Sebuah kelas telah selesai dihelat, kami, kawan-kawan pengajar serta para peserta yang terpilih telah kembali pada dunianya masing-masing. Inkubasi telah selesai. Meski baru dihelat selama dua kali, kelas Pos-pos selalu membuat saya tidak ngapa-ngapain ketika selesai. Nyaris hampir 24 jam saya nggendhon di kamar hanya untuk memilah kembali apa yang terlewat.
Sejak kali pertama pelaksanaannya saya selalu berpikir apakah kelas ini akan berdampak di masa depan? atau sekedar jadi pemuas lelah dari banyak kekalahan yang terus dialami oleh mereka yang mendaku sebagai aktivis sosial.
Hanya kepada niat dan kepercayaan bahwa ketika kita telah melakukan sebuah aksi, setidaknya kita bisa memprediksi gejala berikutnya. Hal-hal ini tidak akan pernah berlaku ketika ide hanya menjadi ide dan berkutat sebagai onani pikiran. Karena dengan tindakanlah semuanya bisa diukur, dan karena hanya lewat karya-lah seseorang akan dikenang.
Di umur yang sekarang saya sudah tidak lagi mempertanyakan kedirian saya, tetapi tindakan-tindakan seperti membuat sebuah kelas ini terus membayangi, karena tanggung jawabnya kemudian menjadi berefek pada sosial. Setiap kelas dimana ilmu pengetahuan dan rerasan disebar di situ pula pasti memicu nalar pikir setiap orang di sekitarnya. Saya pahami betul itu, kenapa inkubasi selalu berbeda ketimbang diskusi-diskusi publik yang hanya selesai dalam hitungan jam.
Meski begitu, sulit rasanya untuk membicarakan ini semua pada mereka para intelektual yang tidak p ernah ikut gerakan serta menjalani banyak hal, pada mereka yang dengan tegas saya tolak untuk turut serta datang ke dalam kelas saya minta maaf. Saya selalu mempercayai perubahan formasi sekecil apapun ketika inkubasi dijalankan pasti akan mempengaruhi hasil dari sosial yang dibangun dalam perjumpaan itu. Hubungan perkawanan yang mulai akrab hingga nuansa kelas yang jelas dibangun sejak awal seleksi.
Ini belum perkara teknis lainnya.
Menyeleksi pembicara, memaksa mereka untuk membuat tulisan dan presentasi, menyeleksi esai-esai peserta serta dengan membuat permakluman sambil mengingat-ingat seberapa jauh manusia bisa menulis ketika ia berumur di bawah dua puluh lima tahun. Belum soal logistik, bagaimana pembiayaan kelas ini dikerjakan, bagaimana cara membuat kelas yang beneran kuat dan mapan secara finansial sehingga bisa lebih merdeka dalam membicarakan banyak hal. Bagaimana pula mengupah layak para pembicara agar mereka mau dan mampu memberikan yang terbaik yang mereka miliki, hal-hal yang tentu saja tidak bisa secara kolektif cuma-cuma alias gratisan. Sebagai intelektual saya tentu tahu ilmu itu mahal dan untuk mendapatkannya butuh waktu, duit serta banyak kemampuan.
Dari tonggak yang telah dibuat kita akan menilai dan mengukur sepuluh tahun lagi, kira-kira kawan-kawan ini jadi apa? semoga banyak keajaiban berlangsung.