image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Wednesday, February 27, 2019

Bersiap

Oleh : Indra Agusta

Antrian mengular di pom bensin, sambil melihat sekeliling kulihat wajah-wajah yang sedikit layu karena berbagai masalah. Tentu penyebabnya variatif, bisa karena faktor individu maupun eksternal, bisa karena memang realitas  atau justru diatur polanya sedemikian rupa untuk tak bisa menang mengalahkan hidup.

Dalam masa senggang, kulihat kernet truk sedang membenahi tali-tali dibelakang bak supaya barang bawaan tidak terjatuh dalam perjalanan, tentu ada rumusan-rumusan terkait sistem penalian barang, mengikuti unsur alam bagaimana arah pembebanan barang, hingga ketahanan terhadap goncangan yang menjadi akibat langsung dari laju kecepatan. Semua seperti jalinan rapi bahwa jika manusia berakal, disitulah muara sebuah kemampuan.

Namun yang terjadi tak hanya demikian, manusia terkadang suka 'mengkacamati' dirinya sendiri. Berdiri di arus searah kebenaran personalnya. Hingga pandangan mata akhirnya hanya tertuju pada apa yang dianggap benar atau salah hanya untuk kepentingan dirinya. Manusia kini menjadi kuda yang tidak bisa melihat dengan banyak cara pandang.

Ketidakmauan untuk melihat cara pandang lain hanyalah sarana dari ego untuk lebih mudah menyalahkan orang lain, menghardik orang lain, menolak jika tak sepaham dengan sumber otoritas doktrinernya, dan membela mati-matian apa yang sudah sejalan dengan pemahamannya.

Ternyata teori dikotomi ini sukses memecah belah dengan bumbu menyalurkan kebenaran, yang akhirnya hanya berujud kebenaran individu, bukan kolektif apalagi the real truth yang terus kita cari bersama.

Bualan-bualan dalam kotbah menggiring manusia pada afirmasi, kemudian mencuri-curi apa ini yang benar  untuk menabrak lawan? semua berjalan berkesinambungan.

Ideologi-ideologi yang ditawarkan selalu , gerakan membela rasionalitas selalu berkubu sendiri melawan kubu spiritualitas. Atau mereka pemuja "Dataisme" sekarang sedikit-sedikit mempertanyakan referensi, tak peduli apakah referensi itu 'bekepentingan jangka panjang' atau tidak yang penting ada papernya, makalahnya, dalilnya, lalu kita bela mati-matian. Sementara di kubu lain berdasarkan perasaan juga sama kerasnya dalam memahami sesuatu. Sama acuhnya terhadap rasionalitas dan daya nalar, pemujaan berlebihan terhadap spiritualitas akhirnya juga mengabaikan jarak personal untuk waspada dan tidak mengkultuskan sumber ilmu atau gurunya.

Akhirnya sampai kini kita temui sama-sama kehilangan kewaspadaan, cenderung gampang meng-iya tidak-kan, tanpa mengolah dulu dalam skala rasionalitas dan dalam framing spiritualitas. kita akhirnya hanya memuja Pimpinan tradisional kita, pemujaan telak berlebihan yang akhirnya memadat menjadi permusuhan-permusuhan.

entah, sampai kapan.
Kerajaan-kerajaan politik sudah tumbuh dan akan usang, diganti kerajaan ekonomi, mungkin kedepan adalah Kerajaan pemilik data, atau disub lain akan ada arus besar memenangkan apa yang tak kau sangka ada, sebenarnya juga sedang berlangsung ada mengamatimu dari luar, dan menekukmu telak ketika kau lengah.

Bersiap Ajal menantimu. jangan lupa kau berkehendak, aku berkehendak, alam juga demikian punya kehendak atas rule-rule yang sudah digariskan, bahkan waktu juga berkuasa dan masih banyak diluar sana yang tak kau perhitungkan.

ngko jungkel nik kowe kebanteren mbela sesuatu.



Lembah Bengawan Solo, 27 Februari 2019

Monday, February 4, 2019

Kesesakan Sistemik

Kesesakan itu mengantarkan manusia pada luapan-luapan amarah, luapan kebencian, luapan pembenaran, luapan sakit, luapan terpingkal-pingkal pada kebahagiaan meski semu, luapan kritis pada semua hal hingga lupa berpijak pada suatu hal.

Jalan-jalan hidup yang buntu menambah ruang-ruang menjadi beku, tindakan dijalani dengan kaku pada sampai pada masalah-masalah ringan, dendamnya akan ketidakadilan hidup atau pandangan atas kesusahan yang menimpa dirinya menghambakan diri pada lajur emosial,

Dimana harus ada jalan untuk mendampratkan kekesalan, kegagalan, keinginan yang buyar, atau ego-ego yang ditumpas habis oleh kenyataan.

Oh itu adalah jalan agama, saya akan lacurkan egoku disana.
Oh itu adalah jalan kekuasaan, saya akan lacurkan egoku disana
Oh itu adalah kalan kenikmatan dunia, saya akan lacurkan egoku disana
Oh itu adalah jalan kekayaan, saya akan lacurkan egoku disana
Oh itu adalah jalan individualisme, saya akan lacurkan egoku disana.
Oh itu adalah jalan berlindung dibalik orang tua, saya akan lacurkan egoku disana
Oh itu adalah jalan proyek kebudayaan, saya akan lacurkan egoku disana.

Dimana-mana kengerian, kebrutalan sikap sedang terjadi.
Manusia lupa untuk berpuasa,
Manusia lupa untuk menahan,
Karena memang nyaman untuk memakan bangkai kawan daripada meminum darah sendiri.

Apakah benar-benar dirinya?
Mungkin bukan. Mungkin iya.

Lalu sistem besar mengakibatkan macam rupa efek baik di ruang besar maupun tingkap kecil jalan jalma.

Pemiskinan merajalela,
Penyesakan, Penyesatan, Pengkerdilan, Penghasutan.

Hingga alas tua kini hilang dibakar oleh keserakahan.
Hingga belik-belik yang dulu menyinarkan 'ci' kini hanyalah bebatuan padas penuh sampah...

Sampah seperti angkuhnya manusia berebut benar, berpamrih jasa, atas dan untuk dirinya sendiri.

Aku melihat angkasa muram,
Dibagian lain langit sama hitamnya,
Keruwetan ini menjadi bagian dari hidup semua orang, ada yang kuat, ada yang hanyut.

Manusia...ruang sempit diluasnya semesta.


Kleco Wetan, 5 Februari 2019