Jenang gula, kowe aja lali marang aku iki
nalikane nandhang susah sapa sing ngancani
Begitu bait pertama lagu yang sampai sekarang masih jadi perdebatan apakah gubahan Manthous atau Suratman Markasan. Aku telah mendengar lagu ini bahkan sedari SD meski lewat begitu saja, lesap menjadi pengalaman hidup sehari-hari di desa. Baru jelang tiga puluh tahun lagu itu mendapatkan tempat tersendiri dalam benak, pemaknaannya jauh melampaui ketika lagu itu dibikin. Tak hanya sekedar lagu cinta ala Jawa, tetapi juga sebagai cermin hidup seiring umur kian bertambah.
Adalah Jaya Suprana yang berhasil mengingatkanku kembali pada lagu masa kecilku ini. Dalam sebuah malam hening di meja operator warnet, ketika semua orang tertidur saya memutar potongan resital beliau ini.
Ingatan melenggang jauh ke masa lalu.
Putaran film usang kenangan dari geliat masyarakat desa paska reformasi, orang-orang yang sedang kesusahan dan masih ditipu oleh beranekawarna muslihat, orangtuaku, eyang-eyangku serta orang-orang baik yang selalu ada di sekelilingku dari merekalah ini rekaman film itu menjadi baik tersimpan dalam benak.
Meski di tulisan ini tak mungkin kutulis satu persatu, tapi jelaslah tak mungkin aku sampai pada titik hari ini tanpa kebaikan-kebaikan tadi. Pada harapan yang selalu dititipkan dari hati ke hati, pada teguran hidup, kasunyatan yang seakan tiada habisnya menghardik nasibku hingga hari ini. Semua perangai membentuk sebuah komposisi indah dari umur itu sendiri.
Pada bagian ini, denting pertama Pak Jaya berdaya magis. Penciptanya juga tak melewatkan untuk menunjukkan kepiawaiannya dalam bersastra Jawa. Sebuah wangsalan disematkan secara manis dalam lirik jenang gula yang jawaban dari teka-teki ini adalah gulali. Rima dari kata "gulali" ini dijawab dengan "aja lali". Seperti seakan memberi semiotik,
Kalau kamu lihat kembang gula(gulali) , ingatlah aku
Rasa-rasanya memang begitu. Bukankah demikian kita memperlakukan hidup? meskipun tak selalu mudah bahkan hidup harus dihadapi dengan liat, namun kita terus berhasil menyensor kenangan-kenangan itu sendiri.
Yang buruk, jahat segera kita ingin lupakan, silapkan, sementara yang baik kita rawat baik-baik kita mengenangnya sebagai bagian paling indah dari kesemenjanaan waktu dan seolah kita akan wariskan keindahan itu pada karya-karya, pada anak cucu jika memungkinkan.
ning saiki bareng mukti kowe kok njur malah (ng)lali marang aku
Setelah Pak Jaya lagu ini dinyanyikan mendiang almarhum Ki Seno Nugroho, seorang dalang dari Jogja yang punya kerabat dengan Pak Bayu Kiai Kanjeng. Video berdurasi lima menitan itu sangat bermakna karena jadi semacam video personal terakhir sebelum beliau mangkat. Perlahan waktu yang kemudian membuat kita senantiasa lupa padahal pada masanya pernah memberi arti yang sangat dalam.
Ketika Ki Seno menyanyikan itu telak saya ingat "sumur-sumur tua" yang pernah saya temui di masa lalu, guru-guru, pastur, kiai, orang sepuh yang pastinya banyak meninggalkan jejak dalam batin dan pikiranku, dari mereka-mereka inipula saya sampai di sini. Juga kepada "lincak reyot dari bambu" orang-orang yang mungkin dielakkan dalam dunia persilatan, mereka yang tidak pinunjul di depan, tidak penting bagi kebanyakan tapi justru dari mereka ini aku berhutang ilmu melebihi teori-teori. perihal menghadapi realita, takdir dan nasib, perjuangan serta peruntungannya dalam menjawab beragam tensi dan tekanan yang dengan sungguh aku katakan itu kerap jauh melebihi kapasitas mereka sebagai manusia biasa.
Kawan-kawan lincakan ini kerap membuatku kembali jadi manusia, yang lumrah, biasa saja dan jauh dari ndakik-ndakik ilmu pengetahuan. Mereka yang mengarungi bahtera dengan kelakar, sesap rokok dan berbotol-botol arak Wirosari. Sebuah kaca benggala raksasa untuk membuat saya kembali ngukur klambi, menakar kemampuan diri bahwa sampai saat inipun ya belum jadi apa-apa. Agar selalu muncul peringatan-peringatan seperti aja dumeh, jangan merasa sedang dalam posisi tertentu yang membuat kita menjadi kelewatan dalam bersikap kepada liyan.
Waktu pula yang menunjukkan bahwa nyatanya sebaik apapun kita menyajikan kebaikan, kepengasuhan, pengajaran, penjagaan tetap saja akan selalu ada yang melupakan apa yang pernah kita berikan. Sebagian lain dari mereka akan kembali lagi setelah sekian purnama, setelah berbagai kemungkinan yang telah aku peringatkan untuk tidak dilakukan dilanggar dan menjelma menjadi raksasa besar, kemudian menyeret siapa saja yang sebetulnya tak begitu terlibat.
Kapal-kapal telah bocor dan sulit lagi ditambal, perahu-perahu itu retak jauh sebelum berlabuh. Buih dan badai mencipta lagi kesulitan, hanya karena ketidaktaatan, dan penyesalan sama sekali tiada berguna.
Apa kowe ra kelingan jamane dek biyen?
Lama waktu bergulung seperti ombak, tiga puluh lima tahun sejak tengah malam itu berlalu. Aku kini makin mengerti bahwa hidup tak cuma soal capaian-capaian-capaian, melainkan jauh lebih banyak memberinya, menerimanya, sabar, berhitung ulang dan menerima sampah-sampah itu datang kembali.
Impian-impian masa kecil dan remaja yang ingin segera besar telah berlalu, segala yang ambisius tak pernah berhasil melewati umur tiga puluh, sebaliknya menjadi manusia selamanya.
Saya kunjungi mata air tua itu lagi, di pegunungan, di makam-makam keramat serta segala hal di masa lalu, bukan untuk meromantisasi atau sekedar mengenang tapi mempelajari hal-hal yang berkabut samar di masa lalu, mengukurnya kembali seolah mengunjungi tepian dari pulau yang berpenghuni. Tempat dimana kalam Tuhan tersembunyi, sebuah jeda, sebuah ruang antara yang menghubungkan masa kini dan masa silam, pilihan hidup dan nasibnya.
Jaman kemudian mengingat. Banyak teman-teman yang tetap meski secara fisik jauh, banyak bersemayam dalam-dalam di lubuk hati, mengukir sejuntai bunga mekar yang kerap baunya kita cium lagi ketika malam pekat hadir. Sebagian lain terus bersama secara jasad, tak lagi melulu perkara nasib tapi pelan-pelan karena kemudian mengasah keberterimaan, hidup menjadi bahagia dan paradoks.
Bungah susah pada dilakoni. Bahagia sekaligus sedih, sama-sama dijalani.
Di depan pelataran sebuah SD Anak-anak kecil terus meminta kembang gula, membentuknya dengan beraneka bentuk. Kuda, bunga, keris. Sementara yang menua dan mendewasa tak mau kalah ingin tetap bersama gulali, Si Jenang gula tadi.
Madyataman, 8 Juli 2025/ 11 Sura 1959
I. Agusta