image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Wednesday, May 31, 2017

Yesus dan Pancasila

Oleh : Indra Agusta

Kekristenan
sebagai sebuah ajaran bahkan menjadi gaya hidup bagi banyak orang tentu tak lepas dari sosok Yesus, Isa Almasih. Tokoh sentral yang berani mendobrak zaman, tokoh yang anti-mainstream menjebol beberapa liturgi keagamaan yahudi yang dinilai memberatkan masyarakat, terlepas memang masyarakat juga sudah susah karena penjajahan Romawi. 


Berabad-abad berikutnya kekristenan dilegal-kan menjadi agama kerajaan, bahkan dianut sampai sekarang oleh berjuta-juta penduduk dunia. Dari mereka ada yang hanya 'berlabel' kristen, ikut aktif dalam semua kegiatan di gereja biar terlihat aktivis, atau benar-benar memahami cara hidup Yesus, bertingkahlaku, bertindak seperti yang Yesus contohkan, dan terus menggalinya dalam berbagai pemikiran termasuk dalam pemikiran spiritual.

Jaman terus berlalu seperti tidak ada gading yang tak retak maka kekristenan pun pernah mengalami masa-masa gelap, dari perburuan kaum bidah, skisma, inkuisisi sampai Perang Salib. semua berjubah kristen namun didalam hatinya sama sekali tidak ada belas kasih, yang ada hanyalah nafsu kekuasaan. Keserakahan.

Mereka pasukan templar, dan pembunuh-pembunuh ini juga menggunakan simbol Tuhan, ayat-ayat alkitab, diplintir untuk doktrin pembenar tindakan mereka, juga janji-janji pengakuan  nampaknya hanya sebagai legitimasi saja.

Lalu apakah kekristenan hanya tekstual? dimanakah menjadi kristen secara substansial?
Menjadi kristen sebagai esensi gaya hidup, menjadi kristen sebagai wujud kasih yang pernah Yesus pancarkan untuk diteruskan kita yang mengaku sebagai pengikut setianya. ?

Dulu ketika Pembangunan Waduk Kedungombo, 37 Desa itu mau ditenggelamkan, Romo Mangun, Kiai Hamam Jafar, Gus Dur, Cak Nun, Yayak Yatmaka  semua ikut terlibat didalam aksi -kontra terhadap rezim orde baru.

Penenggelaman paksa ini mau tidak mau berdampak pada masyarakat sekitar, mereka semua  ini penuh welas asih membaktikan dirinya untuk membantu masyarakat yang menjadi korban penenggelaman, berhadapan dengan aparat waktu itu, untuk memasukkan bantuan kedalam waduk.

Jika hanya tekstual mungkin hanya Romo Mangun, jemaat gereja dan mahasiswa yang kristen yang benar-benar menjadi kristen. Padahal inti dari mengikut Yesus soal welas asih dan kemanusiaan, tapi bukankah tokoh lain juga seperti itu,? sama seperti Yesus, mereka tidak mengaku kristen, tapi tingkahnya, sikapnya sangat kristen karena sangat penuh welas asih pada sesama. Karena itu juga yang diajarkan Nabi Muhammad semasa hidup, menjadi Islam harus rahmatanlil'alamin.

Hari ini gaung-gaung kebhinekaan, Pancasila, NKRI diunggah lagi meski saya tidak begitu setuju dengan penggunaan 'saya' karena lebih baik menggunakan 'kita' , nuansa kolektifnya akan lebih terasa menurut saya.

Baik memang menjadikan hari libur nasional, upacara, mengingatkan kembali falsafah dan Dasar negara. Setelah berbulan-bulan temperatur persatuan kita retak karena pemilihan kepala daerah, baik ditingkat kabupaten sampai provinsi, sampai negara tahun-tahun ke depan.

Tapi balik seperti menjadi kristen tadi, perlu disadari juga apakah orang-orang ini hanya mengaku-ngaku saja, saya ini Kristen lho, saya ini pengikut Yesus lho, saya ini penuh belas kasih lho, akankah lebih baik jika mereka benar-benar mengikut Yesus, menjadi manfaat untuk keluarganya, teman-temannya, lingkungannya, bahkan untuk bangsa dan negaranya, tidak hanya terjebak sentimen saya kristen akan membela yang kristen saja, dan paradigma sempit lainnya, karena hakikatnya akan berujung pada hilangnya keluasan berpikir.

Demikian pula harus menyadari pula bahwa ada mereka yang secara substansial kristen, semua tingkah lakunya mencontoh Yesus, tapi mereka tidak pernah, bahkan sengaja ditutupi bagaimana  caranya agar orang lain tidak perlu tahu bahwa dia beragama apa, identitasnya apa.

Seperti guru saya  Emha Ainun Najib, menekankan "bahwa yang penting output nya kebaikan, kebersamaan, kemanusiaan, manfaat. Masalah kebenaran itu letaknya didapur, tidak perlu orang lain tau, tidak perlu didebatkan apalagi dipaksakan. "

Dan yang paling saya tahu Yesus tidak pernah memamerkan segala mujizat yang dia punyai, dia diam saja, menolong sesama ya menolong saja, dan sangat rendah hati, seberapa tinggi karunia Tuhan yang diwariskan ke dia, bahkan sampai mampu menghidupkan orang mati, dia tetap rendah hati, tetap penuh welas asih, menolong orang tanpa peduli latar belakangnya, tetap sederhana.

Demikian pula dengan Pancasila, saya juga tidak perlu berkoar-koar bahwa saya seorang Pancasilais, Falsafah itu bagi saya substansial. bagaimana mengamalkan 5 sila di kehidupan sehari-hari.
untuk tetap Ber-Tuhan, punya welas asih dan kemanusiaan, menjaga persatuan bukan menambah sekam keretakan, musyawarah nyakruk ngobrol bareng supaya tidak menambah keruwetan bangsa yang sakit ini, lalu Adil.

lalu Perlukah seorang yang pancasilais memamerkan dirinya seorang pancasilais?
tentu jawabannya akan berbeda-beda.

Bagi saya sendiri tidak perlu karena ini hanya sekedar euforia, obor-obor blarak, latah mayoritas dan Dilegalkan, padahal hampir setiap hari ketika saya bertemu kawan saya obrolan tentang negara pasti mengisi ruang-ruang diskusi saya, dan kecintaan saya terhadap bangsa ini tidak perlu saya ungkapkan,  karena saya lahir, makan, hidup, bekerja, punya keluarga, di tanah ini kok, betapa jahatnya saya jika saya tidak mencintai Tanah Air, tentu dengan Dasar Negaranya wong  saya saja 100% hidup didalamnya.

Tekstual akhirnya kurang lengkap tanpa substansial.

Lantas, Bagaimana mereka yang mengeruk kekayaan negeri ini, mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan keluarganya, perusahaannya, golongannya, hari ini mereka juga mengaku Pancasila lho, tapi secara substansial mereka Makar terhadap Pancasila, terhadap Negara. Dan negara juga perlu menindak tegas mereka yang substansial melawan Pancasila!

Nuwun.



Kleco  Wetan, 1 Juni 2017









Wednesday, May 17, 2017

Buku, penemuan transisi, dan Cahaya Tuhan.

Dari bibir-bibir yang bergerak melahirkan cuitan-cuitan mesra, lalu disudut lain ada nada-nada serak dari pipi yang sedikit lebam, gelak tawa, kekaguman serta kerinduan atau kesunyian yang hampa, tanpa suara namun kita mencoba mengurai maknnya.

Berbagai pokal yang tersemat di milyaran bibir, korelasi dan koneksi yang terjalin akhirnya mampu melahirkan gagasan, ide, kreativitas, hingga mengungkap ilmu, bahkan wahyu yang sama sekali tak perlu kata-kata namun juga melahirkan kata.

kata-kata ini selanjutnya menjadi bias dalam setiap teritorinya melahirkan makna dan suasana yang berbeda, kencenderungan untuk berkata-kata terus lahir di setiap insan, selain karena memang sudah diberikan software & hardware, kreativitas kata ini terus berubah disetiap jaman yang akhirnya kita bisa menemukannya dibalik buku-buku dari setiap tahun dan waktunya.

PENEMUAN TRANSISI PSIKIS-FISIK
ya, buku adalah penemuan spektakuler yang "abadi" dalam mengarungi jaman, ada banyak perubahan teknologi peradaban, ada yang punah, mulai ditinggalkan, ada juga yang baru datang.  

tapi kenapa buku selalu peka jaman? 
kenapa buku selalu ada ditiap jaman? 
bahkan bisa jadi isinya melampaui jaman? 
atau kenapa buku selalu menemukan peminatnya,pencintanya ?

Menurutku karena isi dari buku itu siftnya abadi, interpretasi ilmu dan isi dari buku sangat relatif, imaginatif dan subjektif kadar wawasan pembaca, tingkat linguistik dan intelektual pembaca menjadi tolak ukur seberapa isi tulisan berhasil diantarkan buku kepada pembaca.
buku bagi saya lebih ke sebuah penemuan yang bukan hanya fisik tapi juga transisi ke alam pikiran, adanya konektivitas antara fisik buku dengan alam pemikiran pembuat, yang kemudian secara tidak langsung  disalurkan ke pembaca inilah yang kekal. 

Daya imaginasi yang hadir dalam setiap kata inilah yang mampu menggerakkan pikiran manusia, nalar, untuk berbuat sesuatu, atau justru malah menggoncangkan dirinya sendiri jika kadar materi dari dalam buku tersebut melampaui batas-batas nalar pembacanya. 

Lalu apa sebenarnya Kata, hingga sedemikian hebatnya? 
Saya teringat kisah penciptaan manusia yang  ditiupkan nafas-Nya Tuhan, saat itulah manusia hidup, dan kemudian berkata-kata.
Lalu juga dari cerita penciptaan lainnya kita akan ingat dari kata "Jadilah" atau "Kun" lalu terjadilah semua ledakan alam semesta yang entah sampai kapan, sampai hari ini prosesnya masih berlangsung.

Kata yang utama akhirnya adalah representasi dari Tuhan sendiri, dan batin kita akan dibawa kemanapun kata-kata itu bermaksud.  Wahyu-wahyu yang diturunkan pada semua utusan-Nya, kemudian dituliskan dalam bentuk kata, yang entah berapa ribu tahun kemudian kata-kata itu masih mampu menjawab berbagai persoalan umatnya, disitulah letak akal dan hati manusia, tarik menarik antara Firman dengan sanubari manusia, yang dikembangkan berdasarkan pengetahuan jaman yang ditangkap oleh sang jalma.

bahkan ada yang berkata segala tingkah manusia juga adalah "kitab hidup-Nya" yang bermacam, seperti Dia Yang Maha segala-galanya. hingga tanpa disadari kita sehari-hari akan sangat bergairah dengan kata-kata, buku, ide, ilmu atau pendaran Cahaya-Nya sendiri yang ditebarkan di Alam semesta, dimimbar-mimbar rumah ibadah, atau di gang-gang sempit tempat pelacur menawarkan jasanya pun, asal dengan perenungan yang mapan bisa kita temukan kata-kata Tuhan.

Selamat hari Buku Nasional 2017
selalu ada makna dari huruf yang digoreskan, demikian pula dengan pendar kasih-Nya.
yang selalu digoreskan pada sanubari mahkluk-Nya.


Kleco Wetan, 17 Mei 2017
Indra Agusta