Fajar menjelang dan kita sebentar lagi akan kehilangan gelapnya, penatnya.
Di bilik-bilik kosong yang dipaksa untuk ditinggalkan penunggunya menyimpan
banyak sekali duka. Manusia adalah sebagai sebuah kewajaran meninggalkan
dirinya pada eksistensi keduniawiannya namun ternyata terikat oleh jerat-jerat
nafsu kegeraman dan angkara murka.
Kemanusiaan sekarang berwarna-warni menjadi bendera, sebuah proses
aktualisasi individu yang bersanding dengan kepentingan-kepentingan kekuasaan.
Anak-anak itu yang menjadikan buih samudera sebagai tumpuan dan keikhlasan
sebagai mata untuk melihat semesta, meraung hatinya melihat cucuran air mata,
membuncah dirinya pada serambi sukma yang pudar karena kelam.
Kemanusiaan lalu menjadi muram ketika mereka yang didaulat sebagai penentu
sebuah rahmat, penjanji sebuah keadilan berteriak-teriak lantang membela
benarnya sendiri, dalam hal yang sama kediriannya mengunci untuk tidak pernah
ada yang berposisi legowo atau saling mengalah.
Pertarungan apa yang akan menjelang, ketika perasaan beku oleh dogma, hati
dibunuh tafsir ayat-ayat Tuhan, tidak mau lagi mereka bersentuhan dengan
kejernihan, apa yang mereka lakukan bukan lagi menjadi perenungan batin
mendalam. Melainkan anak-anak itu susah hatinya, terhimpit batin dan keadaannya,
keruwetan, kegamangan memuncak dalam berbagai aktualitas keadaan. Beraneka
peristiwa memusingkan nalar fikirnya, lalu kemana lagi jika bukan
ledakan-ledakan amarah, letupan untuk menyalahkan satu dengan yang lain, kapan
lagi kalau bukan sekarang, apalagi didukung oleh agama dan terjemahan atas
ayat-ayat Tuhan.
Diam-diam aku mendoakan anak-anak itu berjalan bukan karena tekanan tapi
kelegaan hati dan ketekunan juga kebebasan-kebebasan menuju jalan-jalan yang
nikmat, mensyukuri semua akses dan ucapan syukur atas daun yang memuja dan
memuji Tuhan.
Kleco Wetan, 26 Oktober 2018