image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Tuesday, December 17, 2019

Inner Circle Gie, siapa inner circlemu?



"Manusia dibentuk oleh ambisi mengenai masa depan,dibentuk oleh kenyataan-kenyataan kini.Seseorangpun tak dapat membebaskan dirinya dari masa lampau serta pengalaman-pengalaman pribadi,seolah-olah hal tersebut memberi warna pada pandangan dan sikap hidup seseorang sampai seterusnya."
- Zaman Peralihan, Soe Hok Gie, hal.116.

Jika berbicara #Gie mungkin tidak ada habisnya, buku-bukunya sampai detik ini selalu menawarkan makna baru setiap kali saya membacanya. Buku apa saja dari Dibawah lentera merah, Orang-orang dipersimpangan Kiri Jalan, Zaman Peralihan atau Catatan Seorang Demonstran seperti peringatan-peringatan yang terus kompatible dengan zaman dalam mewujudkan sebuah idealitas kondisi yang diiingan Gie.
Sebagai seorang pendaki gunung, aktivis, relawan, penulis, minoritas (kristen), sosialis, sedikit saya paham apa yang dilakoni Gie, kegelisahan-kegelisahan itu sedikit banyak saya rasakan. Dan ilmu serta idealisme seperti harga yang semakin mahal saja.
Terlepas dari itu yang tak boleh dilupakan adalah manusia akan semakin dibawa lebih tinggi pada level intelektualitas maupun material. Semua ber-atraksi, berdekatan dan menjauh sesuai apa yang kita lakukan sekarang demikian juga Soe Hok Gie.
Sebagai orang yang brilian, tentu inner-circle Gie sangat-sangat dipelajari. Ayahnya seorang filsuf, pemikir dan penulis tentu mempengaruhi masa kecil apalagi orang-orang disekitarnya. Mari kita ambil sedikitnya orang-orang diseputar Tragedi Semeru 1969.
1. Herman Onesimus Lantang
Ketua Mapala Prajnaparamita, yang kemudian menjadi Mapala UI, Yang kemudian jadi orang penting dibeberapa pengeboran minyak, dimasa tua kini punya Herman Lantang Camp, semacam bumi perkemahan.
2. Alm, Mochtar Lubis
Penulis "Sendja di Jakarta" Wartawan keras, dan kritis terhadap Sukarno, sempat dipenjara Sukarno lalu keluar, karya sastranya banyak dibaca Gie. Yang juga mempengaruhi pikiran masa mudanya, karena selain aktivis Gie juga wartawan di Majalah Mahasiswa Indonesia. Mochtar lubis datang dipemakaman Gie
Beliau inilah omnya Idhan Lubis kawan gie yang meninggal bersama di Semeru.
3.Idhat Sidharama Lubis
Kakak kandung idhat lubis, pendiri KOPASTI Indonesian Green Ranger, Cibodas salah satu PA tua juga yang diasuh oleh beliau. Idhat dan Herman Lantang turut serta dalam evakuasi Jenazah Gie dan Idhan dari Semeru kemudian membawanya sampai malang sampai Jakarta
4. Prabowo Subianto dan Alm. Soemitro Djojohadikoesomo
Siapa tak kenal kedua tokoh ini, bapak anak yang turut mengisi kancah perpolitikan Ri. Sumitro adalah kawan Gie dalam berbagai diskusi mengkritisi Sukarno yang terlalu dekat dengan timur dan feodal.
Beliau berdua juga turut hadir di pemakaman Gie.
5.Alm, Rudi Badil
Warkop DKI (Dono Kasino Indro) dibelakang kesuksesan mereka ada Rudi Badil, Mapala UI yang jenaka beliau akhirnya mengumpulkan tulisan-tulisan yang bercecer Gie kemudian menjilidnya menjadi buku "Soe Hok GIe, sekali lagi".
6.Alm. Aristides Kattopo
Anak dari Penginjil mula-mula, tokoh dibalik penyusunan Alkitab di Hindia Belanda Elvianus Katoppo. Aristides kemudian menggeluti dunia tulis dan menjadi wartawan diujung puncaknya beliau menjadi pimpinan Koran Sinar Harapan.
Koran yang pertama kali membuka sejarah kelam G30S, tanggal 9 Desember 1965 mempublikasikan tulisan Gie "Seputar pembunuhan besar-besaran di Bali" yang akhirnya menjadi gondang di dunia.
Beliau aktivis, sesuai wasiatnya ketika meninggal, dikremasi dan abu jasad beliau ditaburkan di Lembah Mandalawangi menjadi satu dengan abu Gie.
7. Soe Hok Djien (Prof. Dr. Arif Budiman)
Kakak kandung Gie yang menghabiskan sisa masa hidupnya di Salatiga. Tokoh pergerakan sejak muda, terlibat pergulatan hebat "Sastra Kontekstual" dengan Prof. Ariel Heryanto dan Emha Ainun Nadjib di tahun 80-an.
8. Nurmala Kartini Pandjaitan
Pacar Gie, ini adalah adik kandung Luhut Binsar Panjaitan. Kemudian menikah dengan tokoh pergerakan di peristiwa Malari Dr. Syahrir. Syahrir inilah kawan dekat Hariman Siregar dan dipenjara bersama hariman pasca-Malari.
Demikian sedikit dari inner circle Gie, lahir dan besar dan memilih di lingkungan akademisi, aktivis pergerakan membuat Gie dan idealismenya bisa melampaui jamannya. Dan manusia adalah apa yang ada disekelilingnya.
Akhirnya selamat kekal Gie, terus menjadi inspirasi banyak orang.
Cerminnya siapa orang-orang sekelilingmu? Inner Circlemu?
Selamat menjauh dan mendekat secara alamiah.Orang-orang disekitarmulah yang akan membentuk dirimu, kesukaanmu pada ideologi, hormatmu pada tokoh, akan menjadi latar belakang tindakan-tindakan bahkan pencapaianmu di masa mendatang.

Selamat berbenah
Kleco Wetan, 17 Desember 2019
#Agustaisme

Tuesday, October 8, 2019

Kematian, Api dan Angin

KEMATIAN, API DAN ANGIN (Catatan -1, Kelas Sraddha VI)
Perubahan terus merekam goresan, pahatan, bangunan, banyak yang tercecer lebih banyak lagi yang terlupa bahkan kemudian hanya hancur berkeping begitu saja. Kabar kematian adalah sesuatu yang biasa ditangkap semua manusia, mahkluk diseluruh semesta. Pegatnya nyawa dari jasad terus berjalan setiap detiknya.
Pertanyaannya setelah kematian apa yang hendak diwariskan?

Bagaimana sebuah relief dibentuk untuk dikenang hingga ratusan tahun, kita mencoba menggali persepsi, menguak narasi sebuah struktur, memasuki ruang-ruang imaginasi, menelusuri berbagai ragam informasi sejarah, teks, tutur dalam merangkum kepingan-kepingan menjadi sebait cerita guna tolak ukur sudut pandang yang mendekati apa yang ingin ditawarkan oleh relief.
Kejadian ini mungkin seperti kisah pewarisan keris, atau kitab, atau joglo, atau sepeda onta yang pewarisannya berdasar intelektual juga tutur. Namun ketika "pegat" ada jarak, pewarisan nilai - nilai yang diwariskan kembali menemui jalan buntu.
Lalu sekumpulan anak-anak muda ini mencoba menggalinya, minimal mencicipi pengalaman nyata bukan hanya dari teks dan buku, menggenggam batunya, merasakan semilir anginnya juga mewarnai kertas kosong dengan catatan dan kebaruan data.
Kematian kemudian menjadi berarti ketika ada seseorang, keluarga atau ribuan orang menggenang sebuah kematian. Memperingatinya sebagai tolak ukur peradaban, membisikinya dengan kata-kata mutiara, atau berkelakar tentang baik-buruk. Peradaban akhirnya lahir dari kematian. Sejarah mengenangnya, mempelajarinya, tumbuh bersama-sama dengan kekuatan, menemukan kedirian juga pendaran sinyal untuk menjaga keseimbangan pemikiran.
Angin dan Api, relief itu yang terus tergores di beberapa tempat di Pegunungan Jawa selatan, entah apakah Dahana, Kerajaan Daha berasal dari muara kata Api itu sendiri. Mari terus berjejak Sragen, 8 Oktober 2019 #agustaisme

Sunday, September 8, 2019

Kita Tak Pernah Baik-baik saja

Earphoneku terus meraung-raungkan "secukupnya", dan terus menerus mempertanyakan "kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang?
tak perlu memikirkan tentang apa yang akan datang"

Sebagai manusia biasa yang lahir bukan dari keluarga yang cukup kuat untuk menjaga keseimbangan dalam terminologi apa yang sering diucapkan tetangga sebagai "normal" atau mapan. Raungan fender-telecaster menambah kejemuan-kejemuan ini serasa menjadi ledakan amarah, emosi, kegelisahan dan juga berbagai macam carut-marut pikiran yang melebur jadi jalinan kehidupan yang sangat up-normal.




KITA TAK PERNAH BAIK-BAIK SAJA
Beragam cara ditempuh supaya tegar menghadapi gondangan hidup. Menyepi, pergi berlari ke gunung-gunung, berjalan sunyi dibalik dedaunan, atau malah menghanyutkan diri dalam riuh konser ber-sound berat supaya gelegarnya bisa lebih besar menutupi banyaknya keruwetan hidup. Banyak orang lain berlari dibilik-bilik sempit perselingkuhan, menghancurkan sendiri keluarganya yang sudah rapuh. Sebagian lari pula pada kegiatan yang bisa melacurkan emosinya, menjadi garda depan parade populisme agama, siap menjadi senjata bagi arus dogmatis untuk melawan siapapun yang tak sepaham dengan dirinya. 

Banyak orang lain menyibukkan diri dengan pekerjaan, dengan doa, dengan mengikuti banyak komunitas ini itu, dengan menghasut semua orang agar menyeret semua orang pada kesedihannya. Akhirnya banyak kawan-kawan saya kehilangan dirinya dengan mengerjakan banyak hal demi memuaskan kepenatan hidupnya, namun beban hidup terus menumpuk.  Mulut anak-anak harus disuapi, mereka yang menemani orang tua harus membersihkan sisa berak, mengepel bekas air seni yang meluber disamping ranjang, atau membiarkan rumahnya hangus terbakar karena kompor atau tungku yang lupa padam dan kemarau menyambutnya dengan senang hati.

Sebagian lain memasuki bilik kesendiriannya, membaca buku-buku usang demi menambah khazanah pemikirannya yang mungkin pernah terpuaskan. Mengikuti kemana angin pergi menambah tutur kata dalam pertemuan-perjumpaan demi sebuah hasil besar bagi kemanfaat orang lain. Atau total mengurung diri dikamar bertapa dalam hening amati-karya, amati-geni yang terus dibilang aneh bagi manusia modern yang selalu ingin pencapaian monumental. Meski pertapaan akan dibayar mahal seolah sudah menjadi  keabsahan dan resiko seorang pemikir, ditengah jalan akan menggelandang kesepian meski kehidupan berjalan (diupayakan) normal disekelilingnya. menangkap sgala sesuatu yang tak ditangkap manusia lain, hingga menemukan kejemuan-kejemuan sampai beberapa pola-pola yang akan dihadirnya dibagikan kepada orang lain demi 

Beberapa kawanku juga turun ke jalan membakar ban, berorasi meneriakkan tuntutan-tuntutan atas perasaan tidak adil yang menimpa sebagian besar orang. Menjadi tonggak ukur ledakan perubahan, membombardir pemikiran konservatif atau liberal lewat perlawanan kata-kata supaya manusia makin siap untuk menerima banyak hal. Di akhir perlawanannya ketika negara terus menaikkan pajak dan mengunci kebebasan pemikirannya, akhirnya orasi berhenti pada melacur pada kekuasaan yang dia ludahi sendiri. Demi susu dan biskuit untuk buah hati, atau membayari biaya persalinan dan pemakaman orang-orang tua yang pernah membesarkannya.

Yang paling banyak tentu mereka yang lari dari masalah dan terjebak pada masalalu. Terus menerus bercerita tentang kejayaan dimasa lalu banyak yang terlambat ketika hal itu membekas sampai tua kerap masa lalu bukan dijadikan pondasi tapi malah jadi standar pencapaian untuk manusia yang hidup di jaman yang berbeda. Ratusan kali pertemuan hanya berputar-putar dengan kecacatan pola fikir yang seolah benar namun seringkali jauh dari bahasan - bahasan. Kita kelelahan menghadapi banyak takdir, kecapean mengarungi kebuntuan-kebuntuan. Lalu semua gerak-gerik hanya untuk kepentingan dan kenyamanan diri sendiri. Atau malah lari dari masalah, menempatkan diri pada lingkungan baru, wilayah baru, atau struktur sosial baru dari sebuah masyarakat seolah-olah akan menjawab masalah namun banyak yang justru menemukan kompleksitas masalah baru. Minggat bukan solusi.


Selalu ada yang ingin diunggulkan - dimenangkan manusia secara pribadi, namun tak pernah ada yang menang, mereka bertahan sebentar kemudian hancur begitu saja. Seperti kekekalan hukum bahwa didunia memang tidak ada yang kekal. Perubahan-perubahan memang selalu membawa dampak, sikap-sikap membawa dampak, kita mengenalinya. Mendobraknya untuk memperingatkan mereka yang keras kepala. Kita mencatatnya untuk menangkap apa yang tersusun rapi dari yang acak, apa yang harus disimpan sebagai peringatan, apa yang kemudian dibagikan untuk kebahagiaan liyan.

Dan manusia mendapat balasan-balasan dari semua sikap yang mereka perbuat. Mereka mendekat-menjauhkan diri dari sebenarnya yang diinginkan diri-mereka. Seperti gaung resonansi atau gema pendukung parpol yang begitu hebat menggiring manusia pada pembelaan akan kebenaran subjektif yang ingin mereka yakini.

Tak banyak kawan-kawanku yang berani mengekspresikan kesedihan, mengungkapkan kedukaan dan meminjam bahu kawan untuk dipeluk atau mengobrol semalam suntuk hanya untuk berkeluh kesah. Kita selalu merasa masih kuat untuk menghadapi hidup, sampai kita benar-benar kehilangan segala sesuatunya, seperti seonggok pelepah pisang, mati dan membusuk-pun terkadang orang sepertiku masih berfikir kebusukan ini bisa memberikan warna bagi tumbuh-tumbuan baru.

Mimpi-mimpi yang mahal akhirnya adalah duduk tenang disuatu tempat, tanpa memikirkan sesuatu masalah yang sangat pelik, mungkin  menikmatinya dengan sedikit kopi, alkohol, atau malah menikmati pelukan-pelukan yang tanpa pretensi untuk memiliki, cinta-cinta yang meluncur begitu saja tanpa mengharap balasan atau membalas. Dan membiarkan semua berdiri pada pijakan kewajaran, kesesuaian dalam bingkai luas keseimbangan. Terus membiarkan diri berlatih untuk tetap tegar, sekaligus tak terlalu menyombongkan diri untuk terlalu siap menghadapi hantaman hidup.

Percayalah, manusia tidak bisa berdiri sendiri sekalipun segalanya ingin kau selesaikan sendiri, supaya tak menambah beban bagi manusia lain. Namun sesekali hiburlah dirimu sendiri dengan caramu, dengan cara yang tak merugikan orang lain, yang menyenangkan dan menenangkan, meski dunia selalu menjauhkan diri dari keadilan. Keadilan apapun dari visi manapun.

Kesia-siaan belaka, menurut Sulaiman. Namun dandanan manusia lebih bagus dari bunga Bakung. Engkaukah itu? yang besok mungkin terbunuh, mati kelaparan, mati tercekik hutang, terkena sampar atau malah terkubur hidup dalam perjuangan atau geliat pekerjaan. Selamat menikmati kewajaran,.

Kita semua (pernah) gagal,
Angkat minumanmu, mari bersedih bersama-sama.
Secukupnya...


Sragen, 9-9-19
Indra Agusta










Thursday, July 11, 2019

Dimana Agama?

Hari-hari ini banyak orang melakukan sesuatu atas nama agama, lalu dijawab serius oleh guru sejati saya (nurani).

Coba telisik lagi jangan-jangan itu bukan agama tapi doktrinasi subjektif atas nama agama, atas nama lembaga agama, atas nama insitusi agama, atas nama denomisasi agama, atas nama guru agama, atas nama superioritas pasukan berdalih agama, atas nama konsep pribadi dibalut kepentingan tertentu di  sebuah tren Gerakan tertentu mengatasnamakan agama, atau kapitalisme agama lewat jualan janji surga dan keselamatan.

Dst..dst...

Lalu saya lupa akan agama harus membebaskan, agama harus mensejahterakan, agama harus menjadi rahmat, agama harus menjadi penyelamat manusia tanpa sekat-sekat, tanpa membeda-bedakan, tanpa ekslusifisme kaum atau jemaat tertentu.

Namun kan tidak terjadi di era manusia sedang cacat logika seperti ini?
#Agustaisme

Thursday, June 6, 2019

Lebaran Sunyi


LEBARAN SUNYI
(Catatan -1 Lebaran 1440 H )

Geliat arus transportasi membawa kaki demi kaki pada pijakan, titik demi titik batas kota. Melewati setiap kepulan asap, juga penjaja kaki lima yang bermunculan dikemacetan jalan yang katanya anti macet. Tumpah ruah manusia memadati jutaan rumah-rumah dipelosok kampung. Jalma sengaja berkeliling kadipaten memasuki lorong-lorong desa yang biasanya sunyi menangkap setiap kedipan mata asing, yang waktu ini terbiasa oleh wajah-wajah asing, atau wajah-wajah usang yang dulu sempat terbawa arus masa kecil kini kembali lagi memanggul masa depan sekaligus memendam masa silam.

Tatapan-tatapan hangat tergores jelas dimata si penunggu rumah, semua orang yang tinggal dikampung yang tak kalah hebatnya dalam berjuang menunaikan hidup. Dapur rumahku yang biasanya sepi kini dipaksa untuk riuh akan banyak sajian, sebagai perayaan kebudayaan setahun sekali memang rumah yang sederhana-pun akan sebisa mungkin mensajikan suguhan terbaik supaya tamu, handai-taulan, anak dan cucu saudara bisa merasakan hangatnya tangan-tangan yang meracik bumbu. Belum lagi kudapan dan piring yang mengalir dari rumah saudara-saudaraku yang turut meramaikan dipan (mirip lemari untuk menyimpan lauk), karena keluargaku termasuk yang berkeyakinan beda secara administratif maka aliran tumpah ruah makanan lezat itu menggunung juga dirumah. Benar-benar pesta besar.

“Arus Pulang” ini seperti tumpukan rindu, kebahagiaan tentu juga sekaligus kesedihan. Bagaimana pesta besar ini adalah pesta yang momen utamanya adalah bertatap secara fisik, jasad. Bersalaman, cium pipi, bahkan berpelukan terkadang dibumbui tangis haru karena ada yang ‘sudah mendahului’. Makam-makam yang dihari-hari biasanya ketika aku mengunjungi ibuku sangat sunyi kini juga tak kalah riuh oleh mereka yang datang. Mungkin secara jasad tidak bisa menyentuh mereka yang sudah ‘muksha’ namun secara simbolis dan esensi datang kemakam itu peristiwa yang terus bikin deg-degan. Sebagai lelaki yang sok kuat kadang juga tak pernah lelah berhenti menangis dikala berat menghadapi hidup. Bertemu tentu tidak, melegakan hati iya. 

Setidaknya itu yang saya selalu rasakan ketika penat menumpuk dan menumpahkan segalanya di makam ibu saya, sembari membayangkan seolah-olah beliau masih duduk-duduk mendengarkan saya.

Lalu Jalma terus melewati berbagai macam pematang beton khas rezim ini, menyusup ke gerumbul perumahan, membasuh muka dengan debu dan panas terik plus memasuki masa mbedhiding kalau orang jawa bilang (transisi dari hujan ke kemarau, dimana perubahan suhu terasa drastis siang-malam) dari balik lalu lalang. Di pinggiran kadipaten anak-anak berlarian disela-sela pohon jambu mete yang mulai bersemi kuncup bunganya, namun entah akan berbuah atau tidak tergantung kepada angin. Geliat permusuhan diredam bersama angin segar awal bulan.

Lebaran ini selain menawarkan kerinduan juga menawarkan sepi dan sunyinya. Betapa hingar-bingar tak mampu menutupi bahwa yang sedang dilakukan hanya perayaan, mungkin sedikit yang bertapa menelisik makna dibalik titik balik bernama leburan. Bagaimana proporsi ketiadaan terus menerus direnungi sebagai sebuah jangkah jaman, dan maaf-maaf itu tak berhenti membuncah diudara.

Berkah-berkah atas semua mahkluk, 
atas hirup udara, 
atas kesehatan, 
atas persaudaraan 
atas segala cinta yang menjaga pada keseimbangan, 
pada kesejahteraan
juga penjagaan pada ketulusan-ketulusan,
pada tangis dan kepergian,
pada hentakan petasan dan airmata.

Selamat menikmati romantisme lebaran, dalam angan, kenangan juga kenyataan
Selamat melebur, meluberkan, melabur, dan melebar-kan.

Tuhan berkuasa atas segala mahkluk!
cinta dan pembalasannya akan sangat serius.,

1 Syawal 1440 H
Indra Agusta

Wednesday, May 22, 2019

Uria, jalan kontestasi dan lacur kekuasaan

Jalma berjalan, didepan urat nadinya ada ribuan sistem terbentuk, berbentuk, berkolaborasi dengan berbagai sistem lainnya. sebagian bertabrakan dengan keinginan, sebagian mati. lalu sebagian memenangkan pertarungan-pertarungan semu didalam diri manusia. Yang hasil pendarannya adalah keputusan akal, tindakan juga aksi-aksi yang berkolaborasi dengan tindakan dari akal manusia lain. 

Borok-borok demokrasi terbongkar satu demi satu, apa yang akan terjadi pada negeri jalma masih belum memperkirakan. sebulan lalu anak muda tumpah ruah dijalanan, sebagian orang tua mengelu-elukan bendera partai. saya seperti teringat Yesus yang disambut dengan pohon palem sewaktu kembali ke Yerusalem. Mereka begitu bersemangat, energik dan galak.

Lantang betul teriakan-teriakan digelegarkan, suara knalpot juga tak mau kalah sama bisingnya. Lalu kata-kata pemanis dibuai supaya tertarik demikian seperti sejatinya mengiklankan sesuatu kali ini yang diiklanlan manusia dan visinya. 

Demokrasi yang sesuai akal, tentu akan menjadi persoalan klise nan serius dinegeri yang dulunya sama sekali tidak terbiasa dengan rasionalitas, karena tradisi kepemimpinan yang ada juga hanya kepemimpinan tradisional, berdasarkan tokoh atau kesepakatan-kesepatakan tertentu untuk wilayah-wilayah kecil yang bersambung dengan kesepakatan lintas wilayah. Sepanjang rentang waktu yang lama kita hanya berbentuk patembayat, paguyuban, perdikan-perdikan lalu kerajaan. Sebuah kenaifan jika kita terburu-buru mengaminkan bahwa demokrasi adalah yang paling ideal sementara didarah kita menyimpan DNA masa lalu, lingkungan kita masih menggunakan tradisi-tradisi masa lalu, 

Arus kontinuasi kemudian tak terbendung, yang terjadi kemudian adalah munculnya  kerajaan-kerajaan ditengah demokrasi. Kerajaan kini berubah menjadi kerajaan politik, kerajaan ekonomi juga kerajaan-kerajaan pemerintahan berdasarkan asas kekeluargaan. Kalau kalian penonton Game Of Thrones kalian pasti tahu bagaimana sebuah keluarga harus dipertahankan supaya tetap kekal dan bisa mendominasi secara politik disebuah wilayah. 

Azas Kekeluargaan ini muncul beriringan dengan berdirinya sebuah negara, banyak yang kemudian mendiringan keratonnya demi kelanggengan-kelanggengan kepemilikan. Selain itu kawin politik adalah suatu hal yang biasa, seperti anak-anak raja dahulu dalam mempertahankan legitimasi kekuasaan, dalam memilih bibit harus jelas trah dan alur silsilah kerajaannya, semua dibentuk serius dalam sawang-sawang kerajaan.

Selain ritual kawin-politik, tentu tak bisa kita munafikkan bahwa seks yang jadi candu itu bisa jadi senjata andalan dalam kontentasi. Seksualitas bisa jadi celah dalam politik, bisa menjadi serangan serius mengancam dan menggedor pintu lawan politik dengan wanita-wanita seksi, atau melemparkan fitnah chat mesum sebagai harga yang harus dibayar mahal dalam berbagai kontentasi, penghilangan paksa martabat, penghancuran nama baik.

Adalah Kisah usang tentang Nabi Daud yang ditutupi padahal ada dalam kitab raja-raja Israel soal seksualitas yang mengancam Nabi Besar penyanyi terkemuka tersebut. Kisah ketika Nabi Daud menjadi birahi ketika melihat istri panglima perangnya mandi, panglima tersebut bernama Uria. yan kemudian demi meniduri istri orang ini, sebagai Raja  Nabi Daud menyuruh Uria berperang dimedan paling depan supaya mati, dan istri uria bisa "diayomi" oleh Daud.  Demikian jalannya kerajaan tak melulu mulia, bahkan untuk sekelas nabi sudah diurapi oleh Allah. Apakah tak berdampak? tentu akan dibayar mahal oleh Daud dikemudian hari, kehancuran Israel pasca Sulaiman anakknya menanti diujung pagi.

Uria sebagai panglima perang tentu menganggap sebuah kehormatan karena diperintah di garda depan oleh rajanya sendiri, tanpa pernah tahu istrinya 'diingini' oleh sang raja.

Lalu kita harus berkontemplasi, bertanya kembali untuk siapa dan untuk apa perjuangan yang pernah kita lakukan demi dukungan-dukungan, atau kita yang jelas-jelas akan bertengkar sampyuh seperti Uria, sementara yang mati-matian kita dukung sibuk menikmati hasil di belakang, sibuk melacur dengan syahwat kekuasaan, meniduri proyek dan kekayaan atau berzinah dengan kepentingan individu, atau golongan.

Rasionalitas akhirnya menjadi jauh, bahkan klise ketika milenial yang punya akses teknologi untuk menjangkau beragam data-data kontestasi juga ikut-ikutnan nyinyir kelas teri di sosmed masing-masing. Banyaknya informasi yang dengan sangat mudah bisa digapai tidak mempengaruhi mereka menjadi rasional dalam memilih, ataupun sekedar menilik janji-janji dan program-program didesaku banyak yang kalah dengan amplop-amplop dini atau pagi hari.

Kenyataan ini harus dipahami ternyata konsep one man one vote itu tidak bisa diaplikasikan sebagai gerakan rasional, namun lebih kepada siapa pemegang kapital yang berani modal banyak sebagai pengisi amplop yang kemudian memenangkan peran, selanjutnya apakah program-program efektif, ternyata tidak. 

Kita masih mewarisi kebudayaan masa lalu yang menempatkan pilihan hanyalah pada tokoh tertentu, kepercayaan kita pada seorang tokoh tidak bisa dihindari, banyak pilihan-pilihan yang diberikan hanyalah karena menunggu tokoh entah tokoh politik, agamawan, tokoh kebudayaan memihak paslon tertentu baru mereka mantap memilih. Jika demikian bukankah terbalik dengan konsep diatas, demi efisiensi pemilihan bukankah alangkah baiknya kita mempercayakan pilihan pada orang-orang tua yang kita percayai saja. memangkas ongkos demokrasi.

Lalu Uria tumpas di medan laga seperti yang sudah-sudah jika ada konflik horizontal akibat kontestasi, bukan Raja yang akan menerima getahnya tapi kita yang emosional berlebihan dalam mendukung akhirnya berhadap-hadapan dan 'yang tidak tahu' gambaran lengkap dari situasi yang akan terseret, hanyut dan menjadi bual-bualan hegemoni yang memilukan.

semoga terus dijagai dalam Tuhan dan kewaspadaan..



#agustaisme





Wednesday, February 27, 2019

Bersiap

Oleh : Indra Agusta

Antrian mengular di pom bensin, sambil melihat sekeliling kulihat wajah-wajah yang sedikit layu karena berbagai masalah. Tentu penyebabnya variatif, bisa karena faktor individu maupun eksternal, bisa karena memang realitas  atau justru diatur polanya sedemikian rupa untuk tak bisa menang mengalahkan hidup.

Dalam masa senggang, kulihat kernet truk sedang membenahi tali-tali dibelakang bak supaya barang bawaan tidak terjatuh dalam perjalanan, tentu ada rumusan-rumusan terkait sistem penalian barang, mengikuti unsur alam bagaimana arah pembebanan barang, hingga ketahanan terhadap goncangan yang menjadi akibat langsung dari laju kecepatan. Semua seperti jalinan rapi bahwa jika manusia berakal, disitulah muara sebuah kemampuan.

Namun yang terjadi tak hanya demikian, manusia terkadang suka 'mengkacamati' dirinya sendiri. Berdiri di arus searah kebenaran personalnya. Hingga pandangan mata akhirnya hanya tertuju pada apa yang dianggap benar atau salah hanya untuk kepentingan dirinya. Manusia kini menjadi kuda yang tidak bisa melihat dengan banyak cara pandang.

Ketidakmauan untuk melihat cara pandang lain hanyalah sarana dari ego untuk lebih mudah menyalahkan orang lain, menghardik orang lain, menolak jika tak sepaham dengan sumber otoritas doktrinernya, dan membela mati-matian apa yang sudah sejalan dengan pemahamannya.

Ternyata teori dikotomi ini sukses memecah belah dengan bumbu menyalurkan kebenaran, yang akhirnya hanya berujud kebenaran individu, bukan kolektif apalagi the real truth yang terus kita cari bersama.

Bualan-bualan dalam kotbah menggiring manusia pada afirmasi, kemudian mencuri-curi apa ini yang benar  untuk menabrak lawan? semua berjalan berkesinambungan.

Ideologi-ideologi yang ditawarkan selalu , gerakan membela rasionalitas selalu berkubu sendiri melawan kubu spiritualitas. Atau mereka pemuja "Dataisme" sekarang sedikit-sedikit mempertanyakan referensi, tak peduli apakah referensi itu 'bekepentingan jangka panjang' atau tidak yang penting ada papernya, makalahnya, dalilnya, lalu kita bela mati-matian. Sementara di kubu lain berdasarkan perasaan juga sama kerasnya dalam memahami sesuatu. Sama acuhnya terhadap rasionalitas dan daya nalar, pemujaan berlebihan terhadap spiritualitas akhirnya juga mengabaikan jarak personal untuk waspada dan tidak mengkultuskan sumber ilmu atau gurunya.

Akhirnya sampai kini kita temui sama-sama kehilangan kewaspadaan, cenderung gampang meng-iya tidak-kan, tanpa mengolah dulu dalam skala rasionalitas dan dalam framing spiritualitas. kita akhirnya hanya memuja Pimpinan tradisional kita, pemujaan telak berlebihan yang akhirnya memadat menjadi permusuhan-permusuhan.

entah, sampai kapan.
Kerajaan-kerajaan politik sudah tumbuh dan akan usang, diganti kerajaan ekonomi, mungkin kedepan adalah Kerajaan pemilik data, atau disub lain akan ada arus besar memenangkan apa yang tak kau sangka ada, sebenarnya juga sedang berlangsung ada mengamatimu dari luar, dan menekukmu telak ketika kau lengah.

Bersiap Ajal menantimu. jangan lupa kau berkehendak, aku berkehendak, alam juga demikian punya kehendak atas rule-rule yang sudah digariskan, bahkan waktu juga berkuasa dan masih banyak diluar sana yang tak kau perhitungkan.

ngko jungkel nik kowe kebanteren mbela sesuatu.



Lembah Bengawan Solo, 27 Februari 2019

Monday, February 4, 2019

Kesesakan Sistemik

Kesesakan itu mengantarkan manusia pada luapan-luapan amarah, luapan kebencian, luapan pembenaran, luapan sakit, luapan terpingkal-pingkal pada kebahagiaan meski semu, luapan kritis pada semua hal hingga lupa berpijak pada suatu hal.

Jalan-jalan hidup yang buntu menambah ruang-ruang menjadi beku, tindakan dijalani dengan kaku pada sampai pada masalah-masalah ringan, dendamnya akan ketidakadilan hidup atau pandangan atas kesusahan yang menimpa dirinya menghambakan diri pada lajur emosial,

Dimana harus ada jalan untuk mendampratkan kekesalan, kegagalan, keinginan yang buyar, atau ego-ego yang ditumpas habis oleh kenyataan.

Oh itu adalah jalan agama, saya akan lacurkan egoku disana.
Oh itu adalah jalan kekuasaan, saya akan lacurkan egoku disana
Oh itu adalah kalan kenikmatan dunia, saya akan lacurkan egoku disana
Oh itu adalah jalan kekayaan, saya akan lacurkan egoku disana
Oh itu adalah jalan individualisme, saya akan lacurkan egoku disana.
Oh itu adalah jalan berlindung dibalik orang tua, saya akan lacurkan egoku disana
Oh itu adalah jalan proyek kebudayaan, saya akan lacurkan egoku disana.

Dimana-mana kengerian, kebrutalan sikap sedang terjadi.
Manusia lupa untuk berpuasa,
Manusia lupa untuk menahan,
Karena memang nyaman untuk memakan bangkai kawan daripada meminum darah sendiri.

Apakah benar-benar dirinya?
Mungkin bukan. Mungkin iya.

Lalu sistem besar mengakibatkan macam rupa efek baik di ruang besar maupun tingkap kecil jalan jalma.

Pemiskinan merajalela,
Penyesakan, Penyesatan, Pengkerdilan, Penghasutan.

Hingga alas tua kini hilang dibakar oleh keserakahan.
Hingga belik-belik yang dulu menyinarkan 'ci' kini hanyalah bebatuan padas penuh sampah...

Sampah seperti angkuhnya manusia berebut benar, berpamrih jasa, atas dan untuk dirinya sendiri.

Aku melihat angkasa muram,
Dibagian lain langit sama hitamnya,
Keruwetan ini menjadi bagian dari hidup semua orang, ada yang kuat, ada yang hanyut.

Manusia...ruang sempit diluasnya semesta.


Kleco Wetan, 5 Februari 2019