image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Tuesday, October 8, 2019

Kematian, Api dan Angin

KEMATIAN, API DAN ANGIN (Catatan -1, Kelas Sraddha VI)
Perubahan terus merekam goresan, pahatan, bangunan, banyak yang tercecer lebih banyak lagi yang terlupa bahkan kemudian hanya hancur berkeping begitu saja. Kabar kematian adalah sesuatu yang biasa ditangkap semua manusia, mahkluk diseluruh semesta. Pegatnya nyawa dari jasad terus berjalan setiap detiknya.
Pertanyaannya setelah kematian apa yang hendak diwariskan?

Bagaimana sebuah relief dibentuk untuk dikenang hingga ratusan tahun, kita mencoba menggali persepsi, menguak narasi sebuah struktur, memasuki ruang-ruang imaginasi, menelusuri berbagai ragam informasi sejarah, teks, tutur dalam merangkum kepingan-kepingan menjadi sebait cerita guna tolak ukur sudut pandang yang mendekati apa yang ingin ditawarkan oleh relief.
Kejadian ini mungkin seperti kisah pewarisan keris, atau kitab, atau joglo, atau sepeda onta yang pewarisannya berdasar intelektual juga tutur. Namun ketika "pegat" ada jarak, pewarisan nilai - nilai yang diwariskan kembali menemui jalan buntu.
Lalu sekumpulan anak-anak muda ini mencoba menggalinya, minimal mencicipi pengalaman nyata bukan hanya dari teks dan buku, menggenggam batunya, merasakan semilir anginnya juga mewarnai kertas kosong dengan catatan dan kebaruan data.
Kematian kemudian menjadi berarti ketika ada seseorang, keluarga atau ribuan orang menggenang sebuah kematian. Memperingatinya sebagai tolak ukur peradaban, membisikinya dengan kata-kata mutiara, atau berkelakar tentang baik-buruk. Peradaban akhirnya lahir dari kematian. Sejarah mengenangnya, mempelajarinya, tumbuh bersama-sama dengan kekuatan, menemukan kedirian juga pendaran sinyal untuk menjaga keseimbangan pemikiran.
Angin dan Api, relief itu yang terus tergores di beberapa tempat di Pegunungan Jawa selatan, entah apakah Dahana, Kerajaan Daha berasal dari muara kata Api itu sendiri. Mari terus berjejak Sragen, 8 Oktober 2019 #agustaisme