image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Wednesday, January 22, 2014

SANG MAHA SATPAM - CAK NUN - SLILIT SANG KIAI

MAHA SATPAM, dari buku SLILIT SANG KIAI 
EMHA AINUN NAJIB(CAK NUN)
terbitan mizan, 2013

"pada dasarnya kita bukan Tuhan, jadi jangan sok membela Tuhan atas nama agama atau atas nama apapun, so nyantai aja Tuhan aja masih "maha" sabar kok ngliat kelakuannya manusia" 
------------------------------------------------------------------
WARNING!!
Ini bacaan berat jika anda kurang open mind, jangan dibaca.


jika anda sudah membuka pikiran mata hati anda mari kita lanjutkan membaca

-----------------------------------------------------------------

Tanya jawab pengajian itu menjadi hangat. Tak disangka tak dinyana anak muda berpeci yang lehernya berkalung sajadah itu mendadak meningkatkan nada suaranya.

”Saya sangat kecewa mengapa dan memprotes keras mengapa Bapak bersikap sedemikian lunak kepada orang-orang yang datang ke kuburan untuk meminta angka-angka buntutan! ” ia menuding-nuding , ”Itu jelas syirik, saya sebagai warga organisasi Islam yang sejak kelahirannya yang sejak kelahirannya bermaksud memberantas segala tahayul, bidah, khurafat, dan syirik, akan terus memberantas gejala-gejala semacam itu dalam masyarakat kita sampai titik darah penghabisan!”

Bapak ustadz terkesima.
             Isi pemikiran pemuda itu tidak aneh, meskipun bukan tidak menggelisahkan. Namun ”semangat juang”-nya ini! Apakah ia baru saja membaca sajaknya Chairul Anwar ”AKU” atau ”Persetujuan dengan Bung Karno” sehingga voltage suaranya meningkat? Tapi marilah bersyukur. Ini yang namanya sukses pewarisan nilai dan semangat perjuangan dari generasi satu ke generasi yang lain. Proporsi di mana dan untuk soal macam apa semangat itu mesti di terapkan, adalah soal kedua.
             ”Adik manis, maafkan saya kalau memang khilaf,” bapak ustadz berkata dengan lembut, ”Tapi saya berharap aspirasi kita tidak terlampau berbeda. Saya juga tidak bermaksud menularkan kebiasaan orang-orang tua untuk tidak terlalu dingin terhadap gejala-gejala. Tetapi, nyuwun sewu, saya melihat ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pernyataan Anda tadi ibarat memasukkan sambal ke dalam es dawet…”
             Para jamaah tertawa, meskipun pasti mereka belum mengerti maksudnya.
             ”Syirik ya syirik, tapi orang masuk kuburan-kan macam-macam maunya. Ada yang mau cari tengkorak, ada yang sembunyi dari tagihan rentenir, ada yang sekedar menyepi karena pusing bertengkar terus dengan istrinya yang selalu meminta barang-barang seperti yang diminta tetangganya. Terus terang saya juga sering masuk kuburan dan nyelempit di balik gerumbul-gerumbul karena sangat jenuh oleh acara macam yang kita selenggarakan malam ini, jenuh di undang kesana-kemari untuk sesuatu yang sebenarnya tidak jelas, jenuh meladeni pertanyaan-pertanyaan yang khas kaum muslimin abad-20 dari ’apa hukum merangkul rambut’ sampai ’memandang wanita itu zina apa tidak’, atau jenuh dengan pemikiran-pemikiran puber akrobat pikiran intelektualnya over-dosis. Kejenuhan itu sendiri sunnatullah atau hukum alam. Tuhan mengizinkan kita untuk merasa jenuh pada saat-saat tertentu sebagai bagian dari peran kemanusiaan. Apakah buang-jenuh di kuburan syirik?”
             ”Bukan itu maksud saya!” teriak sang pemuda ”saya berbicara tentang orang yang minta-minta di kuburan.”
             ”Baiklah,” lanjut pak ustadz. ”Syirik itu letaknya di hati dan sikap jiwa, tidak di kuburan atau kantor pemerintah. Sebaiknya kita jangan gemampang, jangan terlalu memudahkan persoalan dan gampang menuduh orang. Saya terharu anda bersedia memerangi syirik sampai titik darah penghabisan, namun saya saya juga prihatin menyaksikan Anda bersikap begitu sombong kepada orang miskin….”
             ”Apa maksud Bapak?” sang pemuda memotong.
             ”Bikinlah proposal untuk meminta biaya siapa saja yang sebenarnya suka mendatangi kuburan, terutama yang menyangkut tingkat perekonomian mereka. Kita memang tahu para pejabat suka berdukun ria dan para pengusaha mendaki Gunung Kawi, tapi siapakah pada umumnya yang berurusan dengan kuburan untuk menggali harapan penghidupan? Saya berani jamin kepada Anda bahwa 90% pelanggan kuburan adalah orang-orang kehidupan ekonominya kepepet. Orang seperti Anda ini saya perhitungkan tidak memerlukan kuburan karena wesel dari orang-tua cukup lancar. Di samping itu syukurlah posisi sosial Anda. Anda termasuk dia antara sedikit anak-anak rakyat yang beruntung, memiliki peluang ekonomi untuk bisa bersekolah sampai perguruan tinggi. Karena Anda bersekolah sampai perguruan tinggi sehingga anda menjadi pandai dan mampu mengelola kehidupan secara lebih rasional. Harapan anda untuk menjadi pelanggan kuburan termasuk amat kecil. Anda akan menang bersaing meniti karier melawan para tamatan sekolah menengah, para DO atau apalagi para non-sekolah. Kalaupn menjumpai persoalan-persoalan umum yang menyangkut ketidakadilan ekonomi, misalnya, Anda bukan merencanakan berkunjung ke makam Sunan Begenjil, melainkan bikin kelompok diskusi yang memperbincangkan kepentingan ekonomi dan kemapanan kekuasaan politik….”
             Seperti air bah kata-kata bapak ustadz kita meluncur.
             ”kalaupun anda ogah terlibat bekerja dalam jajaran birokrasi kekuasaan atau tempat-tempat lain yang anda perhitungkan secara sistematik mendukung kemampuan itu, anda masih mempunyai peluang non-kuburan, misalnya, bikin badan swadaya masyarakat. Langkah pertama gerakan ketidaktergantungan itu ialah merintis ketergantungan terhadap dana luar negri di mana anda bisa numpang makan, minum, mrokok, dan membeli jeans baru. Langkah kedua, meningkatkan kreativitas proposal agar secara pasti anda bisa memperoleh nafkah dari gerakan itu. Dan langkah ketiga, menyusun kecanggihan lembaga anda sedemikian rupa sehingga anda sungguh-sungguh bisa mengakumulasikan kekayaan, bikin rumah, beli mobil, dan memapankan deposito. Juklak saya untuk itu adalah umumkan ide-ide sosialisme perekonomian sebagai komoditi kapitalisme perusahaan swadaya masyarakat anda. Kemiskinan adalah export non-migas yang subur bagi kelompok priyai pembebas rakyat di mana anda bisa bergabung…”
             Bapak ustadz kita sudah tak terbendung lagi.
             ”dengan demikian anda bisa selamat dari budaya kuburan sampai akhir hayat. Hal-hal semacam itu tidak bisa di lakukan oleh orang-orang miskin yang hendak anda berantas syiriknya itu. Mereka tak mampu membuat proposal, takut kepada Pak Camat dan Babinsa, karena bagi mereka lebih mengerikan dibandingkan dengan hantu-hantu kuburan. Satu-satunya kesanggupan revolusioner yang masih tersisa pada orang kecil yang melarat adalah minta harapan secara gratis ke kuburan.”
             Suasana pengajian menjadi semakin senyap.
             ”Bapak ini ngomong apa?” potong sang pemuda lagi.
             ”Kepada siapa dan apa sajakah Allah cemburu pada zaman ini? Siapakah atau apakah yang dituhankan orang di negeri anda ini? Apa yang di dambakan orang melebihi Tuhan? Apa yang di kejar diburu melebihi Tuhan? Apa yang di takuti orang melebihi Tuhan? Apa yang sedemikian menghimpit memojokkan menindih orang seolah-olah berkekuatan melebihi Tuhan? Apa dan siapa yang mendorong orang tunduk, patuh dan loyal sepenuh hidupnya kepadanya melebihi Tuhan? Apa yang memenuhi pikiran orang, memenuhi perasaan dan impian orang lebih dari keindahan Tuhan? Lihatlah itu, pikirkan dan terjemahkan melalui pikiran kebudayaan Anda, pikiran sosial Anda, pikiran politik Anda, pikiran ekonomi Anda, perhitungan struktural Anda…”
             Suara bapak ustadz kita menjadi agak gemetar meskipun nadanya meninggi.
             ”Beranikah anda berangkat memberantas syirik-syirik besar yang dilatari oleh kekusaan, senjata, dan fasilitas? Beranikah anda berperang melawan diri Anda sendiri untuk mengurangi sikap gemagah kepada orang-orang lemah” Sanggupkah Anda mengalahkan obsesi kehidupan Anda sendiri untuk merintis peperangan-peperangan yang sedikit punya harga diri?”
             Napas mulai agak tersengal-sengal.
             ”Anda begitu bangga menjadi satpam kehidupan orang lain. Bukankah Anda tampak bermaksud menjadi maha satpam yang memberantas syirik sampai titik darah terakhir. Tetapi Anda menodongkan laras senjata Anda ke tubuh semut-semut yang terancam oleh badai api sehingga menyingkir kekuburan sepi. Itu karena mata pengetahuan Anda tak pernah dicuci kecuali oleh para ulama-ulama yang memonopoli kompetisi pemikiran keagamaan, padahal mereka begitu pemalas mencici mata umatnya, kecuali persoalan yang menyangkut kepentingan posisi mereka. Anda sudah tahu wajib, sunat, halal, makruh, dan haram, tetapi itu di terapkankan pada hal-hal yang wantah. Anda hanya bertanya orang sudah solat lohor apa belum?, orang ke kuburan atau tidak?, si keponakan sudah pake jilbab atau belum?, mengapa Cut Nyak Dien mengelus-elus paha Teuku Umar padahal itu film citra Islam?. Anda tidak merintis penerapan kualifikasi hukum lima itu untuk persoalan-persoalan yang lebih luas. Anda tidak pernah mempersoalkan bagaimana sejarah politik perekonomian dari tikar plastik yang tiap hari Anda pakai sembayang. Anda marah pada Cristine hakim tidak pakai jiblab padahal ia muslimah, tetapi anda tuli terhadap kasus penggusuran, terhadap proses pembodohan lewat jaringan depolitisasi, terhadap proses pemiskinan, terhadap ketidakadilan sosial yang luas. Anda tidak belajar tahu apa saja soal-soal yang kualitasnya wajib dalam perhitungan makro structural. Anda hanya sibuk mengurusi sunah-sunah dan tidak acuh terhadap kasus-kasus yang wajib respon sifatnya…  ”
             ”Pak! Mengapa jadi sejauh itu….?” Sahut sang pemuda.
             ”Dengar dulu, anak muda!” tegang wajah sang bapak. ”Itu yang menyebabkan Anda tidak memiliki perhitungan yang menyeluruh untuk akhirnya menemukan hakikat kasus syirik yang sebenarnya. Anda hanya sanggup melihat sesorang mencuri. Anda hanya tahu bahwa mencuri itu hukumnya haram, padahal melalui relativitas konteks-konteks, pencuri itu bisa halal sifatnya….”
             ”Apa-apaan ini, Pak?” sang pemuda menyelonong lagi.
             ”Kita ini dibesarkan dalam kekalahan-kekalahan. Dalam rasa ketidakmungkinan menang, subyektivitas kita tumbuh subur. Kalau kita bercermin dan menjumpai wajah kekalahan di biliknya, kita ciptakan kemudian cermin yang mampu menyodorkan halusinasi kemenangan kita. Kalau kita tak punya biaya untu knaik haji, naiklah kita ke puncak Gunung Bawakaraeng dan mereka telah naik haji. Kalau tak sanggup perang melawan kekuatan manusia, kita cari tuyul untuk kita taklukan. Kalau tak ada juga peluang untuk tampil di panggung sejarah, kita berduyun-duyun ke panggung narkotik kebudayaan di bidang ndangdut, diskotik si Boy,atau mengangkat seorang pencoleng menjadi dermawan sehingga hati terhibur. Kalau risi berpegang pada pilar-pilar kufur dan tan sanggup bersandar pada udara, maka melianglah kita pada lubang sempit pengetahuan keagamaan kita yang muallaf dan nadir. Kita tak kuat naik gunung, kita susun gunung-gunung dalam tempurung. Naluri kekuasan kita tumpahkan dalam tempurung. Kita menjadi ”negara” dalam pesta syariat dangkal umat di sekeliling kita. Kita mengawasi muda-mudi yang berboncengan motor, kita menelpon pasien-pasien kita di pagi buta untuk mengecek apakah dia sudah salat subuh, kita sembahyang jamaah sambil melirik apakah orang di samping kita sudah cukup khusuk sembahyangnya. Kita menjadi puritan, menjadi ”manusia amat lokal”. Kita mendirikan kekuasan baru di mana kita adalah penguasanya… ”
             Sang pemuda tak bisa tahan lagi, ”Maaf, Pak! Berilah saya sedikit peluang…”
            Tapi air bah terus tumpah ke bumi.....

Thursday, January 2, 2014

Mentari


"Mentari Bernyala disini,
disini di dalam hati...
"Gemuruh Api-nya disini,
disini di urat darahku.."

"hari ini hari milikku, juga esok masih terbentang..
dan mentari kan tetap bernyala di sini di urat darahku.."
-iwan abdulrachman


Wednesday, January 1, 2014

Dari Jalan Mencari Cahaya, tapi dimana?

Entah sampai dimana perjalananku mengayuh, aku rasa hidup ini belum pernah semakin baik, masalah terus menerus menumpuk, masalah terus bertambah, semakin aktual hingga aku tak tau kemudian menjadi sarang laba-laba besar dibenakku. Apakah ini memang kehendak, atau memang akibat dari proses pergeseran jaman, Kalabendu katanya.


Bulan yang dingin semilir bergantikan titik-titik embun, tahun ini pun kemudian berganti

disisi sebuah kopi yang menjadi dingin, lalu melihat berbagai macam polemik kehidupan yang semakin tidak menentu, termasuk hidupku tentunya.


Di pergantian tahun ini, intinya semacam ada perasaan resah, nanti saya akan jadi apa? yang jelas saya tidak mungkin terus terusan di dunia ini di bilik ini terus menerus, sementara saya akan menjadi tua dan kemudian akan berpijak pada step-step selanjutnya. tapi berbekal passport yang saya miliki ternyata dunia pilih kasih saya tidak bisa memasuki perusahaan perusahaan yang kompetitif karena pasport saya cuman jalan jalan, enggak bekerja. IQ mu candak kan?



Lantas bagaimana dengan kehidupan saya? keluarga saya? adik saya? yang mau tidak mau dia adalah tanggung jawab saya. banyak tuntutan yang mengharuskan saya untuk menjadi "orang sebenarnya dalam sisi material" tapi ternyata kenyataan berkata lain, saat ini saya cuman seorang operator warnet, ya dengan gaji yang belum bisa dibilang  cukup untuk membuat sebuah keluarga beserta rumah dan isinya.



Memang setiap hari saya terus bersyukur, tiap hari saya diberi kesehatan, diberi matahari gratis, nafas gratis, untuk kehidupan pribadi saya rasa ini memang berkat yang tidak terkira buat saya..



saya bisa menjalani hidup senyaman apa yang hati saya inginkan, saya bisa berjalan-jalan ke tanah-tanah tertinggi, tanpa ada gangguan tentang ijin orang tua, kemudian menelisik berbagai sendi-sendi kehidupan dari paling bawah sampai paling atas, paling sederhana sampai ke level super hedon, memaknai berbagai pelajaran yang saya rasa tidak akan mendapatkannya di bangku sekolah maupun kuliah..memaknai, mengapresiasi teduhnya daun-daun jatuh dikala hujan.



Sampai tahun ini, memang sudah banyak yang berubah.

banyak yang sudah pergi, merantau, kawan-kawan dulu bercengkrama 
satu demi satu kini mulai menjadi "orang" menjadi kebanggaan orang tua mereka.
bahkan sayapun ikut bangga dengan semua reputasi yang mereka capai.

Adik-adikku pun satu demi satu mulai berkelana, menggayuh sepeda dijalurnya masing-masing untuk mencapai sebuah reputasi ya paling tidak orang tua mereka akan bangga ketika mereka dapat bekerja di tempat2 strategis yang dicita-citakan orang tua mereka, 
atau yang menjadi tujuan dari sebuah pencapaian maksimal mereka di bangku kuliah.


Meski untukku pribadi reputasi material  belum bisa dibilang cukup tanpa sebuah karakter yang kuat.


Kalau mau jujur sebenarnya saya tidak begitu peduli dengan semua kesuksesan yang kasat mata karena pada akhirnya semua akan saya kembalikan (atau mau tidak mau akan kembali dengan sendirinya) kepada Yang Maha Kuasa.



Karena bagi saya secara filosofis orang bekerja itu di jawa disebut "nyambut dhamel" nyambut sendiri adalah meminjam. Memang kita hidup ini seperti meminjam aja pekerjaan yang dipinjamin Tuhan ke kita, mengusahakannnya dengan baik setelah itu kita kembalikan dan kasih pertanggungjawaban pada-Nya, selesai.


Ironisnya saya juga seorang mahkluk sosial, saya mau tidak mau juga tidak harus selalu menjadi seorang yang religius-filsuf terus menerus dalam kenyataannya saya akan kembali dihadapkan pada realita-realita semu kehidupan nyata.



Dimana orang harus punya materi yang cukup biar bisa besarin anak2, biar bisa ngidupin keluarga, disinilah saya masih lemah.. untuk hidup sendiri saja saya masih pas2an apalagi untuk memulai hidup keluarga, saya semakin tua.. 

kembali ke pertanyaan awal apakah saya akan seperti ini terus menerus?
apakah memang jalan ini yang betul dan harus saya tempuh..?
pertanyaan itu kembali dan terus berputar2 di kepala...


Ketika beberapa kawan langsung bisa memulai hidup mulus sekolah, kuliah, kerja di tempat yang mapan , kemudian menikah, membina rumah tangga yang harmonis kemudian menghasilkan keturunan2 yang mapan pula, Lantas bagaimana dengan saya? 


ini mungkin lebih kepada sebuah protes ketidakpercayaan kepada Tuhan ,
ketika saya kurang lepas nyerahin masa depan pada Tuhan..
namun jika setiap hari anda dituntut untuk menjadi orang sukses dan anda ternyata belum bisa dan anda terus dituntut oleh keluarga anda? rasa gelisah itu pasti yang akan selalu datang dan selalu datang kegelisahan demi kegelisahan. Ada rentang yang sangat jauh target kesuksesan pribadi saya dengan orang tua.

Kemudian saya takut dengan kenyataan bahwa sembah sujud  pada Tuhan hanya akan sia2 karena terus dihimpit oleh realita kehidupan, yang sebenarnya hanya moralitas semu belaka. Sebuah gurita besar yang cengkeramannya sampai menjadi gaya hidup tiap bilik rumah didesa-desa.
lalu apa yang akan saya cari?
lalu kepada siapa rasa ini dicurahkan?

Sementara Tuhan sudah menyatu dalam dalam di lubuk hati,
Selalu memberi bisikan-bisikannya untuk memberi sebuah "pencerahan"
dan itupun selalu berlawanan dengan parameter gurita tadi.

Hari terus berganti, angin semilir berganti mendung yang menurunkan hujan.
lalu kemana dan jalan mana jalma manusia mungil ini akan melangkah, ?
Kemana malam-malam larut ini akan terisi cahaya-Nya? Jika semua resah terus saja berkisah. Lalu mata terpejam, sesaat kemudian terbangun karena matahari tahun baru sudah diujung kepala.

Ah, Selamat menapaki Edar Matahari baru. 


sebuah catatan usang, dimana kota berpesta dengan gemerlapnya kembang api.
dan saya bertapa di gubuk kesunyian, 
Kleco Wetan, 1 Januari 2014
temanmu
Indra Agusta