Oleh : Indra Agusta
Antrian mengular di pom bensin, sambil melihat sekeliling kulihat wajah-wajah yang sedikit layu karena berbagai masalah. Tentu penyebabnya variatif, bisa karena faktor individu maupun eksternal, bisa karena memang realitas atau justru diatur polanya sedemikian rupa untuk tak bisa menang mengalahkan hidup.
Dalam masa senggang, kulihat kernet truk sedang membenahi tali-tali dibelakang bak supaya barang bawaan tidak terjatuh dalam perjalanan, tentu ada rumusan-rumusan terkait sistem penalian barang, mengikuti unsur alam bagaimana arah pembebanan barang, hingga ketahanan terhadap goncangan yang menjadi akibat langsung dari laju kecepatan. Semua seperti jalinan rapi bahwa jika manusia berakal, disitulah muara sebuah kemampuan.
Namun yang terjadi tak hanya demikian, manusia terkadang suka 'mengkacamati' dirinya sendiri. Berdiri di arus searah kebenaran personalnya. Hingga pandangan mata akhirnya hanya tertuju pada apa yang dianggap benar atau salah hanya untuk kepentingan dirinya. Manusia kini menjadi kuda yang tidak bisa melihat dengan banyak cara pandang.
Ketidakmauan untuk melihat cara pandang lain hanyalah sarana dari ego untuk lebih mudah menyalahkan orang lain, menghardik orang lain, menolak jika tak sepaham dengan sumber otoritas doktrinernya, dan membela mati-matian apa yang sudah sejalan dengan pemahamannya.
Ternyata teori dikotomi ini sukses memecah belah dengan bumbu menyalurkan kebenaran, yang akhirnya hanya berujud kebenaran individu, bukan kolektif apalagi the real truth yang terus kita cari bersama.
Bualan-bualan dalam kotbah menggiring manusia pada afirmasi, kemudian mencuri-curi apa ini yang benar untuk menabrak lawan? semua berjalan berkesinambungan.
Ideologi-ideologi yang ditawarkan selalu , gerakan membela rasionalitas selalu berkubu sendiri melawan kubu spiritualitas. Atau mereka pemuja "Dataisme" sekarang sedikit-sedikit mempertanyakan referensi, tak peduli apakah referensi itu 'bekepentingan jangka panjang' atau tidak yang penting ada papernya, makalahnya, dalilnya, lalu kita bela mati-matian. Sementara di kubu lain berdasarkan perasaan juga sama kerasnya dalam memahami sesuatu. Sama acuhnya terhadap rasionalitas dan daya nalar, pemujaan berlebihan terhadap spiritualitas akhirnya juga mengabaikan jarak personal untuk waspada dan tidak mengkultuskan sumber ilmu atau gurunya.
Akhirnya sampai kini kita temui sama-sama kehilangan kewaspadaan, cenderung gampang meng-iya tidak-kan, tanpa mengolah dulu dalam skala rasionalitas dan dalam framing spiritualitas. kita akhirnya hanya memuja Pimpinan tradisional kita, pemujaan telak berlebihan yang akhirnya memadat menjadi permusuhan-permusuhan.
entah, sampai kapan.
Kerajaan-kerajaan politik sudah tumbuh dan akan usang, diganti kerajaan ekonomi, mungkin kedepan adalah Kerajaan pemilik data, atau disub lain akan ada arus besar memenangkan apa yang tak kau sangka ada, sebenarnya juga sedang berlangsung ada mengamatimu dari luar, dan menekukmu telak ketika kau lengah.
Bersiap Ajal menantimu. jangan lupa kau berkehendak, aku berkehendak, alam juga demikian punya kehendak atas rule-rule yang sudah digariskan, bahkan waktu juga berkuasa dan masih banyak diluar sana yang tak kau perhitungkan.
ngko jungkel nik kowe kebanteren mbela sesuatu.
Lembah Bengawan Solo, 27 Februari 2019
No comments:
Post a Comment