image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Saturday, February 22, 2025

GUNUNG, KALI DAN MAKAM | SEBUAH SUNYAMARGA

Puja Giri

Lebaran kemarin berlangsung cukup meriah, banyak orang datang – pergi dari kampung ke kampung untuk bersilaturahmi, bertemu handai taulan serta mentraktir anak-anak cilok. Semua berkelindan dalam sebuah hari raya. Yang sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya tentu saja padusan di sungai, mengunjungi makam dan bancakan di makam lalu healing plesir ke tempat-tempat wisata. Karena tempatku tinggal di dekat gunung tentu saja sarana healing telak kembali ke gunung-gunung. 

Awalnya saya tidak begitu memperhatikan gejala ini, saya naik gunung sudah cukup lama sekitar tahun 2005, jauh sebelum tren film “5cm” dan “my trip my adventure” menghiasi ruang visual kita. Naik gunung kala itu bagi orang tua apalagi bulan Suro adalah ritual untuk menyepi, berkontemplasi sekaligus menghentikan kegiatan sehari-hari. Sementara bagi kami remaja ini tentu sarana nyepi dan sok puitis dikala demam film Gie dan buku Gibran dimana-mana. Perasaan ingin menjadi sok puitis kerap menyergap. 

Namun, dari ketiga hal itu tertangkap fenomena yang sama. Mereka pergi ke gunung untuk kanalisasi stres. Entah motifnya cuman ingin piknik, bertapa, camping, mendaki, bahkan sampai berburu di hutan-hutan tertentu. 

Yang lagi tren sekarang dan agak mahal tentu saja glamour camping atau glemping. Kalangan atas, atau orang-orang yang tidak berani mengambil resiko masuk hutan dengan berbagai kemungkinan memilih membayar semua fasilitas, lalu menikmati kesunyian, dingin dan lagi-lagi di pegunungan. Upaya-upaya tersebut dari banyak kawan yang tak tanyai hanyalah bentuk penyaluran kekalutan hati sekaligus ingin menggapai ketenangan, wening. 


Yang kedua tentu saja makam.

Sebelum lebaran di desaku diadakan bancakan, semua warga membawa ke makam ubarampe dari jajan pasar, jenang abang-ireng, hingga tumpeng dan ingkung pitik jawa. Setelah bancakan, makan bersama lalu mereka nyekar sembari membersihkan makam keluarga masing-masing. Mungkin ini erat kaitannya dengan puja terhadap Dewi Kali, si penguasa kuburan yang meminum darah. Penumpahan darah itu berubah jadi penyembelihan ayam, jenang merah-hitam sebagai simbologi tertentu, dan Dewi Kali sebagai salah satu aspek dari sifat Durga mewakili representasi hubungan antara manusia yang masih hidup dengan alam lain, dengan mahkluk lain yang ada disekitar kubur. Akulturasi terus berlangsung. 

Selain gunung, makam merupakan tempat idaman mereka yang stres, kangen masa kecil namun orangtuanya sudah meninggal bahkan tempat mereka menyandarkan segala masalah, mengingat kematian bahkan mungkin mengakhirinya di pekuburan. Saya kurang tahu apakah cerpen mas Danarto disekitar kuburan diilhami dari banyak duka yang disandarkan pada makam. Tapi berita mencatat mbak Novia Widyasari lepasa parane, jembaro kubure, menenggak racun di makam orangtuanya setelah dihamili dengan tidak bertanggung jawab oleh oknum polisi pada bulan Desember 2021. Sudut pandang lain bahwa makam itu adalah sandaran paling monumental, yang jelas terlihat, selain Tuhan tentunya. 

Keslamatan lainnya yang sedikit miring mungkin seperti cerpen Kuntowijoyo, Anjing-anjing menyerbu kuburan. Praktek mencari pesugihan dengan membongkar makam dan mencuri kafan pada hari tertentu dipercaya bisa menyelesaikan masalah ekonomi para pelakunya. Ini juga bukti bahwa makam itu seksi, sebagai jalan lain. Dulu ketika desaku usum judi buntut, orang-orang juga nyanggar di pohon-pohon berharap kerutan pada sebatang rokok filter itu bisa menunjukkan angka tertentu untuk keberuntungan mereka. Meskipun ini sisi yang lain nyatanya kegiatan mencari nomor togel ini juga kanalisasi stres via kuburan.

Yang akhir-akhir ini muncul tentu saja kawan-kawan Sarkub. Mereka yang mengunjungi makam-makam untuk menelisik sejarah dari nisan-nisan. Kawan saya mas Yaser Arafat tentu bagian utama dari gerakan ini, lewat bukunya Nisan Hanyakrakusuman orang-orang kemudian makin rajin pergi ke makam, geliat ziarah bangkit, memotret makam kini jadi semacam hobi yang menyenangkan. Stress release lagi tho?

Berbicara makam seperti tiada akhirnya dari candi-candi tempat abu para tokoh dan raja, sampai di instagram bersliweran orang nangis-nangis memakamkan kucing mereka. Nyatanya makam tetap jadi kenang, harap dan slamet tentu saja.

Yang ketiga yang belum hilang tentu budaya ciblon. Dulu jamanku kecil bakdan selain makan ya mandi di kali, bermain air sembari ditakut-takuti dengan mitos onggo-inggi di Solo atau momok hiyong kalo di sekitar Jogja. Sebagai anak kecil tetap tidak peduli, blas budal adus kali. Hari ini juga tidak berubah anak-anak desa yang jauh dari kolam renang kerap merayakan bakdan dengan main ke kolam renang, jajan eskrim atau bakso aci seperti halnya anak kecil mereka mencari kebahagiaan. 

Tapi tentu berbeda dengan generasi orang tua kita. Masih memilih sungai sebagai sarana kusyuk meditasi, bertapa di tempuran (pertemuan cabang sungai), atau padusan di berbagai sendang dan patirtan. Laku hening cipta ini juga ngemu surasa kesarasan. Jika Dewi Kali merupakan penjaga kuburan, kali atau sungai di Jawa kerapkali jadi sebagai sarana kematian. Semenjak pandemi ini apalagi, banyak orang dengan sengaja karena beragam masalah baik ekonomi, internal keluarga, sampai berpenyakit tak kunjung sembuh menjadikan sungai untuk pilihan kematiannya. 

Sungai dalam nada lain juga jalan keselamatan mereka. Slamet dari rasa sakit, dari tagihan hutang, atau dari cibiran tetangga karena menganggur berkepanjangan. 

Saya kerap gemetar jika ikut dalam operasi SAR, di sela menjalankan kewajiban sebagaimana manusia lumrah yang harus membantu sesama. Keluarga kadang bercerita dengan pilu. Warna-warni geliat manusia jelang hingga setelah kematiannya. 

Sunyamarga, jalan sunyi dalam istilah yang dipakai mas Zaky dalam prosesi ruwat. Gunung, makam dan sungai seperti aktualisasi dari jalan sunyi tersebut. Mungkin berbentuk dua sisi seperti ajaran Tantra itu sendiri, ada yang dengan sadar dan tak gegabah menggunakan medium jalan sunyi ini untuk meracik ulang alam berfikir mereka supaya tuntas melanjutkan laku hidup di dunia, sebaliknya pada jalan sunyi itu pula “keslamatan” juga dipendarkan, manusia tidak bisa melanjutkan lakunya. 

Mancing

Pada bakdan pula banyak mereka yang memilih pergi dari rumah setelah prosesi wajib halal bihalal sekampung.  Mereka ini adalah yang malu bertemu keluarga. Malas ditanyai kapan menikah, malas dibanding-bandingkan dengan pencapaian tetangga atau anak saudara, dan yang tak kalah memukul tapi lebih banyak diam adalah bapak-bapak yang sudah berkeluarga tapi mereka pengangguran selama pandemi. Jauh dari gambaran untuk mentraktir keluarga, memberi pitrah saudara apalagi untuk masak besar lalu open house. Mereka memilih sungai, menepi dengan kail. 

Saya melihat gejala ini justru setelah nyekar ke makam, hari kedua lebaran kok justru ada bapak-bapak yang duduk dibawah pohon Loa. Adapula kawan-kawan sebaya saya, mulai ikut punya hobi mancing. Saya anggap ini sebagai jalan keslametan, daripada dia stres dirumah dan selalu gelisah menahan banyak tensi dirumah, pergi ke sungai bisa jadi jalaran yang menenangkan. 

Sisi lainnya saya melihat ini sebagai tindakan meditatif. Banyak kawan saya kalau mancing tidak di pemancingan, tapi justru di hulu-hulu sungai mepet gunung, tempat air jernih dan hawa dingin terjaga. Serta konon, bersemayam pula hantu-hantu penjaga sungai yang kerap “nakal”. Tapi itulah jalan sunyi, kadang sepintas juga keras kepala.

Kalian yang pernah naik gunung, camping, glemping, atau ziarah ke makam-makam wali pasti pernah merasakan rasa kapok-lombok ini. Capek, keluar biaya yang tidak murah, bahkan sepintas dianggap pemborosan tapi kita tetap mengulangnya, dan terus mengulangnya. Pemancingpun begitu, selain jalan meditasi jangan-jangan ini juga bagian dari passion itu sendiri. Passion yang dalam bahasa Yunani passio artinya bukan bakat, tapi pengorbanan, suffering. 

Laku-laku spiritual, laku mencari jalan keslamatan, laku self-healing dan kanalisasi stres ini kadang keras kepala. Persis seperti slogan-slogan paguyuban kail dan jala itu.

Bojo Muring Tetep Mancing!!





Surakarta, 21 Mei 2022

Indra Agusta

Jayeng di Sraddhasala