image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Thursday, June 6, 2019

Lebaran Sunyi


LEBARAN SUNYI
(Catatan -1 Lebaran 1440 H )

Geliat arus transportasi membawa kaki demi kaki pada pijakan, titik demi titik batas kota. Melewati setiap kepulan asap, juga penjaja kaki lima yang bermunculan dikemacetan jalan yang katanya anti macet. Tumpah ruah manusia memadati jutaan rumah-rumah dipelosok kampung. Jalma sengaja berkeliling kadipaten memasuki lorong-lorong desa yang biasanya sunyi menangkap setiap kedipan mata asing, yang waktu ini terbiasa oleh wajah-wajah asing, atau wajah-wajah usang yang dulu sempat terbawa arus masa kecil kini kembali lagi memanggul masa depan sekaligus memendam masa silam.

Tatapan-tatapan hangat tergores jelas dimata si penunggu rumah, semua orang yang tinggal dikampung yang tak kalah hebatnya dalam berjuang menunaikan hidup. Dapur rumahku yang biasanya sepi kini dipaksa untuk riuh akan banyak sajian, sebagai perayaan kebudayaan setahun sekali memang rumah yang sederhana-pun akan sebisa mungkin mensajikan suguhan terbaik supaya tamu, handai-taulan, anak dan cucu saudara bisa merasakan hangatnya tangan-tangan yang meracik bumbu. Belum lagi kudapan dan piring yang mengalir dari rumah saudara-saudaraku yang turut meramaikan dipan (mirip lemari untuk menyimpan lauk), karena keluargaku termasuk yang berkeyakinan beda secara administratif maka aliran tumpah ruah makanan lezat itu menggunung juga dirumah. Benar-benar pesta besar.

“Arus Pulang” ini seperti tumpukan rindu, kebahagiaan tentu juga sekaligus kesedihan. Bagaimana pesta besar ini adalah pesta yang momen utamanya adalah bertatap secara fisik, jasad. Bersalaman, cium pipi, bahkan berpelukan terkadang dibumbui tangis haru karena ada yang ‘sudah mendahului’. Makam-makam yang dihari-hari biasanya ketika aku mengunjungi ibuku sangat sunyi kini juga tak kalah riuh oleh mereka yang datang. Mungkin secara jasad tidak bisa menyentuh mereka yang sudah ‘muksha’ namun secara simbolis dan esensi datang kemakam itu peristiwa yang terus bikin deg-degan. Sebagai lelaki yang sok kuat kadang juga tak pernah lelah berhenti menangis dikala berat menghadapi hidup. Bertemu tentu tidak, melegakan hati iya. 

Setidaknya itu yang saya selalu rasakan ketika penat menumpuk dan menumpahkan segalanya di makam ibu saya, sembari membayangkan seolah-olah beliau masih duduk-duduk mendengarkan saya.

Lalu Jalma terus melewati berbagai macam pematang beton khas rezim ini, menyusup ke gerumbul perumahan, membasuh muka dengan debu dan panas terik plus memasuki masa mbedhiding kalau orang jawa bilang (transisi dari hujan ke kemarau, dimana perubahan suhu terasa drastis siang-malam) dari balik lalu lalang. Di pinggiran kadipaten anak-anak berlarian disela-sela pohon jambu mete yang mulai bersemi kuncup bunganya, namun entah akan berbuah atau tidak tergantung kepada angin. Geliat permusuhan diredam bersama angin segar awal bulan.

Lebaran ini selain menawarkan kerinduan juga menawarkan sepi dan sunyinya. Betapa hingar-bingar tak mampu menutupi bahwa yang sedang dilakukan hanya perayaan, mungkin sedikit yang bertapa menelisik makna dibalik titik balik bernama leburan. Bagaimana proporsi ketiadaan terus menerus direnungi sebagai sebuah jangkah jaman, dan maaf-maaf itu tak berhenti membuncah diudara.

Berkah-berkah atas semua mahkluk, 
atas hirup udara, 
atas kesehatan, 
atas persaudaraan 
atas segala cinta yang menjaga pada keseimbangan, 
pada kesejahteraan
juga penjagaan pada ketulusan-ketulusan,
pada tangis dan kepergian,
pada hentakan petasan dan airmata.

Selamat menikmati romantisme lebaran, dalam angan, kenangan juga kenyataan
Selamat melebur, meluberkan, melabur, dan melebar-kan.

Tuhan berkuasa atas segala mahkluk!
cinta dan pembalasannya akan sangat serius.,

1 Syawal 1440 H
Indra Agusta