image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Thursday, March 30, 2017

Generasi Milenial, Budaya Momunental dan Pencapaian Materi

Oleh : Indra Agusta


Pahatan-pahatan itu terus menggores, diantara berton-ton batu andesit, dibangun dan ditebar ke seluruh penjuru Nusantara. Beratus tahun silam, tersebutlah masyarakat Jawa dengan berbagai teknologi peradabannya. 

Lalu jaman berjalan, temuan demi temuan memulai proses pencarian siapa sebenarnya bangsa nusantara,  ada yang menyisakan sastra dalam temuannya, ada yang hanya sebatas bangunan, tanpa cerita. Kebuntuan inilah yang kemudian penelitian ini berhenti pada pengenalan akan "Budaya Monumental", bagaimana ketika saya dan mungkin generasi setelah saya menerima sejarah hanyalah soal bangunan, fisik, dan gagah. 

Bagaimana guru-guru saya hanya mengajarkan soal temuan-temuan dari benda-benda fisik yang nyata dan harus logis diterima akal sehat, sementara kebudayaan lainnya banyak yang tidak berbentuk fisik, seperti  tutur-tutur, suluk, tembang, kemudian tanpa sadar kurikulum disekolah yang mendorong manusia untuk lebih maju lagi, outputnya hanya pencapaian materialistis , dari mulai nilai akademis, menang lomba disana sini, sampai kalau sudah dewasa berburu kekayaan, jabatan dan kekuasaan. Segalanya adalah soal yang terlihat.

Lalu bagaimana penilaian kita akan proses menuju pencapaian? akhirnya tidaklah begitu penting caranya baik dan jujur tidak, yang penting bisa meraih Ijazah S1 atau S2 perkara dalam kuliahnya mau copy paste, atau dikerjain oleh orang lain tidak penting, 

Pemikirannya dangkal, cupet atau kritis tidak penting, malah terkadang sok-sokan kritis, sekarang yang penting adalah outputnya, Kaya atau tidak? bisa menghasilkan uang atau tidak? bisa meraih jabatan dan kekuasaan atau tidak?  meski saya yakin tidak semua seperti itu. Ada memang teman-teman yang benar-benar expert di disiplin ilmu yang dia pelajari.

Dalam menilai seseorang pun demikian, kebanyakan dari kita akan segan, bersikap sopan atau tidak, hanya berdasarkan posisi, titel, jabatan seseorang,  bahkan hanya serendah dari apa yang mereka kenakan, atau kendaraan apa yang mereka gunakan. Siapa dari kalian yang mampu menerima semua orang , tulus tanpa melihat background seseorang?

Bukankah hampir semua melihat seseorang dari pencapaian "yang keliatan mata" lalu sikap kalian akan menyesuaikan?  Bukan dari apa yang ada dipikirannya, bukan dari apa yang diucapkan dari gagasannya, bukan dari ketulusannya dalam berucap, demikian materialnya kita sebagai manusia.  

Padahal jika mau difikirkan kembali pencapaian material adalah soal  dukungan material pada seseorang yang mampu mengantarkan dia pada titik-titik tertentu dimana kita saat ini akan sangat bisa mengaguminya sebagai seseorang yang sukses. 

Lalu apakah dari mereka yang tidak pernah bersekolah ,mereka yang saat ini menjadi karyawan di pabrik, mereka yang bahkan hidupnya tidak jelas hanya mengemis dan meminta-minta dijalanan, tidak punya kemungkinan punya pikiran dan gagasan yang menarik? atau cenderung kalian mengacuhkannya dan menganggap mereka hanya sampah, dari seonggok jasad yang bernama manusia, atau kalian anggap setengah manusia? 

Demikian hebatnya budaya monumental ini merusak manusia menjadi sangat materialistis, sejak dari pikiran, sampai sikap, sampai output nya  pada orang lain. Seperti anak yang hanya diberi uang oleh orang tua, dan orang tuanya berfikir bahwa pendidikan anak akan selesai ketika uang sakunya tidak pernah telat, dan semua pembayaran lainnya dianggap lunas.

Disisi lain, segala sesuatu yang tidak menghasilkan "budaya monumental" akan tersingkir, sepi peminat, bahkan dikucilkan jika dianggap berbahaya bagi kelangsungan pemuja materialisme ini.  Kalaupun rame biasanya hanya 1-2 tahun mengikuti latah trend  yang biasanya mengambil budaya non-monumental  sebagai ide segar dalam berbudaya, lalu mematerialkannya lagi, untuk mengeruk keuntungan mereka, bukan murni sebagai bentuk pelestarian budaya seutuhnya. 

Disinilah anak-anak muda kita, gampang latah akan trend, memuja budaya sebagai dalih eksistensi mereka untuk pencapaian materialistis mereka sendiri, di sosial media atau di publik space biar kelihatan exist. Rendah berpikir kristisnya, berpikir sempit, maunya instan, maunya yang cepat dan gampang, dan berbagai kemunduran intelektual di dunia pendidikan kita, sementara Negara dan Instansi hanya berpatok pada nilai, juara disana-sini, dan total kelulusan misalnya. 


Selamat direnungkan, apakah kalian sendiri masuk dalam budaya materialisme?

Gambar dibawah adalah dokumentasi pribadi saya ketika berkunjung ke Candhi Tersebsar di Dunia, Candhi Borobudur, Magelang. Didalam part -pahatan ini, adalah bukti kerukunan antara Dinasti Sanjaya dan Syailendra yang berbeda keyakinan , Satu Dinasti Budha, satu Dinasti Hindhu, namun mereka melukiskan kerukunannya dalam Candhi budha ini lewat Stupa dan Pura yang berdiri berjejer bersama.

Tapi siapa yang merenungkan ini? siapa yang mau belajar seperti ini? Mau berfikir soal budaya dan sejarah, yang menurut mereka berat, karena otak mereka sudah malas berpikir.
Bukankah mereka ke candhi hanya untuk memamerkan dirinya sendiri (baca : Selfie), pernah berkunjung, check-in di Media sosial biar diketahui orang lain, bukankah demikian adanya mayoritas dari anak muda, atau generasi milenial yang katanya diharapkan akan memajukan bangsa,

Lalu bagaimana potret kemajuan bangsa Indonesia kelak? saya kira juga tidak akan jauh-jauh dari budaya monumental. 






Kleco Wetan, 29 Maret 2017
Nuwun.


Wednesday, March 15, 2017

Kemakmuran Individu bagi sebagian Rakyat Indonesia


KEMAKMURAN INDIVIDU BAGI SEBAGIAN RAKYAT INDONESIA
Oleh : Indra Agusta

Berawal dari berbagai perngamatan saya terhadap menurun drastisnya sikap empati pelajar pada sesamanya, kejadian-kejadian yang berulang-ulang memaksa saya untuk menulis hal ini.

KASTA - KASTA SOSIAL

Pernah ketika suatu hari datang ke sebuah SMA, yang disana saya banyak bertukar pikiran, sikap anak-anak sekarang terhadap Penjaga Sekolah terhadap mereka yang lebih tua sangat tidak beradab, sopan santunnya menurun drastis. Mereka kira dengan mereka membayar biaya sekolah disitu, mereka bisa seenaknya apalagi terhadap orang-orang "yang menurut mereka lebih rendah" dari kasta mereka di sekolah itu. Mereka dididik untuk menghormati guru, kepala sekolah lalu mengapa tidak dengan penjaga sekolah? dengan Tukang sapu di sekolah? Apa karena pendidikan mereka rendah? apa karena anak-anak ini sudah merasa mampu membayar (padahal itupun uang dari orang tua mereka).

Lalu sekumpulan pemuda dari sebuah Gereja yang mendiskusikan program bantuan untuk desa tertentu yang kekurangan air, bantuan sembako juga. Dan mereka mendiskusikan ini di cafe-cafe yang makanan seporsinya bisa membeli 2-3 porsi makan biasa. Ini kan Ironis. Harusnya uang bisa dilimit untuk dialokasikan ke bantuan tersebut. Atau Himpunan mahasiswa yang mau bikin baksos buka puasa bersama anak-anak yatim dan tukang becak,  sementara mereka membuat programnya juga di Warung makan berlabel "Internasional" , "Pencitraan" Mereka akan sukses sebagai kaum kapitalis yang peduli dengan kemanusiaan, lalu menggunakan citra tersebut untuk kepentingan pribadinya, mendongkrak namanya, atau komunitasnya. Lalu dimanakah ikhlasnya sisi kemanusiaan? 

Apakah tidak ada kesadaran empati, apakah dikirannya kalian itu kastanya lebih tinggi dari mereka tukang-tukang becak, anak-anak yatim, yang perlu dibantu? Apakah karena kondisi yang terlihat oleh mata mereka kita boleh men-judge bahwa kita lebih tinggi levelnya dari mereka.?

Saya dulu sudah pernah menulis soal bagaimana manusia tidak bisa memilih dilahirkan dikondisi seperti apa, (tulisannya klik disini : Personalitas) dan bersyukurlah kalian diposisi yang lebih nyaman dari mereka. Perbedaan personalitas inilah yang harusnya menjadikan orang berbuat sesuai dengan porsinya, bukan malah menindas mereka yang lemah, mereka yang  dari lahir kemampuan mereka sudah lemah.

 
Fenomena-fenomena seperti ini menjamur dimana-mana, yang entah ini salah siapa, karena mereka yang diposisi pelakupun saya hampir yakin tidak menyadari dimana ketimpangan mereka.

Salah kurikulumkah? Pola Asuh? Lingkungan? TV? Internet? Atau apa. 
Yang jelas hal-hal seperti ini tidak bisa dibangun hanya beberapa hari tentu ada rentetan kejadian peristiwa pola pikir dsb. Saya tak menyalahkan kalian yang terbiasa dengan pola hidup seperti ini, tapi saya berharap dengan tulisan ini kalian sadar posisi kalian jadilah manusia yang memanusiakan manusia seperti kata Gus Dur.

SEKOLAH SANG PENDORONG INDIVIDUALISME ANAK DIDIK

Dari kejadian diatas "kasta-kasta" yang terbentuk ini saya hampir yakin  ada part dari sekolah yang mempengaruhinya. Bagaimana siswa menggolongkan dirinya untuk pantas dan tidak pantas duduk sama rata dengan siswa lain dalam satu sekolah, dan akan terus berlanjut ketika mereka menjadi masyarakat.

Saya masih ingat dulu ada guru SMP saya yang mengawasi betul setiap proses pendidikan bagaimana saya akan mendapat nilai jelek ketika saya nekat "njiplak" atau "mencontek" tugas siswa lain. 

Dari sisi nilai, nilai saya seharusnya sama dengan  teman saya namun outputnya tetap saja nilai saya hancur , Guru menilai siswa bukan dari jawaban yang diterima namun dari proses setiap hari, ulangan, pembelajaran dll. 

Pertanyaan saya seberapa besar presentase guru dengan kapasitas seperti ini ? 

BUDAYA PENCAPAIAN

Ini mungkin yang dari kecil selalu digaung-gaungkan oleh orang tua kita. Pencapaian. Bagus namun harus tidak menghilangkan sikap empati pada orang tersebut. Boleh pintar tapi tidak boleh sombong dengan kepintaran, adigung, adigang, adiguna. Kata pepatah Jawa.

Namun yang berkembang kemudian adalah lain, kalau dahulu waktu SD saya masih ditanya mau jadi apa, misalnya saya jawab tentara pun akan ditanya lagi kalau jadi tentara nanti pinginnya apa? tentu saya jawab polos dengan perang musuh penjajah. 

Apakah sekarang ada, setahu saya hanya ada beberapa orang guru, sisanya dituntut ini itu nilai harus bagus, raport tidak boleh merah, harus nurut atau guru entah benar atau salah, guru seolah-olah diposisi yang selalu benar, tidak bisa dibantah, atau ada guru yang mengadakan les privat dan akan menjadi tolak ukur nilai subjektif guru, mereka yang les nilainya akan baik, mereka yang tidak jangan harap nilainya lebih baik dari les. Tentu hal ini akan berkaitan dengan kemampuan material-finansial orang tua.


Ya, kalau orang tua mereka cukup mampu untuk membiayai pendidikan diluar sekolah, kalau tidak? apakah dengan demikian siswa yang miskin sangat tidak berhak untuk mendapatkan nilai yang lebih baik daripada mereka yang kaya, kalo memang demikian, berarti Pendidikan kitapun sudah mengarah kepada Kapitalisme, mereka yang punya modal mereka yang menang.
Dan Pencapaian anak didik tidak lepas dari angka yang dengan cara apapun akan dipertaruhkan, pendidikan akhirnya keluar dari esensinya mendidik anak agar memiliki output seorang anak yang berkarakter, juga punya sopan santun yang tinggi, tapi hanya sebatas angka, entah karena memang akademisnya bagus, atau jiplak, atau nyogok guru lewat model les-lesan privat. 

Dan di sisi orang tua juga tidak peduli-peduli amat kelakuan anaknya, yang penting anak dapat ranking, dan semua biaya dilunasi.  Yang penting anak-anak bisa punya gelar Sarjana di Univ tertentu, Cumlaude terlepas dari bagaimana sikap mereka terhadap orang lain.
 
INDIVIDUALISME OUTPUT  EGOISME PRIBADI

Lalu muncullah tabiat Individualis, bagi anak sekolah akan sangat penting nilai, daripada membantu temannya yang tidak bisa sarapan hanya karena tidak punya uang. Sangat penting bagi anak sekolah untuk menampilkan yang terbaik bagi dirinya sendiri, tanpa harus berpikir apakah yang menjadi permasalahan teman-temannya. 

Atau yang lebih dangkalnya, sekarang  tidak akademis yang menjadi taruhan gengsi, tapi cenderung ke gadget, nonton konser, nongkrong di cafe, nge-mall, game online dan semua lingkaran-lingkaran yang ditawarkan dunia modern, Dengan bius iklannya seolah-olah jatidiri akan dicapai dengan hal tersebut. 

Lalu akan dibawa ke dunia pekerjaan, dibawa ke keluarga, ke lingkungan. Pencapaiannya akan mengantarkan pada sikap individualis, bahkan tidak jarang memanfaatkan orang lain untuk kepentingan pencapaiannya.  Dari sisi Kapitalisme nya, yang penting membayar berapapun asal terlaksana semua pencapaian Individualnya.

Men
ghalalkan segala cara agar apa yang diinginkannya tercapai, Yang penting saya senang, orang lain tidak usah dipikirin, atau datang ke orang lain kalo cuman ada maunya, kalo butuh dst. Semua demi pamrih pribadi, sama sekali tidak ada tujuan sosial.


KEMAKMURAN SOSIAL BAGI SEBAGIAN RAKYAT INDONESIA

Dengan pengamatan dalam dunia pendidikan yang begitu saja, kita sudah tau outputnya. Bagaimana mau menuju "Masyarakat yang Adil dan Makmur" padahal mereka dididik untuk "Makmur" saja untuk dirinya sendiri, konsep Adil itu jauh dari perbendaharaan kata di otak mereka. 

Lalu di level atas Kasus Korupsi merajalela, Pemimpinnya mementingkan Partainya menjadi Raja untuk golongannya, Dosen akan subjektif pada mahasiswanya pada siapa yang telah membantu proyek Dosennya, Guru akan sayang pada mereka yang les atau nurut apa yang menjadi "dalil" nya, Ekonomi negara dikuasai koorporasi, perusahaan menguasai semua lini asal pemerintah 'kecipratan' sedikit.  

Keadilan nampaknya masih jauh, ketika fakta dilapangan sangat mudah ditemukan orang yang intelek, berdana besar, bertitle, masih selalu berpikir bahwa dia tidak pantas duduk sejajar dengan bakul tumpang, atau siomay langganan saya, mereka akan datang pada masyarakat kelas bawah kalo ada maunya (balik lagi ke egoisme individu) misal mau nyalon ketua partai, nyalon ketua RT, atau Presiden.

Adil dan Makmur tidak tercapai, nampaknya Sila ke-5 baru berbunyi "Kemakmuran Individu bagi Sebagian Rakyat Indonesia"


Di-era yang sangat jauh dari Sila ke-5 Pancasila ini, maka tidak terkejut jika selalu ada mereka yang akan menjadi beringas, apatis, brutal, karena itu merupakan salah satu representasi dari timbunan ledakan-ledakan amarah mereka yang ingin disalukan atas semua ketidakadilan di Negeri ini, yang ketika saya menulis tulisan ini ada 4 orang kaya di Indonesia, kekayaaannya sama dengan 100 juta masyarakat kaum miskin. Nampaknya Ledakan-ledakan akan selalu hadir, ketika Keadilan semakin jauh diperjuangkan, mereka yang dilevel atas sebagai pengelola Pemerintahan.

Demikianlah jaman dari sudut padang tertentu berjalan, 
kata guru saya "Begini ini Negara? Negara kok Begini?"

Kleco Wetan, 11 Maret 2017
Temanmu.