image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Sunday, September 8, 2019

Kita Tak Pernah Baik-baik saja

Earphoneku terus meraung-raungkan "secukupnya", dan terus menerus mempertanyakan "kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang?
tak perlu memikirkan tentang apa yang akan datang"

Sebagai manusia biasa yang lahir bukan dari keluarga yang cukup kuat untuk menjaga keseimbangan dalam terminologi apa yang sering diucapkan tetangga sebagai "normal" atau mapan. Raungan fender-telecaster menambah kejemuan-kejemuan ini serasa menjadi ledakan amarah, emosi, kegelisahan dan juga berbagai macam carut-marut pikiran yang melebur jadi jalinan kehidupan yang sangat up-normal.




KITA TAK PERNAH BAIK-BAIK SAJA
Beragam cara ditempuh supaya tegar menghadapi gondangan hidup. Menyepi, pergi berlari ke gunung-gunung, berjalan sunyi dibalik dedaunan, atau malah menghanyutkan diri dalam riuh konser ber-sound berat supaya gelegarnya bisa lebih besar menutupi banyaknya keruwetan hidup. Banyak orang lain berlari dibilik-bilik sempit perselingkuhan, menghancurkan sendiri keluarganya yang sudah rapuh. Sebagian lari pula pada kegiatan yang bisa melacurkan emosinya, menjadi garda depan parade populisme agama, siap menjadi senjata bagi arus dogmatis untuk melawan siapapun yang tak sepaham dengan dirinya. 

Banyak orang lain menyibukkan diri dengan pekerjaan, dengan doa, dengan mengikuti banyak komunitas ini itu, dengan menghasut semua orang agar menyeret semua orang pada kesedihannya. Akhirnya banyak kawan-kawan saya kehilangan dirinya dengan mengerjakan banyak hal demi memuaskan kepenatan hidupnya, namun beban hidup terus menumpuk.  Mulut anak-anak harus disuapi, mereka yang menemani orang tua harus membersihkan sisa berak, mengepel bekas air seni yang meluber disamping ranjang, atau membiarkan rumahnya hangus terbakar karena kompor atau tungku yang lupa padam dan kemarau menyambutnya dengan senang hati.

Sebagian lain memasuki bilik kesendiriannya, membaca buku-buku usang demi menambah khazanah pemikirannya yang mungkin pernah terpuaskan. Mengikuti kemana angin pergi menambah tutur kata dalam pertemuan-perjumpaan demi sebuah hasil besar bagi kemanfaat orang lain. Atau total mengurung diri dikamar bertapa dalam hening amati-karya, amati-geni yang terus dibilang aneh bagi manusia modern yang selalu ingin pencapaian monumental. Meski pertapaan akan dibayar mahal seolah sudah menjadi  keabsahan dan resiko seorang pemikir, ditengah jalan akan menggelandang kesepian meski kehidupan berjalan (diupayakan) normal disekelilingnya. menangkap sgala sesuatu yang tak ditangkap manusia lain, hingga menemukan kejemuan-kejemuan sampai beberapa pola-pola yang akan dihadirnya dibagikan kepada orang lain demi 

Beberapa kawanku juga turun ke jalan membakar ban, berorasi meneriakkan tuntutan-tuntutan atas perasaan tidak adil yang menimpa sebagian besar orang. Menjadi tonggak ukur ledakan perubahan, membombardir pemikiran konservatif atau liberal lewat perlawanan kata-kata supaya manusia makin siap untuk menerima banyak hal. Di akhir perlawanannya ketika negara terus menaikkan pajak dan mengunci kebebasan pemikirannya, akhirnya orasi berhenti pada melacur pada kekuasaan yang dia ludahi sendiri. Demi susu dan biskuit untuk buah hati, atau membayari biaya persalinan dan pemakaman orang-orang tua yang pernah membesarkannya.

Yang paling banyak tentu mereka yang lari dari masalah dan terjebak pada masalalu. Terus menerus bercerita tentang kejayaan dimasa lalu banyak yang terlambat ketika hal itu membekas sampai tua kerap masa lalu bukan dijadikan pondasi tapi malah jadi standar pencapaian untuk manusia yang hidup di jaman yang berbeda. Ratusan kali pertemuan hanya berputar-putar dengan kecacatan pola fikir yang seolah benar namun seringkali jauh dari bahasan - bahasan. Kita kelelahan menghadapi banyak takdir, kecapean mengarungi kebuntuan-kebuntuan. Lalu semua gerak-gerik hanya untuk kepentingan dan kenyamanan diri sendiri. Atau malah lari dari masalah, menempatkan diri pada lingkungan baru, wilayah baru, atau struktur sosial baru dari sebuah masyarakat seolah-olah akan menjawab masalah namun banyak yang justru menemukan kompleksitas masalah baru. Minggat bukan solusi.


Selalu ada yang ingin diunggulkan - dimenangkan manusia secara pribadi, namun tak pernah ada yang menang, mereka bertahan sebentar kemudian hancur begitu saja. Seperti kekekalan hukum bahwa didunia memang tidak ada yang kekal. Perubahan-perubahan memang selalu membawa dampak, sikap-sikap membawa dampak, kita mengenalinya. Mendobraknya untuk memperingatkan mereka yang keras kepala. Kita mencatatnya untuk menangkap apa yang tersusun rapi dari yang acak, apa yang harus disimpan sebagai peringatan, apa yang kemudian dibagikan untuk kebahagiaan liyan.

Dan manusia mendapat balasan-balasan dari semua sikap yang mereka perbuat. Mereka mendekat-menjauhkan diri dari sebenarnya yang diinginkan diri-mereka. Seperti gaung resonansi atau gema pendukung parpol yang begitu hebat menggiring manusia pada pembelaan akan kebenaran subjektif yang ingin mereka yakini.

Tak banyak kawan-kawanku yang berani mengekspresikan kesedihan, mengungkapkan kedukaan dan meminjam bahu kawan untuk dipeluk atau mengobrol semalam suntuk hanya untuk berkeluh kesah. Kita selalu merasa masih kuat untuk menghadapi hidup, sampai kita benar-benar kehilangan segala sesuatunya, seperti seonggok pelepah pisang, mati dan membusuk-pun terkadang orang sepertiku masih berfikir kebusukan ini bisa memberikan warna bagi tumbuh-tumbuan baru.

Mimpi-mimpi yang mahal akhirnya adalah duduk tenang disuatu tempat, tanpa memikirkan sesuatu masalah yang sangat pelik, mungkin  menikmatinya dengan sedikit kopi, alkohol, atau malah menikmati pelukan-pelukan yang tanpa pretensi untuk memiliki, cinta-cinta yang meluncur begitu saja tanpa mengharap balasan atau membalas. Dan membiarkan semua berdiri pada pijakan kewajaran, kesesuaian dalam bingkai luas keseimbangan. Terus membiarkan diri berlatih untuk tetap tegar, sekaligus tak terlalu menyombongkan diri untuk terlalu siap menghadapi hantaman hidup.

Percayalah, manusia tidak bisa berdiri sendiri sekalipun segalanya ingin kau selesaikan sendiri, supaya tak menambah beban bagi manusia lain. Namun sesekali hiburlah dirimu sendiri dengan caramu, dengan cara yang tak merugikan orang lain, yang menyenangkan dan menenangkan, meski dunia selalu menjauhkan diri dari keadilan. Keadilan apapun dari visi manapun.

Kesia-siaan belaka, menurut Sulaiman. Namun dandanan manusia lebih bagus dari bunga Bakung. Engkaukah itu? yang besok mungkin terbunuh, mati kelaparan, mati tercekik hutang, terkena sampar atau malah terkubur hidup dalam perjuangan atau geliat pekerjaan. Selamat menikmati kewajaran,.

Kita semua (pernah) gagal,
Angkat minumanmu, mari bersedih bersama-sama.
Secukupnya...


Sragen, 9-9-19
Indra Agusta