image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Wednesday, August 17, 2016

Merdeka, sudahkah?

Merdeka!

Apa yang kau pikir setelah terlintas kata itu, kata dimana saat ini setiap tahunnya orang memekik-mekikkannya, entah memang benar untuk mengenang jasa para pahlawan, atau sekedar menjadi nasionalisme latah, karena sosial media menggembar-gemborkan perayaan tersebut.

Diseluruh pelosok negeri terjadi berbagai macam perayaannya, ah sudah mulai tua bangsaku, sudah 71 tahun kita merdeka.

Geliat bangsa memang banyak yang berubah,atau minimal sejak 98 ketika memoriku mulai merekam banyak kejadian bakar-bakaran di toko-toko Tionghoa, Suksesi kepemimpinan, pergeseran teknologi, Pergeseran tatanan masyarakat menuju masyarakat global yang tak bersekat, atau ekonomi kita yang dari minus menjadi tambah minus karena hutang China.

Negara ini memang merdeka secara konstitusional, tapi rakyatnya benarkah sudah merdeka?

Mungkin iya bagi sebagian orang, namun tidak bagi mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan, mereka masih menjadi budak di negerinya sendiri.

seperti kata seorang guru yang mengingatkanku akan pembukaan UUD 1945 "....Mengantarkan rakyat Indonesia ke Pintu gerbang Kemerdekaan Indonesia yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur."

Sudahkah Merdeka? 
Silahkan kalian cari sendiri berapa total jumlah SDA kita yang dikelola asing, atau perusahaan2 asing yang diam dan asik menggerogoti uang kita, sementara rakyat hanya jadi pekerja lebih parah lagi hanya dijadikan budak konsumerisme oleh para pemilik modal.
Perayaan Kemerdekaan tahun ini saja menjadi ajang perayaan penumpukan kapital oleh banyak penguasa modal, yang notabene mereka orang asing juga. Dimana-mana diskon bertebaran, iklan bertebaran. Bedaknya Nasionalisme, Nafasnya penumpukan kekayaan.
Sudahkan Bersatu?
Konflik terjadi dimana-mana, bahkan kemarin TNI sempat bentrok dengan warga, atau kita diributkan soal konflik atas nama agama, sama-sama membawa kebenaran atas nama Tuhan,mengkafirkan agama satu dengan yang lain, bahkan golongan satu dengan yang lain padahal masih satu keyakinan, Konflik antar suku, antar fakultas, antar organisasi, supporter sepakbola dan semua potensi konflik lainnya. Memang rasanya jauh kalau untuk mengakui bahwa kita sudah bersatu, terlepas ini karena ego dari manusia itu sendiri, atau ada beberapa orang yang memang menginginkan terjadi konflik, merekayasa massa, menggerakkan rakyat, menggerakkan militer untuk terciptanya suatu konflik.

Ujungnya memang selalu jelas, kekacauan sampai perang akan menimbulkan keresahan didalam masyarakat, negara tidak stabil, dan siap-siap akan banyak yang mengambil keuntungan dari sebuah perpecahan.

 
Sudahkah Berdaulat?
Berdaulat secara pemerintah mungkin iya, tapi apakah ekonomi kita sudah berdaulat,kalau dikalangan rakyat mungkin sudah mereka menentukan kehidupan mereka sendiri entah bagaimanapun caranya.

Tapi jika melihat banyaknya perusahaan asing yang ada dinegeri ini, selalu ada yang mengganjal,apakah kita tidak bisa membuat pabrik sendiri, mengelola semuanya sendiri. Juli kemarin ada 10 Mou lagi dari perusahaan asing yang akan berinvestasi di Indonesia, memang ada baiknya karena akan menyerap banyak tenaga kerja, dan menghasilkan pendapatan negara dari sektor pajak maupun ekspor. saya masih ingin bagaimana jika kelak kita bisa mandiri dalam mendirikan perusahaan, bukankah lebih baik seperti itu?

Menjadi bangsa yang 100% merdeka.


Adil dan Makmur.
Ini yang menjadi problematika kita hari ini, masyarakat pada umumnya entah karena mungkin sederet perjalanan panjang ekonomi kita setelah tahun 65 berubah haluan menjadi kapitalisme, maka yang menjadi terpenting bagi kita seolah-olah adalah penumpukan kekayaan, penumpukan uang dan kita bisa melakukan apapun asalkan banyak uang.

Kemakmuran sepihak, bukan adil dan makmur. Untuk mengubah pola pikir ini mungkin sulit, karena memang masyarakat sudah menuhankan uang, yang menjadi tujuan mereka adalah kekayaan untuk dirinya sendiri, tidak banyak juga yang mau memberi kalo pun memberi paling hanya CSR yang ujung-ujungnya juga untuk kepentingan pemilik modal/perusahaan tersebut. Tidak banyak yang berani berpuasa, supaya keadilan bisa tercapai. Masyarakat maunya Makmur, tapi adilnya dilupakan.

kalau terus seperti ini saya rasa sila kelima Pancasila tidak akan terwujud, terlalu banyak yang individualis dan egois, yang dibicarakan selalu pencapaian bukan pemberian. Ironi bukan. Sebenarnya kita sendiripun mulai menjajah orang lain untuk kepentingan kita, bukan untuk kepentingan bersama, dan akhirnya semakin ruwet dibumbui berbagai faktor ekonomi.

Malam semakin meninggi, pagi menjelang, purnama belum sepenuhnya terang. Perenungan semakin dalam menuju titik-titik yang tidak bisa aku ceritakan disini..

Kemerdekaan menuju kebebasan yang akan menemukan rakyatnya pada batasan-batasan, dan perlu mengisi suarnya untuk melewati batasan-batasan tersebut bahkan dengan menikmati batas. Batas tak berbatas.

Selamat Ulang tahun INDONESIA ke 71 tahun.
Semoga menjadi bangsa yang berdaulat sesuai apa yang menjadi cita-cita bukan tergiring oleh rekayasa jaman.


Kleco Wetan, 17 Agustus 2016
Indra Agusta.
 


 



Tuesday, August 9, 2016

Teknologi koneksitas atau popularitas ?

Oleh :  Indra Agusta

Menjadi generasi yang lahir di awal 90-an memang merupakan sebuah cerita tersendiri.  Merasakan transisi dari peradaban komunikasi manual yang bergeser hebat menuju peradaban komunikasi gelombang.

Pelan namun pasti terus berkembang, berimbas baik dan juga kurang baik, kalau saya tidak boleh bilang itu buruk. Nampaknya memang selalu seperti itu dunia ini diciptakan lewat sebuah pola dasar yaitu keseimbangan, Paradoks seperti yang pernah saya tulis sebelumnya. Teknologi apapun akhirnya tergantung kepada pemakainya, menggunakan untuk hal yang bermanfaat bagi orang banyak sesuatu dengan tujuan awal teknologi tersebut diciptakan, atau sebaliknya.

Mengingat, dan mengamati selama 20an tahun seingat saya apapun rupanya semua teknologi tersebut selalu berpola.

KETAKJUBAN, SIAPA YANG PERTAMA MEMILIKI?
Beberapa bagian dari peradaban gelombang ini sudah diawali pada dekade yang lampau ketika radio dan TV mulai menjadi tontonan ramai di alun-alun, atau halaman Rumah Pak Lurah, Begitu cerita simbah saya karena waktu itu di seluruh kelurahan yang punya TV hitam-putih tahun 70-an baru keluarga saya, di pelataran rumah duduk banyak orang hanya untuk melihat pak Harto berpidato tentang kemajuan Pangan kita. Setelah itu banyak orang yang mampu membeli TV, golongan-golongan priyayi baru kemudian rakyat biasa. TV hitam putih kemudian ditinggalkan dengan maraknya Layar Tancep di lapangan desa. Jaman terus berubah. Hal ini akan nampak pada semua teknologi selanjutnya.

Benda Asing?
Takjub?
Pemilik Pertamanya siapa?
Menjadi biasa ketika berlanjut dengan beberapa orang mulai memilikinya.

MENARIK, DAN MENIMBULKAN KEINGINTAHUAN, 
PENGETAHUAN BAIK MAUPUN BURUK

Setelah era TV berwarna, pada masa saya kecil mulai terusik dengan kehadiran VCD Player, dengan benda kotak plus sekeping bundar plastik seperti itu mampu memutar beberapa video campursari, atau slowrock klangenan bapak-bapak di Desa saya. 

Waktu itu baru satu orang yang punya di desa, karena momentnya tepat pada perayaan HUT RI. Jadilah VCD Player itu kemudian dijadikan tontonan dan ajang lomba-lomba karaoke lewat VCD Player tersebut, mulai dari Orangtua pengagum slowrock atau koesplus, Anak-anak sampai anak-anak muda yang mulai melihat kecantikan mbak Nurhana, atau Alm. Manthous. 

Lalu terus berkembang menjadi sarana ilmu pengetahuan hadiah susu bubuk merek X, menonton wayangan semalam suntuk bahkan ketika harganya mulai murah, muncul pula video-video porno dari negeri seberang, pembajakan dimulai. Rental-rental VCD memenuhi pasar, juga rental-rental video porno tersebut yang terkadang menjajakan "VCD terlarang" t tersebut dikalangan pelajar.


SEMAKIN CEPAT, DAN INOVATIF
Setelah Orde Baru selesai lalu mulailah perlombaan kecepatan, Saluran Televisi berlomba-lomba menjangkau pelosok daerah, memikat dengan berbagai tayangannya. Tayangan demi tayangan menyihir manusia untuk tidka beranjak dari layar TV. Lalu di beberapa tahun kemudian kita akan menangkap pola yang sama beberapa orang tidak bisa beranjak dari layar Smartphone.

Kecepatan juga menjadi salah satu faktor penentu perubahan koneksitas, ada proses perubahan dari surat ke telegram, telefon, telepon genggam, sampai era internet dimana semua proses komunikasi terkontrol rapi lewat internet. Semua berjalan sangat cepat di 20 tahun terakhir.

Uniknya lagi semua yang bersifat inovatif, kenapa inovatif , ya karena memang tidak ada yang baru dari semua yang kita lihat sebagai sebuah perubahan, namun bukan perubahan semua hanyalah inovasi atau dalam bahasa yang lebih mudah dimengerti adalah "pembaharuan".

Rentetan sejarah radio dari radio umum sampai streaming via gelombang yang dapat didengarkan di setiap gadget, TV, juga perubahan surat kertas menjadi sosmed. Sangat Cepat, InovatifNamun disisi lain menyeret manusia untuk merasa berkebutuhan pada inovasi-inovasi yang terus diiklankan setiap bulan atau tahunnya..


LAHAN INDUSTRI, BUDAYA KONSUMER DAN KAPITALISME GLOBAL
Perubahan teknologi yang sangat cepat ini sangat berdampak pada masyarakat sekitar. Selalu ada pola atau term  tertentu meski sudah bertahun-tahun berjalan.

Kapitalis, atau penguasa modal tentulah mereka selalu ada orang-orang yang mengontrol peredaran sebuah produk untuk kepentingan mereka dari penelitian, pembuatan, distribusi, iklan sampai menjerat konsumer dalam hutang. Segala cara akan ditempuh mereka supaya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. 

Konsumerisme, adalah yang paling kelihatan dari kalangan atas sampai orang-orang pinggiran mereka seperti digiring untuk terus menjadi konsumen tetap atas perubahan tersebut [entah ini terjadi hanya di negara ini atau di belahan dunia lain seperti itu]. Dulu saya masih ingat simbah membeli sebuah radio merek National, lalu ketika radio murah banyak orang mulai punya radio, begitu juga dengan TV, VCD/DVD player, seperangkat alat game, sampai era ini eranya ponsel pintar ketika semua orang terseret  dan berlomba-lomba untuk membeli perangkat dari berbagai merk dan harga sesuai kantong finansial mereka, bahkan ada yang rela berhutang demi standar gengsi mereka.

Lalu lambat laun pergeseran teknologi juga bergeser pada paradigma seseorang, bahkan suatu masyarakat. 

INDIVIDUALIS, PEMBODOHAN MANUSIA, PENGKERDILAN KREATIVITAS DAN  MINDCONTROL, MESIN PENJUAL POPULARITAS

Semua perubahan memang akan berdampak, apapun yang terjadi dalam hal ini teknologi akhirnya berdampak juga pada mindset seseorang / masyarakat pada umumnya. Dahulu kita yang masih mencoba mengurai ilmu, bertatap muka dengan seseorang, berbicara berjam-jam hanya untuk mendapatkan  keterangan yang valid, sekarang dengan semakin cepatnya informasi yang membaur diawan-awan, semakin bias pula kebenaran yang diungkapkan. Tidak mudah sekarang untuk langsung percaya pada kabar lewat berita, medsos, atau TV, disisi lain memang menurun pula kecenderungan adik-adik saya dalam mengurai pemahaman seseorang, mereka lebih percaya pada apa yang TV lakukan daripada bertanya pada orang-orang tua. Atau langsung percaya pada tips-tips website daripada mengkaji sendiri kepada orang yang berkompeten, buku, jurnal, kitab suci atau babad-babad yang dituliskan bertahun-tahun oleh para leluhur. 

Semakin gampangnya manusia mencerna semua informasi, terbiasa dengan hal-hal yang ringan dan gampang masuk diakalnya, kehilangan perhitungan-perhitungan matang dalam segala apa yang diperbuatnya, maunya praktis, yang berujung pada kerdilnya kreativitas, dan elaborasi dari sebuah. Terlalu banyak anak-anak yang diam dan tidak melakukan apapun selain apa yang trend, TV, atau film ajarkan.

Mindcontrol, tentu saja teknologi menjadi alat yang bagus untuk mengontrol hegemoni sebuah masyarakat. Katakanlah seperti jaman Orba kita hanya mengenal satu channel televisi yang mengangkat keberhasilan pemerintah, hingga naifnya semua orang terbius oleh kebaikan bapak, tanpa tau ada tindakan represif yang pernah dia lakukan selama menjabat. Piye penak jamanku tho?. Jaman sekarang media semakin ramai, seiring dengan berkembangnya teknolog. Kalau dulu hanya koran, radio dan TV sebagai alat propaganda, kini Media Sosial seperti Facebook atau Twitter makin rajin pula mengkampanyekan isu-isu, yang pasti akan menyeret mereka yang gampang percaya.  Isu apa saja mereka lontarkan, termasuk untuk mencitrakan seseorang sebelum pemilihan umum, dan nampaknya efektif. Dari Presiden sampai Bupati banyak yang menggunakan cara ini, yang klasik mungkin Lurah atau kepala desa, masih belum banyak yang tersentuh apa yang dikatakan "kemajuan jaman" ini.

Akhirnya kembali kepada kita sendiri untuk apa kita menggunakan teknologi sebagai sarana koneksitas untuk mempererat tali silaturahmi, atau hanya untuk pamer eksis kebodohan di sosial media, Mengkampanyekan hal-hal urgent atau kita yang terjebak pada trend-trend yang menyeret kita pada pelacuran intelektual dan budaya konsumerisme, Kapitalisme Global.