image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Sunday, June 17, 2012

Persepsi

beberapa minggu ini hobby membaca saya terhenti sejenak, setelah berbagai aktivitas dan rutinitas datang kiat dan pergi..
berbagai tekanan datang silih berganti dari beberapa sisi...
mencoba menjadi lebih baik untuk kesemuanya saja memang sulit,
yah namanya manusia tidak semua berpikiran sama..


kisah kisah panas di Bukit Menoreh, terus menggema.. kisah pun terhenti di padepokan tambak wedi ,


Wuranta sang anak petani dari Jatianom dipersiapkan kiai gringsing untuk menjadi petugas sandi masuk kesarang Tambak Wedi, jauh hari sebelum penyerangan dimulai..


untuk memberikan informasi, pemikiran, apa saja yang yang diperlukan sebelum menyerang   padepokan tambak wedi, 


penyeranganpun sukses, pembebasan Sekar Mirah pun hampir saja menemui kegagalan..
Wuranta terluka dan kemudian agung sedayu, swandaru dan kiai gringsing mampu mengimbangi kekuatan  tambak wedi, sidanti dan pamannya Argajaya..


Wuranta pun mengalami goncangan yang sangat hebat,
dia hanya duduk termenung dan kemudian pergi merenungi dirinya yang tidak sehebat agung sedayu...


seolah tidak mendapat perhatian khusus dari pihak Pajang, padahal dialah orang pertama yang masuk ke sarang iblis itu..
di sisi prajurit Tambak wedi beberapa saat sebelum penyerangan dia hampir ditarik ketiang gantungan karena tindakannya telah diketahui oleh ki Tambak Wedi,
dan di sisi Prajurit Pajang dan Demang Jati anom pun dia dicaci karena orang jati anom dan pajang menganggap dia berada di pihak musuh...


semakin kelam hidupnya, kehilangan jati dirinya, berjalan gontai tak tau kemana...
namun akhirnya mampu disusul oleh kiai Gringsing  yang menebak perasaan Wuranta..



Thursday, June 7, 2012


“Aku memang bukan prajurit. 
Aku tidak ingin menjadi seorang prajurit. 
Apakah tidak ada lain bidang kebaktian selain menjadi seorang prajurt? Bukankah aku seorang petani?
yang mempunyai bidang tersendiri dalam mengabdikan diriku,
kepada lingkungan hidupku, 
kepada kampung halaman dan kepada Pajang. 
Biarlah mereka yang mampu bertempur sebagai seorang prajurit berbuat 
dan mengabdi sesuai dengan kemampuan mereka. 
Mereka pun pasti tidak akan mampu memberikan pengabdian seperti aku. 
Dan biarlah aku berbangga karena itu.”

-Wuranta seorang anak padesan di Jati anom, yang merasa 'kecil'
ketika melihat pertempuran antara agung sedayu, melawan sidanti dan Kiai gringsing melawan Ki tambak wedi"
abdm,1285, Singgih Hadi Mintardja-

kalo tidak mau punya masalah ya mati saja, 
tetapi lebih baik mencari mati itu sendiri, daripada mati selama masih hidup
supaya dapat menemukan hidup diantara makna kematian...
#mati itu untuk hidup, bukan mati selama masih hidup..
diantara hari - hari kematian, 10 tahun yang lalu...


-agustaisme-

untuk menjadi keren, dihadapan pasangan tidak perlu menunjukkkan kejantanan anda, 
cukup jadi diri sendiri saja sebaik-baiknya dirimu sendiri 


#agustaisme

kedewasaan tidak berjalan lurus dengan umur,
Kesuksesan seseorang tidak terlihat dari lulusan mana kuliahnya,
tapi dari cara dia menghadapi persoalan hidup itu sendiri 


#agustaisme
aku bernyanyi menjadi saksi..
atas jerit pribadi, jerit kawan, tertawa orang lain,
atas semua rintih pengorbanan..
dan disela-sela beberapa orang yang sibuk memperkaya diri sendiri
kalo cuman duduk diatas kursi dan memerintah saya kira semua orang pasti bisa.
bagaimana dengan lapangan yang berbicara..?