Oleh : Indra Agusta
Pahatan-pahatan itu terus menggores, diantara berton-ton batu andesit, dibangun dan ditebar ke seluruh penjuru Nusantara. Beratus tahun silam, tersebutlah masyarakat Jawa dengan berbagai teknologi peradabannya.
Lalu jaman berjalan, temuan demi temuan memulai proses pencarian siapa sebenarnya bangsa nusantara, ada yang menyisakan sastra dalam temuannya, ada yang hanya sebatas bangunan, tanpa cerita. Kebuntuan inilah yang kemudian penelitian ini berhenti pada pengenalan akan "Budaya Monumental", bagaimana ketika saya dan mungkin generasi setelah saya menerima sejarah hanyalah soal bangunan, fisik, dan gagah.
Bagaimana guru-guru saya hanya mengajarkan soal temuan-temuan dari benda-benda fisik yang nyata dan harus logis diterima akal sehat, sementara kebudayaan lainnya banyak yang tidak berbentuk fisik, seperti tutur-tutur, suluk, tembang, kemudian tanpa sadar kurikulum disekolah yang mendorong manusia untuk lebih maju lagi, outputnya hanya pencapaian materialistis , dari mulai nilai akademis, menang lomba disana sini, sampai kalau sudah dewasa berburu kekayaan, jabatan dan kekuasaan. Segalanya adalah soal yang terlihat.
Lalu bagaimana penilaian kita akan proses menuju pencapaian? akhirnya tidaklah begitu penting caranya baik dan jujur tidak, yang penting bisa meraih Ijazah S1 atau S2 perkara dalam kuliahnya mau copy paste, atau dikerjain oleh orang lain tidak penting,
Pemikirannya dangkal, cupet atau kritis tidak penting, malah terkadang sok-sokan kritis, sekarang yang penting adalah outputnya, Kaya atau tidak? bisa menghasilkan uang atau tidak? bisa meraih jabatan dan kekuasaan atau tidak? meski saya yakin tidak semua seperti itu. Ada memang teman-teman yang benar-benar expert di disiplin ilmu yang dia pelajari.
Dalam menilai seseorang pun demikian, kebanyakan dari kita akan segan, bersikap sopan atau tidak, hanya berdasarkan posisi, titel, jabatan seseorang, bahkan hanya serendah dari apa yang mereka kenakan, atau kendaraan apa yang mereka gunakan. Siapa dari kalian yang mampu menerima semua orang , tulus tanpa melihat background seseorang?
Bukankah hampir semua melihat seseorang dari pencapaian "yang keliatan mata" lalu sikap kalian akan menyesuaikan? Bukan dari apa yang ada dipikirannya, bukan dari apa yang diucapkan dari gagasannya, bukan dari ketulusannya dalam berucap, demikian materialnya kita sebagai manusia.
Dalam menilai seseorang pun demikian, kebanyakan dari kita akan segan, bersikap sopan atau tidak, hanya berdasarkan posisi, titel, jabatan seseorang, bahkan hanya serendah dari apa yang mereka kenakan, atau kendaraan apa yang mereka gunakan. Siapa dari kalian yang mampu menerima semua orang , tulus tanpa melihat background seseorang?
Bukankah hampir semua melihat seseorang dari pencapaian "yang keliatan mata" lalu sikap kalian akan menyesuaikan? Bukan dari apa yang ada dipikirannya, bukan dari apa yang diucapkan dari gagasannya, bukan dari ketulusannya dalam berucap, demikian materialnya kita sebagai manusia.
Padahal jika mau difikirkan kembali pencapaian material adalah soal dukungan material pada seseorang yang mampu mengantarkan dia pada titik-titik tertentu dimana kita saat ini akan sangat bisa mengaguminya sebagai seseorang yang sukses.
Lalu apakah dari mereka yang tidak pernah bersekolah ,mereka yang saat ini menjadi karyawan di pabrik, mereka yang bahkan hidupnya tidak jelas hanya mengemis dan meminta-minta dijalanan, tidak punya kemungkinan punya pikiran dan gagasan yang menarik? atau cenderung kalian mengacuhkannya dan menganggap mereka hanya sampah, dari seonggok jasad yang bernama manusia, atau kalian anggap setengah manusia?
Demikian hebatnya budaya monumental ini merusak manusia menjadi sangat materialistis, sejak dari pikiran, sampai sikap, sampai output nya pada orang lain. Seperti anak yang hanya diberi uang oleh orang tua, dan orang tuanya berfikir bahwa pendidikan anak akan selesai ketika uang sakunya tidak pernah telat, dan semua pembayaran lainnya dianggap lunas.
Disisi lain, segala sesuatu yang tidak menghasilkan "budaya monumental" akan tersingkir, sepi peminat, bahkan dikucilkan jika dianggap berbahaya bagi kelangsungan pemuja materialisme ini. Kalaupun rame biasanya hanya 1-2 tahun mengikuti latah trend yang biasanya mengambil budaya non-monumental sebagai ide segar dalam berbudaya, lalu mematerialkannya lagi, untuk mengeruk keuntungan mereka, bukan murni sebagai bentuk pelestarian budaya seutuhnya.
Disinilah anak-anak muda kita, gampang latah akan trend, memuja budaya sebagai dalih eksistensi mereka untuk pencapaian materialistis mereka sendiri, di sosial media atau di publik space biar kelihatan exist. Rendah berpikir kristisnya, berpikir sempit, maunya instan, maunya yang cepat dan gampang, dan berbagai kemunduran intelektual di dunia pendidikan kita, sementara Negara dan Instansi hanya berpatok pada nilai, juara disana-sini, dan total kelulusan misalnya.
Selamat direnungkan, apakah kalian sendiri masuk dalam budaya materialisme?
Gambar dibawah adalah dokumentasi pribadi saya ketika berkunjung ke Candhi Tersebsar di Dunia, Candhi Borobudur, Magelang. Didalam part -pahatan ini, adalah bukti kerukunan antara Dinasti Sanjaya dan Syailendra yang berbeda keyakinan , Satu Dinasti Budha, satu Dinasti Hindhu, namun mereka melukiskan kerukunannya dalam Candhi budha ini lewat Stupa dan Pura yang berdiri berjejer bersama.
Tapi siapa yang merenungkan ini? siapa yang mau belajar seperti ini? Mau berfikir soal budaya dan sejarah, yang menurut mereka berat, karena otak mereka sudah malas berpikir.
Bukankah mereka ke candhi hanya untuk memamerkan dirinya sendiri (baca : Selfie), pernah berkunjung, check-in di Media sosial biar diketahui orang lain, bukankah demikian adanya mayoritas dari anak muda, atau generasi milenial yang katanya diharapkan akan memajukan bangsa,
Lalu bagaimana potret kemajuan bangsa Indonesia kelak? saya kira juga tidak akan jauh-jauh dari budaya monumental.
Kleco Wetan, 29 Maret 2017
Nuwun.