image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Saturday, December 5, 2015

Cermin Tuhan

Kulihat cermin itu, 
cermin tua penuh dengan goresan kenangan,
gelembung - gelembung tanda tanya,
 
Apa yang kukira diriku, ternyata bukan.
Tangan yang adapun, bukan diriku,
Mataku menatap jelas bola mata dalam cermin, namun ternyata bukan,
bukan aku,

Kuhilangkan tubuhku,

Lalu kulihat semakin dalam ke alam kesadaranku, apakah itu aku?
pola-pola nafsu dan segala keinginan, apakah itu inginku?
Apakah inginku, adalah sebenarnya diriku?
ternyata bukan..

Kulepaskan Jiwaku,

Dudukku, berhadapan dengan arwahku, segalanya nampak terang,
cahaya itu,
Apakah aku adalah kamu? tanyaku pada Sang Arwah.
Tanyalah pada dirimu,
 Bukan, bukan, kamu bukan aku....

Arwahku terhisap.
Lalu siapa diriku, Akupun menjawabnya , kamu adalah diri-Ku, kamu adalah dalam-Ku,
karena segalanya adalah milik-Ku. dan akupun tak butuh alasan untuk apapun karena semuanya adalah milikKu,
semuanya indah, begitu juga kamu.


 Kleco Wetan, 5 Desember 2015
 

Thursday, December 3, 2015

Pengemis di Rumah Sendiri,

Dalam sebuah perjalanan, kususuri pagi adzan subuh masih terdengar sayup-sayup dari beberapa langgar, bisik-bisik dedaunan seakan pertanda bangun untuk manusia-Nya. 

Sesepi biasanya, kayuh demi kayuh tertempuh, mataku menerawang jauh, tak terkecuali alam pikiranku, bergejolak seakan tiada hentinya, terus mempertanyakan, apa yang seakan ditanyakan, ada jaring-jaring kegetiran dari nafas kelam yang sebentar lagi pulang.
Jauh dipelosok Sukowati, semacam ada benturan-benturan kenyataaan yang kian terasa. Anak-anak gadis yang mulai malas untuk bangun pagi, atau menjadi malu untuk tampil dihalaman dengan sapu lidi ditangannnya. Adik-adik kita yang mulai merengek minta android untuk memotret suara klakson bus kesayangan mereka. Sementara orang tua pun terus saja sibuk mencari uang, dan berpikir bahwa uang adalah segalanya, semakin turunnya rasa peduli pada anak-anak, atau perhatian untuk suami mereka.
Desaku yang cantik perlahan mulai panas, TV semakin sukses membius jalma untuk menjadi konsumtif, mereka berpikir untuk menjadi orang Jakarta, dan menganggap menjadi orang desa itu kampungan. Ada banyak yang berubah, prosesi sadranan atau jathilan mulai jarang didesa, berganti dengan trend karaoke , atau duduk di mall mencari wi-fi.
 
Berjuta pertanyaan tentang siapa yang menggerakkan semua ini, ?
siapa yang men-desainnya lalu memang zaman telah menjawabnya ?
Pola-pola yang ditanam sekarang mulai menampakkan hasilnya. 
Manusia mulai menjadi pengemis di rumah mereka sendiri

Bagaimana tidak, beberapa orang mulai menjual sawah mereka, untuk mobil, atau motor yang kurang mereka butuhkan, petani-petani yang biasanya ke sawah naik onthel kini berganti dengan motor, atau tetap naik onthel motornya cuman dipakai seminggu sekali buat njagong atau nganterin anak-anak berlibur ke alun-alun kota.
TV semakin tajam menggiring masyarakat untuk membeli ini itu, hingga petani benar-benar kehilangan sawahnya, kini mulai menjual dirinya untuk menjadi buruh di sawahnya, sawah yang telah menjadi milik orang lain...

Anak-anak petani mulai tidak bangga bahwa bapaknya petani, kerja kantoran dengan jam kerja tinggi menjadi idaman, atau sengaja diidamkan oleh informasi yang berkembang menjadi peradaban. Gayung bersambut,orang-orang kemudian berbondong-bondong ingin menjadi PNS, atau dipaksa menjadi PNS karena pinginnya orang tua, lalu kita menurut dan menemukan kekosongannya tersendiri. Anak yang ingin menjadi dokter terpaksa mengalah karena bapaknya ingin menjadikannya seniman, atau anak nelayan yang tak tau cara berenang, sementara pendidikan minim dan pantai-pantai kini mulai dimiliki asing.

Sedemikian parahnya sebagian besar kita cuman bisa ikut-ikutan orang lain, meniru terus saja meniru, entah karena pendidikan yang diajarkan yang salah atau memang kita sendiri yang mulai malas berkreatifitas, belajar dan memikirkan kemungkinan-kemungkinannya.  dipikir mendengarkan musik jazz paling bagus, padahal dalam hatinya dia lebih suka klenengan karena dianggap musik klenengan kuno, dia sok-sokan mendengarkan jazz tanpa tau makna dari musik itu sendiri, tidak compatible dengan asli dirinya, membius diri. Palsu.
Lalu kita yang terbiasa nyawah, bingung, terdesak dan terseret pola-pola yang sudah diatur...
hingga setelah sawah terjual, karena cicilan mobil yang tak terbayar, kita akan keluar dari rumah kita sendiri, dan menunggu didepan rumah sebagai pengemis dirumah sendiri...anak-anak kita dalam kekacauan akan masa depannya, dan sedikit pula kesempatan bagi mereka untuk menjadi diri mereka sendiri...


Hingga kita terus melacurkan diri pada uang, prestige, nafsu.. lalu mau sampai kapan?


Desa-desa yang dulu menjadikan manusianya  beradab kini mulai bergeser, belik-belik yang mulai kosong, bak tangkapan ikan bagi penjual air mineral, atau bisnis laundry yang mulai berkembang di desa, sebuah pemandangan yang aneh

Semacam ada ketakukan, jika desa saja mulai menjadi seperti ini bagaimana dengan kota, atau negara. bukankah sedemikian parahnya?
 Jerat-jerat itu semakin nyata, manusia akhirnya terlilit oleh semua kompleksitas peraturan yang dibuatnya sendiri.

Tentang kita yang mulai lupa siapa sebenarnya diri kita,
terseret, atau ikut membenamkan diri dalam pola-pola yang sudah diatur.
hingga kita tak bisa lolos dari cengkeraman zaman..

4 Desember 2015.
Indra Agusta.