image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Monday, July 8, 2024

Juru Taman

Jika dilihat beberapa tahun ke belakang saya punya passion yang makin terang. Menemani dan mengajar.

Saya bisa menyebutnya passion karena sudah beberapa kali dianggap gak jelas, sinting dalam nada bercanda karena sampai tak mengenali apa yang sebenarnya saya inginkan, kerjakan dan pandangan jauh seperti apa yang ingin dititipkan lewat sebuah pengajaran,

Kedua hal tadi beresiko besar. Perlu rakus memakan banyak buku, ilmu, dan mencuri dengar dari banyak guru. 

Juga membutuhkan pengorbanan yang gak main-main, menyiksa diri, sakit tapi nikmat. Saya benar-benar menikmati detik2 mengajari kawan, adik-adik yang bebal sampai sedikit demi sedikit waktu akan membukakan cakrawala kesadaran sehingga pengetahuan yang sampai akan lebih banyak.

Soal menemani orang sejak SMP, Pualam, warnet hingga kini hidup saya selalu berkutat jadi lalu-lalang banyak orang.

Kadang mengecewakan, kerap dilupakan oleh mereka yang dulu merengek minta ditemani, dinasehati. Kadang bikin sebal, sakit hati tapi ternyata saya tidak kapok mengulanginya bertahun-tahun.

Beberapa orang dekat sempat memperingatkan saya untuk tidak selalu baik sama orang, karena kerap memanfaatkan titik lemah saya itu. Dan, kadang, meski tahu saya dimanfaatkan kerapkali saya mendiamkan sampai benar-benar malas dan pergi.

Tahun berganti, hari ini di 34 tahun, saya makin sadar perlombaan hidup ini paling oke memang perlombaan untuk saling bermanfaat. Persis seperti dogma-dogma agama itu. 

Kepandaian, kompetensi dan kepintaran tak selalu menjadikan seseorang bermanfaat. Bermanfaat itu mental!. 

Kalau gak dilatih mau sepintar apapun, sekaya apapun juga tak bakal mau memberi.

Kini hari-hari makin terang saya melihat keculasan, kejahatan, kekejian dan macam kejijikan dilakukan justru oleh orang-orang berilmu (meski yang gak berilmu juga demikian, tetapi selalu muncul permakluman karena mereka memang bodoh).

Tapi jika mental bermanfaatnya sudah terbangun, saya makin yakin manusia sangat butuh ilmu, pintar, kompeten, ekspert dalam bidang tertentu. Karena kompetensi yang dimiliki akan memberi pengaruh signifikan pada kemanfaatannya sebagai manusia.

Dalam ekonomi misalnya, semakin miskin makin terbatas pula pengaruh manfaat seseorang. Sebaliknya, jika kaya belum tentu juga manfaat, bisa juga jadi culas. Tapi jika si kaya ini memilih untuk bermanfaaf maka ia akan memberi dampak besar bagi sekelilingnya.

Sayangnya yang makin banyak tumbuh adalah yang culas tadi. Yang kalau butuh mendekat, kalau sudah tak butuh ditinggal. Habis manis sepah dibuang. 

Orang-orang atas nama progresi kesuksesan menambah-nambahi ekspertasi dan ilmu tapi tak menambah angka kebermanfaatannya, bahkan egois, kalau bisa dirinya sendiri yang harus menang, harus kaya, harus moncer. 

Sudah menginjak tahun ke-34 dan tiap hari terus orang datang. Makin banyak. Makin heterogen.

Saya sih hanya berharap punya waktu lebih banyak, tubuh yang terus sehat, isi dompet yang lebih besar, serta pikiran dan kemampuan menyederhanakan barang rumit makin cepat supaya bisa memberi lebih banyak lagi.

Saya juga bukan orang alim, jauh rasanya jika mau ikut kompetisi lomba jadi si paling manfaat. Setidaknya terus mencoba dengan berbagai cara, metode, hingga teknis kecil-kecil sambil menunggu tunas-tunas mekar.

Selintas saya ingat Catejanus Hardjosubroto dalam lagu gubahannya; Langen Sekar

Saya seperti mendapatkan personifikasi yang pas atas hidup, mungkin saya cocok dengan karakter di lirik itu. Sebagai seorang "Juru Taman". Ia yang menata irama, orkestrasi, tumbuh-kembang, menyiram, menyiangi, memangkas ranting, memotong dan merubuhkan, menumbuhkan, membesarkan. Ruangan-ruangan menyiksa diri yang saya terus ketagihan setiap hari.

Memastikan tumbuh orang-orang di sekitar terus naik, dan kalaupun jatuh terbentur bisa terbentuk dan kuat. Lalu kalau yang harus dipotong ya harus segera dipotong agar maksimal tumbuhnya. 

Mengerem anak-anak yang terlalu bernafsu menjangkah panjang, yang ingin segera cepat naik, moncer sekaligus menunggui yang langkahnya kecil mungil, kicik dan butuh kesabaran. Menjaga tetap di tengah selalu menarik. 

Ah, semoga kita bisa menambah-nambahi bab tentang  mangpangat tadi.

Dengan segala paradoksnya, dengan segala aksi  yang kerap disalahi sebagai sebuah hipokrisi. Tapi kupastikan aku mencintai kalian semua, dengan caraku, dan tak secuilpun muncul rasa untuk benci. Meskipun pertumbuhan kerap menyakiti kalian.

Mari-mari, menjadi dewasa di hidup yang memang cukup membuat gemetar. Mari menjalaninya dengan wani

Maturnuwun,

Surakarta, 8 Juli 2024

1 Suro 1958 JE, Watugunung


Kancamu

I. Agusta


#agustaisme