalkan mereka-mereka itu. Aku ini bagaimana, harus seperti apa, untuk mempertahankan rumah yang ajur-ajuran ini?

Penat sekali rasanya.........................
Pingin ngilang bentar, supaya bisa tertidur nyenyak tanpa mendengar semua masalah.
Capek, atau apakah kita ‘pulang’ saja? hidup gini amat resikonya.
Mati saja kali, biar simbah dan bapak tahu tanpa jalma, hidup mereka mau seperti apa, dan berterima kasih akhirnya telat, karena jalma sudah terlanjur "pulang"

#agustaisme





Friday, February 21, 2020

BIAR HUJAN MENGHAPUS JEJAKMU

Damar Kurung


Detik-detik berlalu, dalam hidup ini
Perlahan tapi pasti menuju mati,
Kerap datang rasa takut menusuk di hati
Takut hidup ini terisi oleh sia-sia

Sepenggal bait dari lagu Iwan Abdulrachman ini terus saya putar hari ini, selain menikmati tahun wawu yang dipenuhi dengan perpisahan namun juga sebagai pengingat terhadap keberadaan ajal yang terkadang datang seperti kilat. Ya seperti sambaran petir secepat itu, ketika tulisan ini saya tulis penyanyi favorit banyak orang Bunga Citra Lestari sedang kehilangan suaminya karena serangan jantung. Kematian selalu saja menjadi misteri bagi semua orang, bagaimanapun datangnya kabarnya selalu menggelisahkan. Memang demikian adanya sebagai manusia siapa yang siap dengan kabar kematian?
Jika ingin membandingkan terminologi umur, usia jalma tahun ini 29 tahun yang jika ingin di­ compare dengan Yesus hidup jalma tinggal 4 tahun lagi, jika dengan Muhammad masih 34 tahun, atau jika dibandingkan dengan suami BCL jalma hidup 11 tahun lagi. Atau jika dibandingkan dengan Mbah Goto manusia tertua di sragen yang 140 baru meninggal, atau ibu dari kawan saya Mbah Herman Broto 108 tahun bukankah sebuah kemuliaan tersendiri diijinkan berumur panjang dan menimang buyut bahkan canggah (keturunan grade 4). Dan memang demikian berusia panjang serta diberi keseimbangan berfikir akan mampu merekam banyak perubahan manusia, seperti Pak Sapardi dan Prof. Ariel Heryanto, sisanya jika tak menemukan kemampuan untuk mengisi umur hanya berujung pada kebosanan hidup, lelah melakoni hidup namun tak kunjung mati, seperti Ragnar Lothbrok di serial Vikings.
Beragam harapan, visi, misi, obsesi sampai ambisi terlahir tercurah di dalam pemikiran setiap manusia, namun akhirnya manusia kalah dengan Ajal, kalah dengan “jatah detak jantung” yang sewaktu-waktu menyergap. Kerapkali dalam setiap pengamatan jalma selalu saja soal Ajal ini membolak-balikkan hati manusia, seperti tak habis-habis cerita soal pergulatan manusia. Saya teringat ketika Yesus semalam sebelum “dijual” oleh Yudas Iskariot, betapa kengeriannya ketika mengetahui saat ajalnya akan tiba, Yesus sebagai manusia juga takut, gemetar, berdoa, keluar keringat dingin. Bukankah dengan manusia modern juga sama? Kadang manusia kalah oleh ketakutannya jauh sebelum ajal, namun ada juga yang sebaliknya.
Jika berbicara soal visi tentu semua ingin baik-baik saja, baik menurut pandangan setiap manusia secara relatif, maupun baik secara mainstream sosial. Namun lagi-lagi jika mau berhitung berapa banyak yang malah jauh dari ekspektasi mereka karena mengejar visi. Yang ketika visi tercapai justru menimbulkan masalah baru yang tidak kalah hebat.
Ada teman-teman yang mengejar kekayaan, dan kekuasaan secara materi, begitu terkejar justru malah terbayar mahal dengan sakit dan akhirnya kekayaan dan kekuasaan hanya lewat begitu saja, didapat tapi yang menikmati rumah sakit. Adapula dibela-belain segera nikah karena ingin segera punya momongan, eh begitu sudah menginjak mau lairan anaknya meninggal duluan. Minggu ini seorang driver ojek online bersama anaknya balita ditabrak begitu saja oleh bus Sumber Kencono, si bapak meninggal ditempat dan menyisakan amarah. Temenku di ujung utara Jawapun begitu, saling mencintai sejak kuliah, mengusahakan hidup bebarengan, bekerja dan berharap pada kebahagiaan sembari menunggu buah hati lahir, ketika sang buah hati lahir, si istri yang keburu dinanti ajal.
Jalma sendiri mengalami kematian yang membolak-balikkan hati adalah kematian ibu jalma, di kelas 6 SD esoknya jalma harus mengikuti Ujian Nasional, dan ambyar sudah segalanya. Kemudian Ujian Nasional dikerjakan serampangan, seenaknya, sembari menahan tangis dan rindu berat ketika ditinggal ibu. Mungkin ini pula yang dirasakan BCL, menikah sejak 2008 hidup stabil dengan segala kemewahan dan kemapanan akhirnya setelah menikmati perahu rumah tangga 12 tahun tetiba dipundhut begitu saja, ya segalanya datang seperti kilat, seperti tidak percaya namun kemudian pecah tangis dan segala duka kehilangan.
Menurut jalma akhirnya yang diupayakan manusia adalah mengisi waktu. Berapapun yang diberikan manusia harus mengoptimalisasikannya, agar tercapai tujuan hidup itu sendiri yang mengaktualisasikan talenta Tuhan dan beragam bakat serta memberikan kebermanfaatan untuk semesta.
Tentu tidak sama jatah waktu manusia satu dengan yang lain, yang kalo boleh nyentil Injil lagi perumpamaan tentang benih itu adalah nyata adanya. Ada manusia yang terlahir ditanah berbatu, ada manusia yang terlahir di tanah subur. Jika dianalisis pertumbuhannya tentu akan berbeda. Benih yang lahir di tanah berbatu tidak akan tumbuh subur, bahkan seumur hidupnya bisa saja penuh kegagalan, kesesakan dan kemiskinan, jika tidak pas benih itu hanya akan jadi kecambah yang berusia 1-2 hari lalu ditumis. Benih yang terlahir ditanah subur bisa berkembang optimal, semuanya bisa berjalan lancar, tumbuh, berbunga berbuah lalu menghasilkan tunas-tunas baru yang tak kalah suburnya di tanah idaman.  Bukankah manusia begitu?
Jangan dikira selalu jalan ceritanya mulus, susah dahulu bahagia kemudian, banyak yang susah terus sepanjang perjalanan hidupnya. Lagi-lagi kepada ajal kita harus berserah. Dan pertumbuhan manusia bisa kita nilai dari kacamata lain, yaitu progres bagaimana sepanjang jatah waktu dia melakoninya, dampak dan efeknya kepada sekelilingnya dan kepada dirinya sendiri. Bagian lainnya adalah terus berposisi siap mati supaya tidak takut-takut amat menjalani setiap kehilangan, tapi siapa yang mau?
Akhirnya kepada manusia berserah, ya kepada hidup itu sendiri yang didalamnya selalu ada pilihan-pilihan. Ketika kematian datang akhirnya seperti lagu BCL featuring Ariel Noah
Lepaskan segala,
Lepaskan segalanya.
Usai sudah semua berlalu,
Biar hujan menghapus jejakmu...


Sragen, 18 Februari 2020
Indra Agusta