image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Tuesday, July 8, 2025

Gulali Tiga Lima

 


 Jenang gula, kowe aja lali marang aku iki

nalikane nandhang susah sapa sing ngancani

Begitu bait pertama lagu yang sampai sekarang masih jadi perdebatan apakah gubahan Manthous atau Suratman Markasan. Aku telah mendengar lagu ini bahkan sedari SD meski lewat begitu saja, lesap menjadi pengalaman hidup sehari-hari di desa. Baru jelang tiga puluh tahun lagu itu mendapatkan tempat tersendiri dalam benak, pemaknaannya jauh melampaui ketika lagu itu dibikin. Tak hanya sekedar lagu cinta ala Jawa, tetapi juga sebagai cermin hidup seiring umur kian bertambah. 

Adalah Jaya Suprana yang berhasil mengingatkanku kembali pada lagu masa kecilku ini. Dalam sebuah malam hening di meja operator warnet, ketika semua orang tertidur saya memutar potongan resital beliau ini. 

Ingatan melenggang jauh ke masa lalu.

Putaran film usang kenangan dari geliat masyarakat desa paska reformasi, orang-orang yang sedang kesusahan dan masih ditipu oleh beranekawarna muslihat, orangtuaku, eyang-eyangku serta orang-orang baik yang selalu ada di sekelilingku dari merekalah ini rekaman film itu menjadi baik tersimpan dalam benak. 

Meski di tulisan ini tak mungkin kutulis satu persatu, tapi jelaslah tak mungkin aku sampai pada titik hari ini tanpa kebaikan-kebaikan tadi. Pada harapan yang selalu dititipkan dari hati ke hati, pada teguran hidup, kasunyatan yang seakan tiada habisnya menghardik nasibku hingga hari ini. Semua perangai membentuk sebuah komposisi indah dari umur itu sendiri. 

Pada bagian ini, denting pertama Pak Jaya berdaya magis. Penciptanya juga tak melewatkan untuk menunjukkan kepiawaiannya dalam bersastra Jawa. Sebuah wangsalan disematkan secara manis dalam lirik jenang gula yang jawaban dari teka-teki ini adalah gulali. Rima dari kata "gulali" ini dijawab dengan "aja lali". Seperti seakan memberi semiotik, 

Kalau kamu lihat kembang gula(gulali) , ingatlah aku

Rasa-rasanya memang begitu. Bukankah demikian kita memperlakukan hidup? meskipun tak selalu mudah bahkan hidup harus dihadapi dengan liat, namun kita terus berhasil menyensor kenangan-kenangan itu sendiri. 

Yang buruk, jahat segera kita ingin lupakan, silapkan, sementara yang baik kita rawat baik-baik kita mengenangnya sebagai bagian paling indah dari kesemenjanaan waktu dan seolah kita akan wariskan keindahan itu pada karya-karya, pada anak cucu jika memungkinkan.  

 ning saiki bareng mukti kowe kok njur malah (ng)lali marang aku

Setelah Pak Jaya lagu ini dinyanyikan mendiang almarhum Ki Seno Nugroho, seorang dalang dari Jogja yang punya kerabat dengan Pak Bayu Kiai Kanjeng. Video berdurasi lima menitan itu sangat bermakna karena jadi semacam video personal terakhir sebelum beliau mangkat. Perlahan waktu yang kemudian membuat kita senantiasa lupa padahal pada masanya pernah memberi arti yang sangat dalam.

Ketika Ki Seno menyanyikan itu telak saya ingat "sumur-sumur tua" yang pernah saya temui di masa lalu, guru-guru, pastur, kiai, orang sepuh yang pastinya banyak meninggalkan jejak dalam batin dan pikiranku, dari mereka-mereka inipula saya sampai di sini. Juga kepada "lincak reyot dari bambu" orang-orang yang mungkin dielakkan dalam dunia persilatan, mereka yang tidak pinunjul di depan, tidak penting bagi kebanyakan tapi justru dari mereka ini aku berhutang ilmu melebihi teori-teori. perihal menghadapi realita, takdir dan nasib, perjuangan serta peruntungannya dalam menjawab beragam tensi dan tekanan yang dengan sungguh aku katakan itu kerap jauh melebihi kapasitas mereka sebagai manusia biasa. 

Kawan-kawan lincakan ini kerap membuatku kembali jadi manusia, yang lumrah, biasa saja dan jauh dari ndakik-ndakik ilmu pengetahuan. Mereka yang mengarungi bahtera dengan kelakar, sesap rokok dan berbotol-botol arak Wirosari. Sebuah kaca benggala raksasa untuk membuat saya kembali ngukur klambi, menakar kemampuan diri bahwa sampai saat inipun ya belum jadi apa-apa. Agar selalu muncul peringatan-peringatan seperti aja dumeh, jangan merasa sedang dalam posisi tertentu yang membuat kita menjadi kelewatan dalam bersikap kepada liyan.

Waktu pula yang menunjukkan bahwa nyatanya sebaik apapun kita menyajikan kebaikan, kepengasuhan, pengajaran, penjagaan tetap saja akan selalu ada yang melupakan apa yang pernah kita berikan. Sebagian lain dari mereka akan kembali lagi setelah sekian purnama, setelah berbagai kemungkinan yang telah aku peringatkan untuk tidak dilakukan dilanggar dan menjelma menjadi raksasa besar, kemudian menyeret siapa saja yang sebetulnya tak begitu terlibat. 

Kapal-kapal telah bocor dan sulit lagi ditambal, perahu-perahu itu retak jauh sebelum berlabuh. Buih dan badai mencipta lagi kesulitan, hanya karena ketidaktaatan, dan penyesalan sama sekali tiada berguna. 

Apa kowe ra kelingan jamane dek biyen?

Lama waktu bergulung seperti ombak, tiga puluh lima tahun sejak tengah malam itu berlalu. Aku kini makin mengerti bahwa hidup tak cuma soal capaian-capaian-capaian, melainkan jauh lebih banyak memberinya, menerimanya, sabar, berhitung ulang dan menerima sampah-sampah itu datang kembali. 

Impian-impian masa kecil dan remaja yang ingin segera besar telah berlalu, segala yang ambisius tak pernah berhasil melewati umur tiga puluh, sebaliknya menjadi manusia selamanya. 

Saya kunjungi mata air tua itu lagi, di pegunungan, di makam-makam keramat serta segala hal di masa lalu, bukan untuk meromantisasi atau sekedar mengenang tapi mempelajari hal-hal yang berkabut samar di masa lalu, mengukurnya kembali seolah mengunjungi tepian dari pulau yang berpenghuni. Tempat dimana kalam Tuhan tersembunyi, sebuah jeda, sebuah ruang antara yang menghubungkan masa kini dan masa silam, pilihan hidup dan nasibnya. 

Jaman kemudian mengingat. Banyak teman-teman yang tetap meski secara fisik jauh, banyak bersemayam dalam-dalam di lubuk hati, mengukir sejuntai bunga mekar yang kerap baunya kita cium lagi ketika malam pekat hadir. Sebagian lain terus bersama secara jasad, tak lagi melulu perkara nasib tapi pelan-pelan karena kemudian mengasah keberterimaan, hidup menjadi bahagia dan paradoks.

Bungah susah pada dilakoni. Bahagia sekaligus sedih, sama-sama dijalani.

Di depan pelataran sebuah SD Anak-anak kecil terus meminta kembang gula, membentuknya dengan beraneka bentuk. Kuda, bunga, keris. Sementara yang menua dan mendewasa tak mau kalah ingin tetap bersama gulali, Si Jenang gula tadi.


Madyataman, 8 Juli 2025/ 11 Sura 1959

I. Agusta





Monday, June 30, 2025

Senja keemasan Padma


Senjanya merekah Pad, ketika sang kala membawamu kembali. 

Angan-angan dari sebuah bis tua, hujan, dan badan separuh basah. Langitnya berubah menjadi sangat cantik, bening, emas kemerahan. Ingatkah kamu? Kita pernah ada di situ, sebuah momen magis di tengah belantara, menawarkan secangkir teh dan biskuit, meneguknya dan menarik nafas panjang diantara kabut dan akar-akar.

Tangan kita menggenggam, tubuh kita saling berpelukan dan seolah harapan itu ada, padahal sejatinya kita tahu banyak hal yang terjadi ketika senja itu lewat. 

Malam-malam sunyi kemudian datang.

Kegelapan itu menyeruak mengintai kita dengan banyak mata. Setiap drama dibereskan, setiap kali itu pula muncul drama baru dan kita melenggang di jalan gelap menuju puncak itu. 

Di persimpangan kita berpandangan, mengedarkan mata sekeliling, pada gemerlap lampu kota nun jauh di sana. Merenungi segala yang terjadi.

Lakon wayang anak manusia seperti takdir yang tak satu setan-pun tahu. Konstelasinya berubah, sangat acak, variabelnya terus bertambah, meski begitu aku tahu suatu hari pada garis edar tertentu di simpang jalan yang sama langkah-langkah itu akan kembali. 

Pada tanjakan, kita merebahkan diri lagi. Mengusap keringat dan berkelakar sejenak. Rasanya hidup ingin berhenti pada momen bahagia itu saja, ketika nafas tersengal dan dingin makin merayap kita tetap memandangi lampu² kota itu.

Apakah ini rima hidup? Jalanan panjang penuh bahaya namun juga tak kalah menawari banyak hakikat kebahagiaan. 

Dari jauh memang terlihat, kelokan-kelokan tajam itu tengah menanti di ketinggian sana, dimana waktu dan umur berkejaran supaya kita semua dianggap lumrah oleh kasunyatan. Supaya kita bisa selamat dari 'saringan' naiknya kadar entropi.

Senjanya lenyap, tapi setelah kamu pergi bertahun-tahun sinarnya terus berpendar di hatiku. Sinar yang terus memberi pendar harapan, nyala pada mata, memberi setumpuk bara api pada rindu. 

Sejak saat itu, kehidupan tak lagi sama Pad.  Bermalam-malam aku tidur dengan syair, dan entahlah malam ini rasanya makin menjadi², malam jadi melankolis. Enam tahun sejak gunung-gunung itu berbicara. Seharusnya saya harus bahagia, karena memang itulah yang lumrah terjadi. Tapi keraguannya tidak bisa dipungkiri.

Di dalam hati senja merah keemasan ith mengembang lagi, aku hanya terus berdoa semoga kebaikanmu menjadi banyak kebaikan lain. 

Terimakasih untuk cintamu yang tulus. 
Selamat, dan panjang umur rasa bahagia.

Sampai jumpa lagi Padma.

#agustaisme

Friday, May 9, 2025

Memberi Meski Kurang

Ada yang misterius dalam hidup ketika kita tidak mencapai apa yang kita impikan, lalu kita melakoni hidup dengan banyak keterbatasan dengan segala keluh-kesahnya. Pada saat yang bersamaan ketika kita butuh, tiba-tiba ada orang lain yang membutuhkan, simpangan terjadi. Apakah kita egois dan memilih diri kita sendiri? Atau merelakan dan memberikannya kepada yang lebih membutuhkan?

Ketika sudah begini daya bertahan hidup manusia (survival) akan bilang tidak dan membiarkan orang lain berurusan dengan masalahnya, tetapi batin kita tentu tak berkata demikian. 

Bagi mereka yang belum tumpul hatinya, apalagi pernah susah tentu lebih mudah memberi karena kita juga pernah mengalami diberi. Kita menolong karena dalam hidup kita juga pernah ditolong. 

Kita akhirnya memberi dari kekurangan kita, bahkan merelakan apa yang kita miliki. 

Setiap mengalami persimpangan-persimpangan hidup yang demikian, saya selalu teringat Eyang Putri saya. Ketika suatu Minggu pagi ia pulang dengan mengingat-ingat sebuah cerita perihal persembahan seorang janda miskin. Yesus menganggapnya mulia karena janda ini memberi dari segala kekurangannya. 

Tuhan akhirnya tak bicara soal nominal, tetapi proporsi, melihat hati manusia, kesungguhan dan kerelaan kita, dan entah kapan tapi kebaikan kita sebenarnyalah tidak berhenti. Ia akan membalasnya kapan-kapan.

Suatu ketika jaman kerja di warnet rekening saya sudah sangat mepet, hampir nol, tiba-tiba ada anak yang minta ditraktir karena tidak diberi saku oleh orangtua mereka. Saya tahu anak ini memang bukan lahir dari keluarga berpunya, dengan sisa-sisa uang tadi akhirnya uang makan sehari saya bagi dua dengan dia. Sing penting madhang.

Waktu berlalu dan warnet telah tiada. Tiba-tiba anak ini datang kembali kepada saya. Ia ingij mentraktir saya, ia ingat masa-masa sekolah yang sulit itu. Meski saya tahu hidupnya kini juga tak berubah betul, tapi ia sudah mandiri minimal untuk dirinya sendiri. Lalu kami makan jamuan berdua di warung makan cukup mahal di kota ini. Saya melihat matanya berbinar karena bisa membalas kebaikan saya di masa lalu. Bukan soal nominalnya, tapi soal ketulusannya. 

Kebaikan itu laten, dan Tuhan sendiri tahu kapan membalaskannya, menggerakkan anak ini untuk menemui saya dan berbagi kisah hidupnya. Pahit getirnya nasib yang sama-sama kami alami. 

Dengan menerima dan memberi meski sama-sama kesusahan ini ternyata membuat hidup ini terus berlanjut, dan memunculkan banyak lagi pengharapan. 

Kalau kamu miskin, dan dimintai tolong, maka tolonglah, kalau perlu jangan sampai dimintai tolong, gerakkan intuisimu, tajamkan perasaan batinmu. Apalagi jika kamu kini cukup berpunya, saya yakin ada banyak orang di sekitarmu yang kelihatannya baik-baik saja sebenarnyalah ia dalam mode bertahan, atau malah sudah habis-habisan.

Cahaya lilin makin terang justru akan berpendar besar sebentar sebelum ia mati. Maka, mari saling menjaga api.


Sunday, April 27, 2025

(belum ada judul)

Kemarin hari menonton kembali Iwan Fals di Mangkunegaran. Untuk kedua kalinya di tahun ini setelah beberapa waktu lalu Iwan membuat konser berbayar. Karena gratis tentulah konser kali ini menunjukkan pemandangan berbeda, tipikal penontonnya, euforia serta energi yang ditangkap sama sekali lain. Disetujui atau tidak Iwan besar karena lagu-lagunya lantang menyuarakan nurani, menjadi saluran dari mampat-buntunya kehidupan. Sebagian lain adalah potret dari masyarakat dimana ia hidup, Iwan lalu jadi simbol sebuah jaman.

Satu-dua lagu pertama rasanya biasa saja sampai ketika Belum Ada  Judul dimainkan. Merinding sekujur tubuh saya melihat dan mendengar Iwan memainkan lagu ini nyaris sendirian. Genjrengan gitar, harmonika dan suara lantangnya itu cukup untuk meledakkan atmosfer penonton. Saya sendiri turut merasakan cipratan energi itu, ini yang saya cari, kata saya dalam hati. Tidak banyak penyanyi Solo punya "gondo" berbahaya ketika lagunya memang mewakili dinamika sosial tertentu. 

Cukup lama aku jalan sendiri, tanpa teman yang mampu mengerti...

Setelah chorus, dengan progresi nada yang menukik naik ditambah gelegar suara Iwan sontak bapak-bapak di belakangku berteriak sangat keras ketika lirik itu sampai pada momentumnya. Anjirr, ini mengerikan, saya sampai menengok ke belakang untuk memastikan apa yang terjadi.

Seorang bapak, berbaju kucel, perawakannya tinggi tapi layu, rambut  putih dan kerut di dahi dan datang sendirian itu cukup menjelaskan sedikit tentang garis hidup yang ia lalui. Bukan yang "mapan" mungkin hidupnya kusut seperti bajunya, dan tentu saja ia mungkin hanya bisa datang ke konser-konser gratisan seperti ini, apalagi Iwan Fals kapan lagi nonton idola tanpa bayaran sekaligus meluapkan penat. 

Sampai ketika saya menulis ini, saya masih terpikir bapak tadi, juga terpikir kepada lirik yang dibuat Iwan Fals. Betapa lagu itu memang bisa menciptakan tensi, gairah kerap pula menjelma menjadi hulu-ledak dari hidup yang butuh saluran. 

Teringat pula kata-kata Abah Iwan Abdurrachman; kalau Iwan Marah kita semua bisa ikutan marah, kalau Iwan berkata cinta kita semua turut mencintai.

Lagu "belum ada judul" ini bagi saya sendiri tentulah istimewa, dengan kualitas begitu mungkin yang kejadian malah mirip "..." (tiga titik hitam)-nya Burgerkill. Sulit memang untuk mendapatkan judul, karena malah membanting diri sendiri pada penghayakan akan kata itu sendiri. 

Kembali ke bapak tadi saya jadi kepikiran apakah semakin tua lirik ini akan semakin relate? di umur segini saja, saya sendiri mengalami perubahan itu kian nyata. Meski awalnya sama, bahkan mungkin secara kualitas pemikiran dan pengetahuan saya lebih unggul tapi nasib itu beneran bisa berbeda. Ada kawan-kawan yang kurang begitu pandai kini malah jadi pengajar, dosen, ada pula yang bisa jauh lebih kaya secara moral dan finansial daripada saya. 

Momen-momen seperti lagu tadi akan terjadi. Saya menemui kawan-kawan lama tadi, sebagian kecil mereka "jadi", sebagian lainnya jatuh tersungkur dalam kegelapan nasib dan hidup. Tentulah ingin kita menolong tetapi saya akhirnya juga harus mengukur baju lagi, bahwa kemampuan saya-pun tentu takkan mungkin menyelesaikan perkara nasib ini. Akhirnya ada hal yang harus kita nikmati dan tangisi bersama dari balik tenggak bir, ciu atau wine. 

Mungkin wataknya dunia, selalu saja ada yang menakjubkan dari hidup. Kita dalam beberapa kali waktu harus mengucap selamat tinggal kepada kawan kita dan nasibnya, juga kawan-kawan kita pun demikian pada saya. Semakin tua makin jauh jalan hidup makin terang pula pilihan-pilihan ini membawa konsekuensi, dan mencipta jarak yang makin jauh dengan orang-orang di masa lalu, yang suatu hari mungkin kembali, namun tak sama lagi. 

Pikiran-pikiran senada inipula yang mungkin dipikirkan dari bapak di belakangku tadi, sekilas setelah lagunya selesai, saya melihat dia mengusap matanya. Ia menangis. Magis! memang Iwan Fals ini, lagunya bisa membuat orang yang merasa terwakilkan. Mungkin sama seperti saya yang merasakan sedikit kelegaan seusai menonton konser karena ternyata lirik-lirik itu membawa tenaga untuk kembali menghadapi keadaan yang diam-diam harus kita sembunyikan kesukarannya dari orang lain. 

Malam ini seperti malam-malam Iwan Fals sejak saya pertama kalinya menonton ketika masih duduk di kursi SMP. Selera saya mungkin terlalu tua, tapi jaman terus merekam kemungkinannya. 

Malam ini saya turut menyaksikan pula banyak orang yang hidup bersama Iwan Fals, entah mereka hanya pendengar atau ikut Oi! (fans Iwan Fals) tetapi mereka membawa anaknya, bahkan cucunya. Beberapa suami-istri yang tidak mau terpisah harus di-screening di pintu masuk yang berdekatan supaya anaknya tidak hilang. Mungkin anak-anak ini suatu hari akan seperti pemuda-pemudi di samping kiri saya, bersama pacarnya menyanyikan Mata Indah Bola Ping-pong dengan bersemangat, sambil merangkul dan lirik-lirikan.

Ah, Indahnya dunia remaja. 

Sepanjang perjalanan pulang saya terus merenung dan makin teguh isi hati saya bahwa, jika seseorang bernasib menjadi patron, tokoh, atau pohon yang menjulang tinggi yang jelas nasibnya berbeda dengan orang kebanyakan, ia telak harus menyuarakan suara-suara yang terpinggirkan itu. Panjang umur be, kapan-kapan nonton lagi. 

Makasih terus memberi cinta pada banyak orang.



Solo, 26 April 2025


Tuesday, March 18, 2025

Geser!

Sejak ketika kesadaran itu ditanam di benak saya sejak itu pula saya mulai merekam banyak hal. Makin banyak data yang terekam makin banyak pula pola tergambar, segala sesuatu yang tidak pernah selesai dan menemui kebenarannya dari hari ke hari. 

Selepas melewati apa yang oleh orang Jawa dinamai "tumbuk alit" atau tiga puluh dua tahun Jawa, rasanya sebagai pribadi makin tenang dan tidak begitu lagi dengan ambisi-ambisi. Masalahnya mungkin sama, tetapi tensi untuk mengarungi masalah itu jauh lebih landai. Sesekali memang terlihat ombak hidup itu menghantam begitu besar, berkali-kali pula rasanya kayak mau tenggelam namun selalu saja ada hal lain memicu untuk bertahan. 

Bertahan di tengah krisis kata berita, ah, aku sendiri mengalami seumur hidup krisis. Masalah itu gak pernah berhenti, dari urusan sederhana seperti perihal makan, atau hutang-hutang keluarga hingga masalah sendiri di sirkel, dan berbagai urusan privat lainnya. Semakin tua dengan kewaspadaan yang cukup makin matang pula keharusan untuk menerima keadaan diri, kemenangan, kekalahan serta kesempatan-kesempatan juga hadir persis seperti ombak. Ada yang datang cepat kemudian pergi, adapula yang menetap kemudian menjadi bagian daripada hidup, tinggal beberapa lama di sekeliling kita lalu pergi. 

Adapula hal-hal yang bagi umum telah terlewat. Sebutlah usia melamar pekerjaan, usia menjadi fresh-graduate kampus, usia menikah atau usaha memberikan hal-hal normal, lumrahe bagi sebagian besar orang Jawa. Karena aku tak tinggal dalam spasial itu, dan sepanjang hidup seperti pertaruhan makin ke sini makin melupakan apa yang "normal"

Tak apalah tak menjadi normal, toh dalam hidup ini apa yang normal?

Ada yang hari-hari ini terpikirkan yaitu perkara geseran. Ternyata sampai umur ini akupun telah mengalami banyak sekali perubahan. Uniknya aku selalu berposisi antara. Bisa menjadi akademisi tapi tidak punya gelar., bisa menjadi pembicara tapi karena posisi belajarnya general akhirnya tidak menjadi ahli tertentu, bisa menguasai sedikit tentang banyak hal tapi tidak ada yang menjadi sarana kapitalisasi kerap segala hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan ini hanya berakhir di meja akvitisme, atau diberikan cuma-cuma kepada anak-anak lain. Akhirnya memutar otak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sambil terus meluaskan jaringan.

Pola ini kerap mengalami badai hebat, ketika tekanan datangnya keras akhirnya "musim geseran" itu tiba. Switch kalau bahasanya anak sekarang. Hidup sebagai orang miskin yang cukup tahu banyak hal kadang juga menyakitkan, kita tahu bisa mengerjakan ini itu tapi terhalang akses, terhalang kursi-kursi jatah preman dari para penguasa. 

Hari-hari ini makin runyam, dengan segenap keadaannya masalah terus dihadapi sambil terus member apa yang kita miliki. 

Hidup hanya terus jalan, jika mau menyerah dalam hati harus bilang: tidak hari ini! kalau mentok geser!

Saturday, February 22, 2025

GUNUNG, KALI DAN MAKAM | SEBUAH SUNYAMARGA

Puja Giri

Lebaran kemarin berlangsung cukup meriah, banyak orang datang – pergi dari kampung ke kampung untuk bersilaturahmi, bertemu handai taulan serta mentraktir anak-anak cilok. Semua berkelindan dalam sebuah hari raya. Yang sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya tentu saja padusan di sungai, mengunjungi makam dan bancakan di makam lalu healing plesir ke tempat-tempat wisata. Karena tempatku tinggal di dekat gunung tentu saja sarana healing telak kembali ke gunung-gunung. 

Awalnya saya tidak begitu memperhatikan gejala ini, saya naik gunung sudah cukup lama sekitar tahun 2005, jauh sebelum tren film “5cm” dan “my trip my adventure” menghiasi ruang visual kita. Naik gunung kala itu bagi orang tua apalagi bulan Suro adalah ritual untuk menyepi, berkontemplasi sekaligus menghentikan kegiatan sehari-hari. Sementara bagi kami remaja ini tentu sarana nyepi dan sok puitis dikala demam film Gie dan buku Gibran dimana-mana. Perasaan ingin menjadi sok puitis kerap menyergap. 

Namun, dari ketiga hal itu tertangkap fenomena yang sama. Mereka pergi ke gunung untuk kanalisasi stres. Entah motifnya cuman ingin piknik, bertapa, camping, mendaki, bahkan sampai berburu di hutan-hutan tertentu. 

Yang lagi tren sekarang dan agak mahal tentu saja glamour camping atau glemping. Kalangan atas, atau orang-orang yang tidak berani mengambil resiko masuk hutan dengan berbagai kemungkinan memilih membayar semua fasilitas, lalu menikmati kesunyian, dingin dan lagi-lagi di pegunungan. Upaya-upaya tersebut dari banyak kawan yang tak tanyai hanyalah bentuk penyaluran kekalutan hati sekaligus ingin menggapai ketenangan, wening. 


Yang kedua tentu saja makam.

Sebelum lebaran di desaku diadakan bancakan, semua warga membawa ke makam ubarampe dari jajan pasar, jenang abang-ireng, hingga tumpeng dan ingkung pitik jawa. Setelah bancakan, makan bersama lalu mereka nyekar sembari membersihkan makam keluarga masing-masing. Mungkin ini erat kaitannya dengan puja terhadap Dewi Kali, si penguasa kuburan yang meminum darah. Penumpahan darah itu berubah jadi penyembelihan ayam, jenang merah-hitam sebagai simbologi tertentu, dan Dewi Kali sebagai salah satu aspek dari sifat Durga mewakili representasi hubungan antara manusia yang masih hidup dengan alam lain, dengan mahkluk lain yang ada disekitar kubur. Akulturasi terus berlangsung. 

Selain gunung, makam merupakan tempat idaman mereka yang stres, kangen masa kecil namun orangtuanya sudah meninggal bahkan tempat mereka menyandarkan segala masalah, mengingat kematian bahkan mungkin mengakhirinya di pekuburan. Saya kurang tahu apakah cerpen mas Danarto disekitar kuburan diilhami dari banyak duka yang disandarkan pada makam. Tapi berita mencatat mbak Novia Widyasari lepasa parane, jembaro kubure, menenggak racun di makam orangtuanya setelah dihamili dengan tidak bertanggung jawab oleh oknum polisi pada bulan Desember 2021. Sudut pandang lain bahwa makam itu adalah sandaran paling monumental, yang jelas terlihat, selain Tuhan tentunya. 

Keslamatan lainnya yang sedikit miring mungkin seperti cerpen Kuntowijoyo, Anjing-anjing menyerbu kuburan. Praktek mencari pesugihan dengan membongkar makam dan mencuri kafan pada hari tertentu dipercaya bisa menyelesaikan masalah ekonomi para pelakunya. Ini juga bukti bahwa makam itu seksi, sebagai jalan lain. Dulu ketika desaku usum judi buntut, orang-orang juga nyanggar di pohon-pohon berharap kerutan pada sebatang rokok filter itu bisa menunjukkan angka tertentu untuk keberuntungan mereka. Meskipun ini sisi yang lain nyatanya kegiatan mencari nomor togel ini juga kanalisasi stres via kuburan.

Yang akhir-akhir ini muncul tentu saja kawan-kawan Sarkub. Mereka yang mengunjungi makam-makam untuk menelisik sejarah dari nisan-nisan. Kawan saya mas Yaser Arafat tentu bagian utama dari gerakan ini, lewat bukunya Nisan Hanyakrakusuman orang-orang kemudian makin rajin pergi ke makam, geliat ziarah bangkit, memotret makam kini jadi semacam hobi yang menyenangkan. Stress release lagi tho?

Berbicara makam seperti tiada akhirnya dari candi-candi tempat abu para tokoh dan raja, sampai di instagram bersliweran orang nangis-nangis memakamkan kucing mereka. Nyatanya makam tetap jadi kenang, harap dan slamet tentu saja.

Yang ketiga yang belum hilang tentu budaya ciblon. Dulu jamanku kecil bakdan selain makan ya mandi di kali, bermain air sembari ditakut-takuti dengan mitos onggo-inggi di Solo atau momok hiyong kalo di sekitar Jogja. Sebagai anak kecil tetap tidak peduli, blas budal adus kali. Hari ini juga tidak berubah anak-anak desa yang jauh dari kolam renang kerap merayakan bakdan dengan main ke kolam renang, jajan eskrim atau bakso aci seperti halnya anak kecil mereka mencari kebahagiaan. 

Tapi tentu berbeda dengan generasi orang tua kita. Masih memilih sungai sebagai sarana kusyuk meditasi, bertapa di tempuran (pertemuan cabang sungai), atau padusan di berbagai sendang dan patirtan. Laku hening cipta ini juga ngemu surasa kesarasan. Jika Dewi Kali merupakan penjaga kuburan, kali atau sungai di Jawa kerapkali jadi sebagai sarana kematian. Semenjak pandemi ini apalagi, banyak orang dengan sengaja karena beragam masalah baik ekonomi, internal keluarga, sampai berpenyakit tak kunjung sembuh menjadikan sungai untuk pilihan kematiannya. 

Sungai dalam nada lain juga jalan keselamatan mereka. Slamet dari rasa sakit, dari tagihan hutang, atau dari cibiran tetangga karena menganggur berkepanjangan. 

Saya kerap gemetar jika ikut dalam operasi SAR, di sela menjalankan kewajiban sebagaimana manusia lumrah yang harus membantu sesama. Keluarga kadang bercerita dengan pilu. Warna-warni geliat manusia jelang hingga setelah kematiannya. 

Sunyamarga, jalan sunyi dalam istilah yang dipakai mas Zaky dalam prosesi ruwat. Gunung, makam dan sungai seperti aktualisasi dari jalan sunyi tersebut. Mungkin berbentuk dua sisi seperti ajaran Tantra itu sendiri, ada yang dengan sadar dan tak gegabah menggunakan medium jalan sunyi ini untuk meracik ulang alam berfikir mereka supaya tuntas melanjutkan laku hidup di dunia, sebaliknya pada jalan sunyi itu pula “keslamatan” juga dipendarkan, manusia tidak bisa melanjutkan lakunya. 

Mancing

Pada bakdan pula banyak mereka yang memilih pergi dari rumah setelah prosesi wajib halal bihalal sekampung.  Mereka ini adalah yang malu bertemu keluarga. Malas ditanyai kapan menikah, malas dibanding-bandingkan dengan pencapaian tetangga atau anak saudara, dan yang tak kalah memukul tapi lebih banyak diam adalah bapak-bapak yang sudah berkeluarga tapi mereka pengangguran selama pandemi. Jauh dari gambaran untuk mentraktir keluarga, memberi pitrah saudara apalagi untuk masak besar lalu open house. Mereka memilih sungai, menepi dengan kail. 

Saya melihat gejala ini justru setelah nyekar ke makam, hari kedua lebaran kok justru ada bapak-bapak yang duduk dibawah pohon Loa. Adapula kawan-kawan sebaya saya, mulai ikut punya hobi mancing. Saya anggap ini sebagai jalan keslametan, daripada dia stres dirumah dan selalu gelisah menahan banyak tensi dirumah, pergi ke sungai bisa jadi jalaran yang menenangkan. 

Sisi lainnya saya melihat ini sebagai tindakan meditatif. Banyak kawan saya kalau mancing tidak di pemancingan, tapi justru di hulu-hulu sungai mepet gunung, tempat air jernih dan hawa dingin terjaga. Serta konon, bersemayam pula hantu-hantu penjaga sungai yang kerap “nakal”. Tapi itulah jalan sunyi, kadang sepintas juga keras kepala.

Kalian yang pernah naik gunung, camping, glemping, atau ziarah ke makam-makam wali pasti pernah merasakan rasa kapok-lombok ini. Capek, keluar biaya yang tidak murah, bahkan sepintas dianggap pemborosan tapi kita tetap mengulangnya, dan terus mengulangnya. Pemancingpun begitu, selain jalan meditasi jangan-jangan ini juga bagian dari passion itu sendiri. Passion yang dalam bahasa Yunani passio artinya bukan bakat, tapi pengorbanan, suffering. 

Laku-laku spiritual, laku mencari jalan keslamatan, laku self-healing dan kanalisasi stres ini kadang keras kepala. Persis seperti slogan-slogan paguyuban kail dan jala itu.

Bojo Muring Tetep Mancing!!





Surakarta, 21 Mei 2022

Indra Agusta

Jayeng di Sraddhasala

Monday, January 20, 2025

Nagara: inkubasi, teror dan paradoks


Sebuah kelas telah selesai dihelat, kami, kawan-kawan pengajar serta para peserta yang terpilih telah kembali pada dunianya masing-masing. Inkubasi telah selesai. Meski baru dihelat selama dua kali, kelas Pos-pos selalu membuat saya tidak ngapa-ngapain ketika selesai. Nyaris hampir 24 jam saya nggendhon di kamar hanya untuk memilah kembali apa yang terlewat. 

Sejak kali pertama pelaksanaannya saya selalu berpikir apakah kelas ini akan berdampak di masa depan? atau sekedar jadi pemuas lelah dari banyak kekalahan yang terus dialami oleh mereka yang mendaku sebagai aktivis sosial. 

Hanya kepada niat dan kepercayaan bahwa ketika kita telah melakukan sebuah aksi, setidaknya kita bisa memprediksi gejala berikutnya. Hal-hal ini tidak akan pernah berlaku ketika ide hanya menjadi ide dan berkutat sebagai onani pikiran. Karena dengan tindakanlah semuanya bisa diukur, dan karena hanya lewat karya-lah seseorang akan dikenang.

Di umur yang sekarang saya sudah tidak lagi mempertanyakan kedirian saya, tetapi tindakan-tindakan seperti membuat sebuah kelas ini terus membayangi, karena tanggung jawabnya kemudian menjadi berefek pada sosial. Setiap kelas dimana ilmu pengetahuan dan rerasan disebar di situ pula pasti memicu nalar pikir setiap orang di sekitarnya. Saya pahami betul itu, kenapa inkubasi selalu berbeda ketimbang diskusi-diskusi publik yang hanya selesai dalam hitungan jam.

Meski begitu, sulit rasanya untuk membicarakan ini semua pada mereka para intelektual yang tidak p ernah ikut gerakan serta menjalani banyak hal, pada mereka yang dengan tegas saya tolak untuk turut serta datang ke dalam kelas saya minta maaf. Saya selalu mempercayai perubahan formasi sekecil apapun ketika inkubasi dijalankan pasti akan mempengaruhi hasil dari sosial yang dibangun dalam perjumpaan itu. Hubungan perkawanan yang mulai akrab hingga nuansa kelas yang jelas dibangun sejak awal seleksi. 

Ini belum perkara teknis lainnya. 

Menyeleksi pembicara, memaksa mereka untuk membuat tulisan dan presentasi, menyeleksi esai-esai peserta serta dengan membuat permakluman sambil mengingat-ingat seberapa jauh manusia bisa menulis ketika ia berumur di bawah dua puluh lima tahun. Belum soal logistik, bagaimana pembiayaan kelas ini dikerjakan, bagaimana cara membuat kelas yang beneran kuat dan mapan secara finansial sehingga bisa lebih merdeka dalam membicarakan banyak hal. Bagaimana pula mengupah layak para pembicara agar mereka  mau dan mampu memberikan yang terbaik yang mereka miliki, hal-hal yang tentu saja tidak bisa secara kolektif  cuma-cuma alias gratisan. Sebagai intelektual saya tentu tahu ilmu itu mahal dan untuk mendapatkannya butuh waktu, duit serta banyak kemampuan. 

Dari tonggak yang telah dibuat kita akan menilai dan mengukur sepuluh tahun lagi, kira-kira kawan-kawan ini jadi apa? semoga banyak keajaiban berlangsung.