Nagasasra sabuk inten jilid 110, S.h.Mintardja
”Bintang pagi masih bersinar di tenggara,” tegur Mahesa Jenar dalam nada yang rendah. Rara Wilis tersenyum.
”Bintang pagi masih bersinar di tenggara,” tegur Mahesa Jenar dalam nada yang rendah. Rara Wilis tersenyum.
Tetapi matahari telah meninggalkan peraduannya. Mahesa Jenar menengadahkan wajahnya, memandang matahari pagi yang masih kemerah-merahan.
Sambil tersenyum pula ia berkata,
”Ia akan datang pada saat ia harus datang.”
Sambil tersenyum pula ia berkata,
”Ia akan datang pada saat ia harus datang.”
”Peredaran jinantra alam yang tak terkendalikan oleh kekuatan apapun, selain oleh Maha Penciptanya,” kata Mahesa Jenar.
”Karena itu, milikilah yang harus kau miliki,” potong Wilis.
”Matahari...?” tanya Mahesa Jenar sambil tersenyum. ”Ya,” jawab Wilis ”Matahariku adalah mataharimu,” kata Mahesa Jenar pula. Keduanya tersenyum. Hanya mereka berdualah yang dapat merasakan betapa indahnya senyum mereka masing-masing. Seindah bintang pagi di tenggara, seindah matahari pagi di puncak bukit.
No comments:
Post a Comment