image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Wednesday, December 5, 2018

Gerbong Kereta Makna


Ritme musik nampak bersemangat menggeliat telinga untuk membisikkan sesuatu, berkelana merengkuh sesuatu, meragukan hal-hal baru yang kadang tak kalah semunya. Jalma sedang muak melampiaskan rindu serta amarahnya pada langit, guratan-guratan baru soal waktu kadang berjumpalitan seenaknya dibilik bawah sadar. Gemerisik rerimbunan daun bambu membawa sayup-sayup nada pelog dan slendro dari kejauhan. Anak-anak berlarian memeluk sepi.
Pusaran angin nampak menggoncang anak-anakku, geliat pertarungan ambisi hidup, kesehatan sosial, kemurnian akal berfikir, serta gempa-gempa doktrinasi, menggiring mereka pada rasa bodoh, kalut serta beragam bujuk rayu pada glamor dan ketimpangan hidup yang terus mengurai keluh dan iri atas kepemilikan harga.
Manusia terus kehilangan dirinya, terus melacur pada kepalsuan jalma menangisinya dari kejauhan. Bagaimana tiap tatap dan pertemuan akhirnya hanya berisi formalitas, basa basi yang akhirnya seperti nasi berjamur setahun. Degradasi makna atas kata terus berlanjut, membuncah kemudian meledakkan isi kepala setelah ruang-ruangnya hanya menari dan menyeret jalma pada arus masalah tanpa tepi. Namun bukankah demikian hidup, seolah membersamai samudera adalah kekekalan siti yang terus diinjak dan memeluk mayat-mayat manusia. Manusia sampai kapan dan akan paripurna?
Manusia kemudian menaiki kapal-kapal yang tambal sulam kayunya, bobrok lunasnya, dan bocor lambungnya seolah lengkaplah sudah ketidaksempurnaannya. Lalu raksasa-raksasa membuat sendiri gerbongnya, rel aliran dan ideologinya, menciptakan sendiri kawasan real estatenya. Kereta yang lewat memaksa pemulung sekali lagi menjilat bekas eskrim di tempat sampah sisa dia berdiri, kekayaan material yang jadi Tuhan baru ternyata sama sekali barang yang tak bisa teraih. Optimisme akan merengkuh bulan kalah dengan ditutupnya tirai kereta tempat sang nata muak dan jijik melihat kumal yang duduk disamping tempat sampah. Laju membawa kepada impian keabadian, sementara kaum papa hanya duduk menunggu kematian jasad yang menyempurnakan.
Kita lalu berbondong-bondong mencari keabadian, menghilangkan sendiri esensi, otentisitas dan potensial energi dari manusia yang terpendam jauh yang selama ini hanya kalah oleh jargon pendidikan. Kesataraan kesempatan dikubur lewat lorong-lorong label, profesionalisme, serta arogansi ketidakpercayaan sekaligus langkah preventif mereka yang mempertahankan status quo disela ekstraksi yang terus mereka lakukan. Distraksi kaum useless ditengah Ekstraksi Manusia super.
Beragam kecerobohan akhirnya menimbulkan penyakit sesak nafas psikis, akal selalu kalah dengan surga neraka, doktrin kemudian menjadi bagian tak terelakkan atas pembodohan yang berjalan. Renaissance dan abad industri membawa angin kelam bagi mereka yang duduk mengusahakan idealnya sebuah tatanan. Jalmapun menangkapnya menjadi bagian-bagian penting dari doktrinasi, yang akan menimbulkan kemarahan hebat bagi manusia yang telah memujanya sebagai satu-satunya kebenaran. Gerbong terus membawa manusia pada laju zaman.
Jalma terus menyusuri peredaran malam, menemui manusia-manusia dengan ragam. Di edar tertentu kematian-kematian segera datang, menyusul kita yang benar-benar lupa pada hakikat manusia sebagai manusia, sebagai ciptaan yang terus selaras pada bumi. Ada ikan-ikan besar mati karena budaya instan yang mengglobal, plastik yang rejeki buat kawan saya pemulung di pasar bunder atau uang beli rokok buat teman saya yang mengumpulkan rosokan, akhirnya secara paradoks adalah pembunuh hewan-hewan yang lahir sebelum jalma. Mengerikan dan harus bersyukur.
Di pojokan senja, gemerincing amarah tak lagi meluap sebagai sebuah aksi, dalam diam perlahan merambat menjadi doa-doa dalam rakaat panjang mereka yang terus menangis di jubah panjang, diujung kaki nabiNya. Ledakan diujung jaman memang tidak bisa dielak, meski lumut di emperan rumah jalma yang sudah retak kini menunjukkan pribadinya sesuatu yang hidup di musim hujan menjelang. Memang menjadi ideal adanya sebuah harapan ditengah kemuraman. Alam yang kau rusak akan memakanmu, dan udara yang terjal menusuk hidup kaum lemah akan membusukkan seisi gerbong keretamu.
Kerajaan Ayodya yang menjadi tujuan gerbong kini sedang musim kontestasi, namun membiarkannya sebagai parameter ideal adalah kebisuan atas sikap, dan kebodohan sekaligus bebal. Lihat diantara kaca-kaca jendela kita saling ejek satu sama lain diantara kereta-kereta kebenaran kita. Anak kecil masih lugu pun diajak masuk gerbong, sambil menempelkan lidahnya dikaca gerbong, berharap itu akan dimaknai sebagai ejekan dimensi lain. Sedang suara parau menghabiskan waktu, tangan anak kecil ditempelkan di tirai lalu disebelah tirai gerbong lain ada senyum. Dan kita sudah lupakah menjadi anak kecil tanpa pretensi dan kepentingan?
Paradigma-paradigma baru mengalir ditengah batu bata merah yang hampir rapat berselimut sulur. Sejenak kemudian langit merona, pada kulminasinya jalma akhirnya mempertanyakan hakikat manusia yang terus bergejolak sekaligus nriman seperti dicocok hidup oleh kereta cepat bawah tanah. Alam bawah sadarnya hadir untuk terus melakukan penghormatan pada ide, tanpa sadari gerakan senam di alun-alun menggerakkan fisiknya mengikuti arus besar, tidak berartikah kita dimasa mendatang? Atau seberapa kita menang melawan arus besar yang dimana ribuan orang berlarian ke utara, kita mencoba untuk diam sambil menguku seberapa kuat untuk melawan lurus, atau bergeser-geser menyadari bahwa tabrakan bisa dikurasi gesekannya dan melawan tanpa merendahkan, kemudian sampai diujung arah lain dan kita kesepian sebagai sesuatu.
Aksi-aksi nyata ditunggu dan kerumunan asik tertidur dibawah kata-kata, tanpa benar-benar mau serius memproduksi makna, menyambut hakikatnya dan mengurai ribuan pola-pola yang tercipta. Atau setidaknya jika anda bukan seorang filsuf hendaklah otentisitas mencampakkan anda pada pada harga diri seorang manusia.
Lihat itu lelaki tua diujung senja, sudah menahan-nahan untuk sampurna namun jaman tak melihatnya sekaligus beberapa akar menambatnya pada angka. Akankah kau ikut serta menahannya, bukankah proses hidup yang sama akan mengantarkanmu pada kesediaanya, pada berbaktimu untuk hidup, pada pengabdianmu akan tujuan, dan prosa-prosa tak lagi menjadi sesuatu yang bahagia.
Aku kemudian memeluk buliran air hujan, seraya mencoba membiarkan asa harus dipenuhi dan tetap tak kehilangan diri sendiri. Realitas harus dijawab sekaligus siapa yang akan menerimaku? Apakah engkau? Atau comberan hitam yang membawa teratai mekar, sekaligus bertahan sebagai ikan dilimbah yang kau racuni?
Modernitas menghilangkan entitas sebagai sosial, norma yang berisi kemajuan akhirnya menghilangkan kepercayaan sekaligus terus menambah kecurigaan, jalma kemudian melihat lalu-lalang manusia tanpa senyum dan kekalnya persaudaraan bernama cinta. Sementara tetangga hanya membual soal kemewahan dan meracuni apa saja dan siapa saja yang harus dihardik yang tak lain kembali kepada kekosongan dan kekalutan hidup di penyaluran yang salah.
Gerbong-gerbong berhenti sejenak, murid romo Mangun itu seraya dalam dialektika personal berkata. Lihatlah apa yang hilang dari stasiun?
Lambaian tangan di kereta.





Stasiun Purwosari, 27 November 2018
Indra Agusta