image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Wednesday, July 7, 2021

31

Menjawab hari? siapa saja mungkin gagal. Anak manusia sering terkecoh oleh apa yang ingin dia haturkan sebagai sesembahan juga sebagai delik untuk mencapai sebuah ambisi. Bahwa hidup sejatinya seperti mengendarai pedati menuju keabadian. Setiap usaha, doa, harapan dan iman ditaruhkan didalamnya.

Langit sepertinya tetap sama, hiruk pikuk dunia acapkali berhenti pada lalu lalang dalam ketidaktahuan. Sementara anak manusia sebenarnya harus hidup dalam kesendiriannya. Yang dijumpai sebagai manusia paling hanya fungsi tetapi siapa yang mampu mengerti kedalaman batin? Tidak ada.

Padamu yang bertatap, berjabat dan bertanya kabar seringkali hanyalah buaian semu dari sebuah keharusan jaman. Tidak ada gunanya sebagian, sebagian yang lain untuk membukakan pintu keterbatasan manusia dimana tangan yang berjabat, mata terpejam dalam doa adalah sebuah koneksi membuncahkan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah kita capai sebelumnya.

Daun-daun yang layu pertanda angin berganti, diam-diam kita merindui masa lalu karena masa depan yang tidak kunjung indah. Bahwa hembusan yang mengalun ingin kita cecap serpihan gambar buram dari sesuatu yang sudah hilang. Kenangan terbaikmu, ritme kebahagiaan, benang-benang merah keterputusan dengan manusia terkasih, juga himpitan kesukaran yang sekejap berubah menjadi harapan.  Gambar-gambar itu ingin kita buai lagi, peluk lagi namun segalanya sudah berlalu. Masa kanak-kanak sudah berlalu, remaja dan mudamu sudah berlalu. Bergulirnya roda puasa seperti tiada henti, masalah akan selalu hinggap dalam batin manusia sampai kamu berkata : its enough, its enough.

Keterbatasan dan batas sebagai jaring untuk menfilter sesuatu, sama juga dengan privilege. Dua-duanya hanya cermin dan manusia selalu dibarengi oleh dua hal ini. Sebagai sebuah tools untuk menjalani permainan hidup.

Bertambah umur berarti juga menambah angka kehilangan, kehilangan yang selalu menyeimbangkan namun dalam proses penyeimbangannya akan mengguncang badan. Menghitung  kembali siapa yang harus berpulang keluarga inti, kawan-kawan, guru-guru dan orang tua semuanya menuntunmu menuju-Nya. Kematian itu dekat dan hari ini makin dekat.

Ruang syukur juga tak terkira harus diucapkan terus menerus, selalu ada keberkahan demi keberkahan yang datang. Apa yang bisa dilakukan manusia hanya berbuat baik, sekalipun akan bisa berpotensi disalahpahami, bahkan dianggap sebagai sebuah kejahatan. Setiap orang punya alasan dan titik tekannya masing-masing untuk berbuat dan mendapatkan balasannnya.

apakah manusia akan berubah menjadi telaga?

Atau akan menjadi apa?

Para Ajar menepi di ruang-ruang sunyi. Pelepasan kalepasan adalah doa-doa terakhir. Anak manusia tidak berharap banyak semoga hidup terus berkah dan manfaat. Dan diberikan kekuatan untuk bertahan.

Segala capaian nampaknya sudah usang, tiada lagi kejumudan akal tanpa pengorbanan, Tuhan menikmati wayang-wayang ini memainkan lakon-Nya. Pengembaraan hidup berasal dari awal.

Senyum-Mu tersimpul dalam kembang malam, malamku menjadi sangat dingin matahari berada pada titik terjauhnya di utara, tanah Jawa tempatku duduk jauh diselatan. Rembulan belum genap setengah dan wabah masih mendera. Harapku semoga kematian ini adalah peringatan, juga tamparan dihidup mendatang yang tidak mpernah semakin mudah.

Jabat erat!


Ruang Hening, 8 Juli 2021, 00:00

Indra Agusta

Thursday, January 14, 2021

Eskapis!

Segala rekaman dan ingat adalah japa-mantra kita untuk terus merayakan hidup yang sudah dipertahankan. Anak manusia mengoyak tirai langit seperti selendang tua, kemudian dipindahkannya air kedalam koyakannya.

Laut kembali riuh karena pasang, segala keputusan selalu menjadi paradoks.

"kamu harus terus berhati-hati jangan2 surgamu hari ini adalah neraka bagi orang lain, atau nerakamu hari ini harus dinikmati sebagai ucapan syukur karena bisa menjadi surga bagi sesama"

Segala sesuatu sudah diperiksa, diperhitungkan dengan matang. Apakah menjadi pengecut lari dari kenyataan hidup yang menindih, dan terus mengeringkan hati anak manusia?

Musim puasa belum selesai, diujung senja awan-awan kelabu datang. Kepadanya dititipkan duka dan segala keluh kesah, berharap menjadi sempurna ketika hujan deras menguyur tanah kering.

Diatas senja berayun sebuah harapan, harapan untuk tetap hidup dengan segala dimensi kerumitan, luka, kekecewaan dan amarahnya.

Ditunjukkan sepasang lengan dalam sebuah pertemuan yang kemudian jadi dekat, dan tetap merawat banyak ingat. Sehingga semoga setiap luka bisa luruh,

 "Dan oleh bilur-bilurNya kita jadi sembuh".

Tiada yang berubah mungkin tentang hari ini dan masa lalu, semua adalah sikap-sikap yang dipilih dan diteguhkan dalam beragam resiko serta sadar akan bahaya. Anak manusia tak sempurna, tapi bukankah kebahagiaan juga berhak atas segenap mahkluk?

Pohon Rasamala disebut dalam sebuah naskah, sepasang mata mengintip dari goresan di kertasnya.

Pak tua duduk termenung di pinggir kali Opak, melihat benih-benih tumbuh dan ikan-ikan yang makin lincah menari menyemai hidupnya. Senyumnya terkembang, "ah, manusia hanya butuh kesempatan. Itu saja".

Laut bagiku adalah kepulangan, setahun yang lalu rasanya ingin saja terhempas kemudian abadi bersama ombak, bunga pandanalas di tebing karang belum mekar penuh.

Jala itu dilempar begitu saja, namun manusia tidak menjala ikan. Manusia menjala manusia, dan memberikan kesempatan, menunjukkan arah, jalan, dan tujuan. Yang penting manusia jangan lepas dari ketiga hal itu, nanti akan bernasib sama dengan ombak ini.

Samudera menampung segala badai, melihat keindahan biru dan kapal karam. 

"Pulang! Dasar Eskapis!" Teriak orang-orang yang tak kenal dan tak mau mengerti.

"memang aku punya rumah?"





Bantul, Jumat 15 Januari 2021
07.12
Indra Agusta