Ada yang misterius dalam hidup ketika kita tidak mencapai apa yang kita impikan, lalu kita melakoni hidup dengan banyak keterbatasan dengan segala keluh-kesahnya. Pada saat yang bersamaan ketika kita butuh, tiba-tiba ada orang lain yang membutuhkan, simpangan terjadi. Apakah kita egois dan memilih diri kita sendiri? Atau merelakan dan memberikannya kepada yang lebih membutuhkan?
Ketika sudah begini daya bertahan hidup manusia (survival) akan bilang tidak dan membiarkan orang lain berurusan dengan masalahnya, tetapi batin kita tentu tak berkata demikian.
Bagi mereka yang belum tumpul hatinya, apalagi pernah susah tentu lebih mudah memberi karena kita juga pernah mengalami diberi. Kita menolong karena dalam hidup kita juga pernah ditolong.
Kita akhirnya memberi dari kekurangan kita, bahkan merelakan apa yang kita miliki.
Setiap mengalami persimpangan-persimpangan hidup yang demikian, saya selalu teringat Eyang Putri saya. Ketika suatu Minggu pagi ia pulang dengan mengingat-ingat sebuah cerita perihal persembahan seorang janda miskin. Yesus menganggapnya mulia karena janda ini memberi dari segala kekurangannya.
Tuhan akhirnya tak bicara soal nominal, tetapi proporsi, melihat hati manusia, kesungguhan dan kerelaan kita, dan entah kapan tapi kebaikan kita sebenarnyalah tidak berhenti. Ia akan membalasnya kapan-kapan.
Suatu ketika jaman kerja di warnet rekening saya sudah sangat mepet, hampir nol, tiba-tiba ada anak yang minta ditraktir karena tidak diberi saku oleh orangtua mereka. Saya tahu anak ini memang bukan lahir dari keluarga berpunya, dengan sisa-sisa uang tadi akhirnya uang makan sehari saya bagi dua dengan dia. Sing penting madhang.
Waktu berlalu dan warnet telah tiada. Tiba-tiba anak ini datang kembali kepada saya. Ia ingij mentraktir saya, ia ingat masa-masa sekolah yang sulit itu. Meski saya tahu hidupnya kini juga tak berubah betul, tapi ia sudah mandiri minimal untuk dirinya sendiri. Lalu kami makan jamuan berdua di warung makan cukup mahal di kota ini. Saya melihat matanya berbinar karena bisa membalas kebaikan saya di masa lalu. Bukan soal nominalnya, tapi soal ketulusannya.
Kebaikan itu laten, dan Tuhan sendiri tahu kapan membalaskannya, menggerakkan anak ini untuk menemui saya dan berbagi kisah hidupnya. Pahit getirnya nasib yang sama-sama kami alami.
Dengan menerima dan memberi meski sama-sama kesusahan ini ternyata membuat hidup ini terus berlanjut, dan memunculkan banyak lagi pengharapan.
Kalau kamu miskin, dan dimintai tolong, maka tolonglah, kalau perlu jangan sampai dimintai tolong, gerakkan intuisimu, tajamkan perasaan batinmu. Apalagi jika kamu kini cukup berpunya, saya yakin ada banyak orang di sekitarmu yang kelihatannya baik-baik saja sebenarnyalah ia dalam mode bertahan, atau malah sudah habis-habisan.
Cahaya lilin makin terang justru akan berpendar besar sebentar sebelum ia mati. Maka, mari saling menjaga api.