Berdiam-diam ketika memikirkan sesuatu, bergerak-gerak melaksanakan sesuatu.
Manusia jalma yang dikatakan hidup, selalu menyimpan ruang ketidakpercayaan dan sisanya adalah eksistensi. Eksistensi yang berkembang berlebih menjadi sebuah ego. Ego berubah menjadi monster liar melacurkan melancarkan segala ambisi.
Tatacara pandang manusia selalu ingin dihargai tapi lupa menghargai, dimensi paradoks menjadi sebuah ruang nyaman untuk membela dan menolak sesuatu. Berdiri disatu sisi bersebrangan dengan sisi adalah realitas yang menjadi titik puncak sebuah konsepsi.
Lalu anak yang berpuasa karena tahu di geladak piring rumahnya nasi tersisa segenggam, namun genting rumah meminjam ikan dan telur sebagai hidangan untuk berbuka. Semua baik, mengusahakan yang terbaik namun sudut pandangnya berbeda.
Sementara dijalanan aku makan sisa piring-piring orang, dikumpulkan dalam plastik hitam tak jarang berbau sabun cuci. Namun tak juga membunuhku, justru badan ku semakin sakit.
Diemperan toko dikala dingin akhir-akhir ini menjelang tubuh-Ku kubaringkan, bersama kresek putih yang sama guna besok kukumpulkan bersama sekarung sampah dikala terik baru memilah. Dibalik pintu besi, itu emperan toko yang kujadikan rumah singgah, ada puluhan tumpuk ranjang mewah didalamnya, namun tak secuilpun Aku merasakannya.
Raung-raung mesin menggilas malam. Kujejakkan lagi malam bersimpuh bersama segenggam angan. Itu bulan sabit menari-nari pertanda si Venus akan memenuhi ruang pagi. Sekian tapak ku bergegas, eh lihat itu agama kini menjadi pentas.
Rasionalitas kini hanya bertumpu pada materialisme. Rasional belum meloncat ke ruang lebih dalam lagi, ada yang menyemainya namun belum nampak sumber airnya.
Bagaimana dan bilamana anak-anakKu akan melampaui kesesakannya. Batinnya belum siap, akalnya buntu.
Didalamnya batin yang bening, diluarnya fisik yang koyak, ada nafas bertuliskan mutiara-mutiara anak manusia namun siapa yang menorehkan sisa-sisa debu karena kepulan mobil membawa terompah, atau tanah yang harus merelakan diri guna mengalirnya air?
Ruang kebebasan akhirnya sirna, manusia bersanding dengan kesadarannya, bergulat, berpuasa, menjatuhkan dirinya, membungkam mulutnya, menggores nadinya, lihatlah itu langit-langit dibawah alam kubur berfatwa :
Katakanlah manusia berencana, berusaha namun lihatlah Aku (ajal) yang memenangkannya.
Tamansari, 7 Agustus 2018
Indra Agusta