Sejak usia dua belas tahun saya ditinggal 'pulang' oleh ibu. Secara pribadi hidup kemudian berubah, turbulensi itu makin parah ketika saya mulai utuh memahami apa yang sebenarnya terjadi, rasa kehilangan itu menjerit dengan lantang dari hari ke hari.
Saya ingat betul hari itu, hari dimana seorang guru musik saya waktu SD Drs. Antonius Suroto membisikkan di telinga saya; "sabar, kehendak Tuhan kita tak tahu". Bisikan itu berulang setidaknya sampai tiga kali, dan itu cukup menenangkan saya sebagai seorang anak yang kehilangan induk.
Belakangan saya mulai sadar perkataan berikutnya dari pak Suroto benar, seorang lelaki tidak boleh menangis, apalagi ketika ada dari keluarga dekatnya meninggal. Sikap tegar ini bukan perihal sok kuat, melainkan cara menjaga kondisi sekeliling agar tidak makin runyam karena kesedihan atas kehilangan.
Kemarin tanggal delapan sudah genap dua puluh satu tahun, saya terus datang ke makamnya, terus mengingatnya bahkan dari sebongkah cor berkeramik putih itu seperti ada energi yang tidak pernah habis. Bersandar, duduk berlama-lama sembari menceritakan banyak hal yang tidak mungkin saya ceritakan kepada orang lain - sedekat apapun mereka.
Waktu yang terus membawa ingatan itu memudar. Meskipun saya masih ingat perkataan terakhir beliau, warna kebaya, serta kain jarit yang ia gunakan dalam pembaringan kekalnya tapi hal-hal kecil mulai luput. Jika otak ini sebuah penyimpanan, mungkin fragmen kematian ibu adalah bagian paling penting yang setiap detiknya saya ingat, berikut kemudian kematian eyang putri saya.
Saya tidak tahu, melalui kematian saya lebih punya daya untuk melanjutkan hidup. Kini, sudah bukan sedih lagi, sudah bukan ratapan lagi yang menguar tetapi lebih pada motif untuk bertahan dengan mengaktualisasi kemungkinan lain yang bisa diupayakan dalam setiap fase-nya.
Belakangan saya mendengar dan melihat kawan-kawan saya di usia kepala tiga mengalami hal yang sama, mereka mulai kehilangan orang tua dan saya amati betul perubahan kejiwaan dan sisi spiritualitas kawan-kawan saya ini. Karena perubahan itulah yang akan mendorong langkah mereka selanjutnya.
Apakah mereka akan berproses dan bergeliat lebih baik, atau menyerah pada kungkungan nasib, kehilangan gairah serta memasrahkan hidup di dunia kepada halaman hidup yang baka.
Kemudian hari dalam hidup saya menemukan orang-orang yang saya anggap pengganti orang tua. Mereka yang dari pilihan hidupnya saya tahu bahwa mereka ini layak, juga ada yang saya putuskan berhenti mengikutinya karena memang sudah tidak ada lagi yang diharapkan. Orangtua ideologis kemudian datang silih berganti, persis seperti berbagai fase hidup.
Setelah kematian ibu dan berbagai krisis yang mendera, kehidupan selalu menawarkan goncangan yang tiada pernah terkira, awalnya memang menyalahkan nasib tapi perlahan ketika makin tua saya menikmatinya sebagai sebuah tarian, lantunan ombak, atau naik-turunnya modulasi nada dalam sebuah orkestra.
Lewat kesedihan saya melihat dunia ini menjadi lebih luas, tidak pongah dan lebih masuk akal. Alih-alih hidup harus berkompetisi, saya justru mendapatkan daya luas dari banyak cerita gagal kawan-kawan, orang tua yang sepanjang hidup selalu menerima kekalahan dan diam-diam mereka merayakannya dengan cara masing-masing. Selalu ada ucap syukur yang tiada terkira, mungkin caranya dengan kalian tidak sama, tetapi hidup yang kita jalani sama dalam berbagai skala.
Beberapa kawan menganggap segala kematian yang datang, segala ketimpangan dan kemuskilan hidup adalah peluang dan berkat karena saya tidak harus menanggung dorongan kuat harapan dari orangtua semasa hidup - yang mereka kini alami, namun, dengan segala hormat saya akan bilang kepada mereka; "sebaik-baiknya hidup adalah jika kamu punya orang tua, dan orangtuamu mencintaimu selagi mereka bisa serta sesuai kemampuan mereka, dan bersyukurlah".
Ada kawan yang datang kembali kepada saya ketika orangtua mereka meninggal, dan perkataan itu nyantol di otak mereka, karena kini mereka mengalami hal yang sama ketika semuanya terlambat. Mereka lupa untuk mensyukuri hidup, mensyukuri karunia punya daya dukung bernama keluarga.
Kemarin, seorang Putri Ariani penyanyi tunanetra muncul viral di media, saya juga merayakan konten berbau bawang tersebut, tetapi perasaan itu segera susut dan perhatian saya mulai fokus pada orang tua penyanyi berbakat dunia dari Indonesia itu. Tanpa orangtua yang total mendukung, saya berani taruhan Putri Ariani akan tetap menjadi rerata tunanetra di Indonesia yang kerap terpinggirkan, kerap tidak diakui keluarga bahkan hidupnya nyaris sia-sia. Sebaliknya saya harus memberikan 'standing applause' bagi orang tua yang bangga meski putra-putrinya menyandang disabilitas. Karena semua bayi adalah karunia, ialah biji sesawi, iman akan hidup yang dibicarakan Yesus.
Sebuah benih yang baik butuh tanah yang subur.
Katakanlah kita diijinkan lahir ke dunia adalah bijih terbaik, benih paling unggul atas kemungkinan yang ingin Tuhan berikan kepada kita, fase penentu berikutnya adalah orangtua, lingkungan, kawan, pendidikan lalu kesempatan. Tidak banyak yang lolos, banyak yang berhenti jauh sebelum 30 tahun. Mengalami hidup yang gitu-gitu saja, serta tidak mengalami banyak perubahan seperti yang pernah dicapai kedua orangtua. Bahkan, saya punya kawan-kawan yang sampai sekarang tidak pernah tahu orangtuanya dimana, kawan-kawan saya ketika SMP saya harus hidup ngamen sambil bersekolah, untuk tumbuh saja mati-matian apalagi untuk berkembang.
Orangtua adalah faktor penentu. Biologis maupun ideologis!. Jika suatu hari kalian mencapai titik tertentu dalam hidup, ingatlah orang-orang di masa lalu, ingatlah nisan-nisan dari keluarga dan kawan terbaik yang pernah mendukungmu. Karena hidup selalu begitu paradoks, dibalik kegemilangan ada yang surut, dibalik kemenangan ada kekalahan, pun dibalik kehidupan kita saat ini ada banyak kematian di masa lalu. Setidaknya anggapanku terhadap nasib begitu.
Kematian adalah jalan, sekaligus energi yang menghantarkan kita pada banyak kemungkinan. Ia sangat misterius, mencekam namun sekaligus menenangkan. Dan dari ranjang-ranjang, dari bunga yang ditebar atau mekar karena pohonnya tersungging rapi diatas gundukan kita bisa melihat bahwa hidup di dunia itu sangat berarti.
Angin wangi berhembus di pusara.
Sudah 21 tahun, teruslah terlelap, Mak!.
Kleco Wetan, 8 Juni 2023